Seperti Apakah Satwa-satwa Taru Jurug dalam Goresan Gambar?

Seperti Apakah Satwa-satwa Taru Jurug dalam Goresan Gambar?
info gambar utama
Adya, mahasiswi ISI Surakarta sedang menggambar dengan objek orangutan. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia
info gambar

Orangutan koleksi Taman Satwa Taru Jurug (TSTJ) Surakarta naik dan duduk santai di tempat tertinggi, di sebuah pokok kayu, di dalam kandang. Orangutan itu seolah-olah menyadari tengah jadi pusat perhatian.

Adya, mahasiswi Program Studi Desain Komunikasi Visual (DKV) Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, siap dengan kertas gambar berukuran A4, pensil, dan penghapus. Tangannya cekatan menggoreskan pensil di lembar kertas, sambil sesekali melirik orangutan yang jadi obyek gambar itu.

Bersama teman-temannya, aksi menggambar satwa penghuni kebun binatang itu menandai perayaan Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional (HCPSN), pada Senin, 5 November lalu. Beberapa kota mengadakan peringatan sama, meski dengan aksi dan waktu berbeda, misal, peringatan HCPSN Jawa Tengah 14 dan 15 November di Magelang. Untuk tingkat nasional di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, pada 3-4 November lalu.

Adya memilih orangutan karena anatomi lebih mirip manusia. “Orangutan juga lucu,” katanya.

Di area kandang lain, Akbar memilih menggambar onta. Bukan perkara gampang menggambar satwa meski di dalam kandang kebun binatang. Selain proporsi gambar harus semirip mungkin dengan obyek, satwa kerap bergerak sesuai kehendak hati.

“Kalau menggambar langsung sulit. Obyek gambar selalu bergerak. Itu kami siasati dengan difoto dulu,” katanya selain memegang peralatan gambar juga menggenggam handphone berkamera.

Hal itu dibenarkan rekannya, Baskoro, yang menambahkan teknik gambar realis yang paling dinilai adalah bentuk, postur, arsiran, dan perbandingan gambar dengan obyek.

Di sudut lain, beberapa mahasiswa mengerumuni kandang burung pelikan. Mereka juga tengah mengabadikan satwa dalam goresan pensil. Yang lain ada yang menggambar kura-kura, harimau, buaya, dan burung elang.

Ada 77 mahasiswa ISI aksi menggambar satwa. Mereka diberi kebebasan memilih obyek yang hendak digambar.

Menurut Basnendar, dosen pembimbing, acara ini bagian dari penanaman kepedulian terhadap lingkungan, sekaligus memperingati Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional 2018.

“Mahasiswa juga mempunyai tanggung jawab moril menumbuhkan rasa cinta kepada puspa dan satwa.”

Selain itu, kegiatan ini juga untuk mengembangkan kebebasan berekspresi dan mengasah kreativitas mahasiswa melalui keahlian menggambar. Seluruh karya lalu dipamerkan di area taman satwa.

Windi S menunjukkan hasil karyanya. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia
info gambar

Edukasi

Bimo Wahyu Widodo, Direktur TSTJ Surakarta, mengatakan, kegiatan mahasiswa ISI ini selaras dengan misi dan visi lembaganya.

“Ini nyambung dengan misi visi kita. Di akta pendirian menyebutkan perumda Taman Satwa Taru Jurug sebagai lembaga konservasi, edukasi, dan rekreasi. Kegiatan mereka ketemu ketiganya. Mengenal konservasi, edukasi, sambil gambar-gambar sekaligus rekreasi.”

Kegiatan semacam ini, katanya, bisa mengasah kepekaan mahasiswa akan kelestarian satwa. Dengan cara mengekspresikan rasa seni dalam bentuk gambar dan coretan bertema satwa.

Untuk pengembangan TSTJ, sudah terjalin kerjasama dengan beberapa perguruan tinggi, misal, pembuatan kolam keceh, suatu sarana edukasi bermain anak dengan air di area TSTJ.

Selain dunia pendidikan, kepedulian terhadap satwa di TSTJ juga ditunjukkan kalangan dunia usaha. Sebuah hotel di Solo beberapa waktu lalu membantu donasi untuk pakan gajah.

