Umera, Kampung Sagu di Pulau Gebe

Umera, Kampung Sagu di Pulau Gebe
info gambar utama

Suasana sore jelang malam di Kampung Umera Pulau Gebe, Halmahera Tengah, Maluku Utara, akhir Juli lalu itu, begitu tenang. Pendar cahaya matahari memerah. Begitu meneduhkan.

Di bagian timur desa, di Pantai Umera, berjejer perahu- perahu tempat mengolah sagu setelah daging pohon sagu digiling dengan mesin parut. Perahu- perahu itu jadi tempat perasan yang mengendap jadi tepung sagu.

Tampak hutan sagu dari tepian pantai sampai ke ke pegunungan sekitar tiga kilometer berbaur dengan kelapa dan pala.

Pada dapur rumah Sahud Hi Robo, dua perempuan muda, Sitna Mawia dan Nayla Umar, menghaluskan tepung sagu dengan mesin dan mengayak kembali untuk vorno (dibakar).

Perempuan Umera ini mengolah tepung sagu untuk dijual ke beberapa tempat di Halmahera Tengah, Sorong dan Raja Ampat. Keduanya menghadap tiga baskom satu berisi tepung sagu baru datang dari pengolahan.

Dua baskom berisi tepung sagu ayakan siap masukkan vorno (semacam cetak lempengan sagu).

Sitna sarjana lulusan Fakultas Keguruan Ilmu Pendidkan (FKIP) Universitas Khairun Ternate pada 2014. Dia guru honorer SMP di Umera. Selain guru dia mengolah dan jual sagu.

“Bagi sebagian orang di Maluku Utara tidak anggap sagu ini sumber pendapatan. Di Umera sagu segala-galanya bagi kami,” katanya.

Proses pengolahan sagu di Desa Umera. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia
info gambar

Dia bilang, sebagian orang risih ketika mengolah sagu karena bau berbeda di Umera. Di kampung itu, dalam seminggu warga bisa hasilkan uang jutaan rupiah dari olah sagu.

“Saya sekolah sampai sarjana dan balik mengajar di kampung karena orangtua saya menjual sagu,” katanya.

Dalam sehari, mereka bisa hasilkan uang dari mengolah sagu paling rendah Rp300.000-Rp500.000. Dari satu karung tepung sagu olahan jadi lempengan bakar bisa hasilkan uang sampai Rp500.000. Kalau tepung sagu itu usai diolah dari pohon langsung jual hanya Rp300.000.

Dari satu pohon sagu, satu orang dengan alat seperti gergaji dan mesin parut bisa hasilkan tiga karung berat masing-masing sekitar 40 kilogram. “Warga Umera kebanyakan olah menjadi sagu lempeng dulu baru dijual.”

Sagu jadi sumber penghasilan warga Umera. Orangtua menyekolahkan anak-anak mereka sampai perguruan tinggi, hasil sagu. Seperti orangtuanya, menyekolahkan dia dan dua adik, sampai perguruan tinggi dari hasil jual sagu.

Tepung sagu siap bakar. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia
info gambar

Tak hanya pendidikan, warga naik haji sebagian dari sagu. Sahud Hi Robo bilang, orang tuanya naik haji dari menjual sagu.

Mustafa Usman, Sekretaris Desa Umera mengatakan, mengolah sagu adalah mata pencarian utama mayoritas warga. Sekitar 70% dari 119 keluarga atau sekitar 500 jiwa warga Umera, mayoritas mengolah sagu selain kelapa, pala maupun cengkih.

Kalau di Umera, Gebe, sagu merupakan penopang utama pendapatan keluarga, tak bagi sebagian besar warga di Maluku Utara. Mereka menganggap sagu hanyalah bagian dari pangan asli masa lalu yang sudah jarang dikonsumsi.

Sagu dianggap tak memiliki nilai tambah. Sagu pun sudah jarang jadi makanan pokok, berganti beras.

“Kita bisa saksikan sendiri sagu sebagai sumber pangan utam a mulai hilang dari dapur. Nyaris dalam rumah tak ada lagi sagu. Jangankan di Ternate, warga Halmahera saja, sagu sudah bukan bahan konsumsi utama,” kata Subhan, pengelola BumDes Sagu di Weda, Halteng. Bumdes ini konsern pengembangan sagu di Halmahera Tengah.

Dia menilai, terjadi pergeseran konsumsi pangan dari sagu ke beras. Padahal, katanya, sagu adalah sumber pangan asli Maluku, dan Papua. Ia juga bisa jadi beragam pangan dari tepung, mie sampai beragam kue.

Dia bersyukur masih ada kampung macam Umera, yang jadikan sagu sebagai pangan utama sekaligus sumber pendapatan. Sagu bagi mereka tak beda dengan kopra, pala dan cengkih. Sagu Umera pun cukup terkenal, berwarna putih halus dan manis. Sagu Umera tak hanya laku di Halmahera Tengah juga Papua Barat terutama Sorong dan Raja Ampat.

Sagu baru selesai digiling. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia
info gambar


Sumber: Diposting ulang dari Mongabay Indonesia atas kerjasama dengan GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini