Di Mana Indonesia Kita?

Di Mana Indonesia Kita?
info gambar utama

Oleh: Ahmad Cholis Hamzah*

Saya tergelitik menulis artikel ini setelah tanpa sengaja membuka akun FBnya dik Arry Hananto – founder GNFI yang mengamati sebuah mall besar super besar di Surabaya, dimana dua lantainya dikhususkan untuk jual makanan, Arry menulis: “ ada es puter Singapura, roti Perancis, fast food Amerika, steak Australi, steak Mongolia, sushiJjepang, ramen Jepang, teh Thailand, sup Vietnam, Chinese food, tebak yang gak ada makanan khas negara mana?”. Tanya Arry.

Dia meneruskan “Ada bank (lebih dari satu) yg promosikan : menabung disini raih kesempatan jalan2 gratis ke Hongkong, Jepang atau Thailand ato Eropa. Coba cek bank Jepang ato Hongkong apa ngasih promo liburan gratis ke nusantara. Atau beli rumah satu unit hadiah langsung tiket pp ke Singapura.

Kok gak ada yang nawari gratis ke Bukitiggi, Ternate, Sumbawa..” Arry meneruskan; Ada kawannya baru balik setahun dri Korea belajar masakan korea ingin mendirikan resto korea di Surabaya. Adakah orang Korea yg sinau bikin rawon ato bebek penyet lalu mau bikin resto bebek penyet di Seoul atau Busan.”

Sebenarnya banyak orang asing yang suka makanan Indonesia, sementara kita sendiri mengabaikannya. Kita ingat Jepang dan China sebelum maju seperti sekarang ini strategi pembangunannya adalah fokus pada Domestic Consumption dulu, prioritas nya adalah produk dalam negerinya. Pemerintah Amerika Serikat jaman Obama terkenal dengan “Buy American Products”, jaman Trump sekarang ada kebijakan “America First”; yang semuanya itu bertujuan agar rakyatnya cinta produknya sendiri.

Pada tahun 1990 saya berada di Singapura dan menginap di rumah foster parent (orang tua angkat) Program Pertukaran Pemuda ASEAN Jepang tahun 82, dan weekend saya diajak menginap di rumah beliau di Johor Malaysia (dekat perbatasan kedua negara). Saya terharu hampir menangis karena bangga ketika menonton TV singapura dimana waktu itu presiden Singapura memberi award/Penghargaan kepada warganegaranya yang berhasil, saya terharu itu ketika ada seorang janda warganegara Singapura keturunan Jawa (dari Jawa Tengah) yang mendapatkan anugerah presiden karena upayanya mengembangkan bisnis kuliner makanan Jawa.

Setelah pisah dari suaminya, si ibu ini pontang panting mencari nafkah untuk anak-anaknya, lalu mencoba berjualan makanan di gedung-gedung tinggi di negeri ini, dan si ibu ini putus asa menangis karena manajemen gedung-gedung itu menolak makanan Jawa karena ragamnya kalah dengan makanan china. Ibu ini pantang menyerah demi membuktikan bahwa makanan Jawa/Indonesia itu tidak kalah dengan makanan China, dengan melalui sedih dan duka, ibu ini berhasil menjadi pengusaha yang berjaya dan sampai membuka cabang di Malaysia. Saya malu karena rasa nasionalisme si ibu ini lebih tinggi dari saya walaupun dia sudah menjadi warga negara singapura.

Keterangan Gambar (© Pemilik Gambar)

(Foto Koleksi Pribadi).

Ada orang Inggris yang pernah bekerja di Jakarta tahun 1995, namanya Willian Mitchel saking cintanya dengan tempe sampai belajar membuat tempe di berbagai kota di Jawa sampai ke kota Malang. Dan sekarang dia berhassil mendirikan Warung tempe di London Inggris sampai dia dipanggil “Bule Tempe”. “Nasionalisme” nya sangat tinggi dalam memperjuangkan agar makanan khas Indonesia ini terkenal; karena dia punya obsesi memperkenalkan tempe agar masuk ke “setiap dapur Inggris”. Upayanya berhasil, sekarang konsumennya tidak hanya orang Inggris tapi dari berbagai negara; maklum London adalah salah satu pusat dunia dimana orang-orang dari berbagai negara ada disitu.

Adalagi pria Jawa dari Purwodadi, Grobogan Jawa Tengah, namanya Rustono yang beristrian wanita Jepang sekarang menjadi pengusaha tempe di Jepang. Istrinya resign sebagai pegawai Jepang demi membantu Rustono untuk jualan tempe dan membuat orang Jepang suka makan tempe. Rustono pun memiliki nasionalisme tinggi dalam bidangnya ini, Karena berikhtiar “Menempekan Dunia”, dengan mengembangkan pasar tempenya ke Eropa dan Korea Selatan. Rustono itu juga berjuang seperti janda yang ada di Singapura diatas karena tempe nya Ristono awal-awalnya sering ditolak di resto dan hotel di Jepang.

Seperti cuitannya dik Arry Hananto tentang makanan-makan asing di mall itu, Rustono juga mempunyai keprihatinan yang sama "Dulu waktu saya pertama ke Jepang sekitar tahun 1997, saya mudah sekali menemukan makanan dari berbagai negara di Jepang. Mulai dari Piza, Tacos, Burger. Tapi masakan dari Indonesia nggak ada. Saya cari apa, nggak ada," kata Rustono. Kegigihannya jelas tak sia-sia. Saat ini ia telah berhasil menjual produk tempe yang diberinya nama Rusto'S Tempeh ke lebih dari 490 tempat di Jepang dari Hokkaido sampai ke Okinawa. "Bangga Rasanya saya bisa memperkenalkan Tempe di Jepang," pungkas nya.

Saya ketika berada di Washington DC bulan November 2016 ketika mengamati pemilihan presiden di AS; setelah saya keluar dari gedung Voice of America (VOA) dimana saya dan dua peniliti politik dari Unair di wawancarai VOA; kami mau makan siang, mencari makan di berbagai pedagang kaki lima di sekitar gedung-gedung Museum di ibukota AS ini; kami bertemu dengan pria asal Malang yang jualan Sate Indonesia di food truck nya. Daganganya cepat habis karena diminati orang Amerika; sementara pedagang- pedagang makananan dari Mesir, Mexiko, Lebanon disebelahnya belum habis. Saya bangga setengah mati ketika melihat “Arema” (Arek Malang) ini berhasil “Men-Satekan Amerika”, karena dia punya food truck juga di berbagai kota di AS.

Kisah - kisah True Story diatas menunjukkan keberhasilan anak-anak bangsa dan juga orang asing yang cinta Indonesia, berhasil menduniakan makanan khas Indonesia di manca negara. Sangat naïf, dan malu kalau kita di negeri sendiri malah mengabaikan produk-produk khas negeri sendiri dan berlagak sok “modern” atau sok Luar Negeri.

*

Alumni Universitas Airlangga

Dan University of London, UK

Staf Khusus Rektor Unair

Bidang Internasional

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

Terima kasih telah membaca sampai di sini