“Meski tidak seberapa, kepedulian itu yang kita hargai. Donasi kami belikan pakan gajah. Sehari kebutuhan pakan gajah 1,2 ton berupa rumput gajah. Kalau sekg Rp700, sudah berapa. Belum untuk satwa lain.”

Sebuah bank memberikan bantuan kendaraan operasional, dan pembangunan taman. Ada pula perusahaan es krim yang membantu pembuatan kandang, dan perusahaan air kemasan memasok kebutuhan air minum.

Laba

Tahun lalu, TSTJ membukukan laba bersih Rp1 miliar, merupakan pencapaian terbaik sepanjang 42 tahun keberadaan taman satwa ini. Pada 2016, laba bersih masih di kisaran Rp250 juta. Laba naik dari peningkatan pengunjung pada 2016 hanya 382.000 orang menjadi 418.000 pada 2017.

Pendapatan usaha tahun lalu mencapai Rp7,775 miliar, pendapatan luar usaha Rp421 juta. Dengan beban usaha dan biaya operasional Rp7,022 miliar, hingga tutup buku laba kotor TSTJ Rp1,175 miliar.

Peningkatan pengunjung seiring peningkatan sarana di taman satwa, termasuk perbaikan kandang, penambahan koleksi, dan pengawasan kesehatan satwa. Beberapa tahun lalu, TSTJ sempat mendapat sorotan setelah beberapa koleksi mati, antara lain onta, singa Afrika, orangutan, dan harimau Sumatera.

Mahasiswa ISI tengah menjadikan burung pelikan sebagai obyek gambar. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia
info gambar

Menurut Bimo, meski membukukan laba yang menggembirakan, lembaga konservasi seperti TSTJ tidak menempatkan keuntungan sebagai prioritas.

“Kami ini perusahaan daerah, lembaga konservasi, yang melihat keuntungaan itu nomer dua. Nomer satu memberikan benefit kepada pengunjung untuk mengenal konservasai, edukasi, dan rekreasi.”

Meski akhir-akhir ini belum ada laporan kelahiran pada satwa besar, Bimo cukup puas dengan bertambahnya satwa dari jenis burung. Mereka mampu berkembang biak di sana.

Bimo mengapresiasi Kementerian Lingkungan dan Kehutanan yang memberi bantuan Rp2,1 miliar untuk pembuatan kandang. “Awal Desember dana bisa dipakai. Tahun depan kami akan fokus ke infrastruktur.”

Maskot

Pada peringatan tahun ini, Pohon Raja (Koompassia excelsa) dan rangkong Sulawesi (Rhyticeros cassidix) dipilih sebagai maskot fauna dan flora HCPSN.

Pohon raja, atau ada yang menyebut sialang, tualang, tapang, mengaris, atau menggeris dikenal hidup di daerah tropis hingga ketinggian 3.000 meter di atas permukaan laut. Memiliki umur ratusan tahun, dan salah satu jenis pohon tertinggi di hutan tropis yang bisa mencapai 80 meter.

Akar menonjol di permukaan tanah untuk menopang berat pohon sekaligus mencari nutrisi tanah yang tersedia di sekitar permukaan. Raja disukai lebah hutan yang membangun sarang di percabangan. Kayu keras, dan bisa digunakan untuk bahan bangunan atau kapal. Kini, raja makin sulit ditemukan di hutan karena penebangan.

Rangkong Sulawesi (julang Sulawesi) adalah burung endemik Sulawesi. Burung cantik ini masuk dalam catatan Alfred Russel Wallace saat berada di sana. Suka hinggap di pohon tinggi dan mengagetkan kawanan monyet hitam dengan kepakan sayapnya.

Burung yang menyukai hutan primer dan hutan rawa ini memiliki warna mencolok di leher hingga kepala. Warna tubuh hitam, paruh kuning emas, dan merah di atas paruh. Ekor berwarna putih, kaki kehitaman dan ada warna biru di ujung leher. Pada paruh ada semacam cula yang berwarna merah untuk jantan, dan kuning untuk betina.

Ancaman terbesar burung yang berukuran sekitar 50 cm-1,5 m ini adalah perburuan liar. Julang Sulawesi di hutan menandai kawasan itu masih ada pohon besar.


Sumber: Diposting ulang dari Mongabay Indonesia atas kerjasama dengan GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini