Seperti Apa Pernikahan Adat Jawa?

Seperti Apa Pernikahan Adat Jawa?
info gambar utama

Menyambut pernikahan kerajaan pada Januari mendatang, menarik jika melihat kembali ke pernikahan adat Jawa. Dengan kekayaan budaya yang dimiliki, Indonesia memang sangat beragam dalam perihal pernikahan adat.

Di artikel kali ini akan membahas seperti apa pernikahan adat Jawa dilakukan. Berbicara pernikahan adat tentunya kita tidak hanya berbicara mengenai hari H resepsi, sebelum itu tentunya ada tahapan-tahapan menjelang resepsi yang perlu dilakukan terlebih dahulu.

Beberapa tahap yang berlangsung selama beberapa hari tersebut termasuk wilujeng kenduri, siraman, midodareni, akad, dan resepsi.

Berdasarkan adat Jawa, wanita itu bernama Mantu, dan pria itu bernama Ngunduh Mantu begitu penjelasan mengenai status mempelai pada acara perkawinan.

Menurut tradisi Jawa, prosesi ngunduh mantu tidak wajib. Namun, beberapa orang tua masih ingin melakukannya sebagai bentuk ucapan syukur atas pernikahan putra kesayangan mereka.

Dengan setiap acara yang memiliki makna dan filosofi tersendiri, prosesinya dimulai dengan wilujeng kenduri, yang terdiri dari doa bersama untuk berharap prosesi yang lancar.

Selama wilujeng kenduri, makanan tradisional Jawa biasanya disajikan dalam bentuk tumpeng, yang dihiasi dengan berbagai ubo rampe (lauk pauk).

Susanto, seorang ahli budaya dan sejarah Jawa dari Universitas Sebelas Maret, menjelaskan bahwa wilujeng kenduri adalah tahap awal dalam pernikahan, itu adalah ritual untuk meminta berkah dari Tuhan.

"Proses menuju pernikahan ini adalah tahap yang sangat penting karena pernikahan itu sendiri adalah ikatan untuk membangun masa depan. Itulah sebabnya prosesi kenduri wilujeng sangat penting," kata Susanto.

Ilustrasi nasi tumpeng yang ada di prosesi kenduri wilujeng | Sumber: Tribunnews
info gambar

Lebih lanjut Susanto menjelaskan bahwa tumpeng juga memiliki makna tersendiri dalam ritual tersebut, karena melambangkan gunung dan menggambarkan alam semesta. "Di gunung ada air, hewan, dan tanaman yang merupakan simbol dari alam semesta. Sementara itu, alam semesta adalah tempat di mana kehidupan terjadi," kata Susanto.

Ubo rampe yang menyertainya, atau lauk pauk, disajikan dengan tumpeng juga bertindak sebagai simbol untuk mengusir bahaya.

Kemudian selanjutnya diikuti oleh upacara siraman, atau percikan air, yang biasanya dilakukan secara terpisah oleh pengantin di tempat masing-masing.

Untuk pengantin wanita, siraman akan diikuti oleh ritual dawet sadeyan dan midoderani.

Ilustrasi proses siraman | Sumber: Hipwee
info gambar

"Siraman sebenarnya adalah cara bagi anak untuk mengucapkan selamat tinggal kepada kedua orang tua. Ini menunjukkan anak tidak lagi 'mandi' atau dimandikan oleh kedua orang tua," kata Susanto.

Lebih lanjut Susanto menambahkan bahwa makna sadeyan dawet dalam rangkaian prosesi melambangkan bahwa anak tersebut siap menavigasi kehidupan dan mencari nafkah.

Sebelum ritual siraman pengantin wanita, juga akan ada instalasi bleketepe, atau daun kelapa yang masih muda dan dianyam menjadi ukuran rata-rata 50 cm x 200 cm. Ritual akan dilakukan oleh ayah pengantin wanita.

"Arti instalasi bleketepe ini seperti undangan orang tua untuk memurnikan hati," kata Susanto.

"Upacara dan ritual itu penting terutama sejak zaman kerajaan Mataram," tambahnya.


Sumber: Jakarta Post

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini