Temuan Doktor Farmasi UI: Atasi Hipertensi dengan Seledri

Temuan Doktor Farmasi UI: Atasi Hipertensi dengan Seledri
info gambar utama

Dr. Siska, M. Farm., Apt menemukan alternatif untuk mengobati hipertensi. Doktor dari Fakultas Farmasi Universitas Indonesia (FFUI) ini telah memaparkan penelitiannya di Sidang Terbuka Promosi Doktor Farmasi UI.

Dari hasil penelitiannya, ditemukan bahwa kombinasi kaptopril dan ekstrak Apium Graveolens L atau yang biasa disebut seledri, dapat menurunkan tekanan darah sebesar 42,34% lebih baik ketimbang pemberian dari kaptopril tunggal.

Lebih lanjut, dalam siaran pers yang diterima GNFI diuraikan bahwa kombinasi kaptopril dengan ekstrak seledri dapat menurunkan tekanan darah dengan cara diuresis dan natriuresis.

Ini dibuktikan dengan adanya korelasi antara tekanan darah dengan volume urin, di mana terjadi penurunan tekanan darah diikuti dengan peningkatan volume urin. Sebab seledri mengandung sumber flavonoid seperti apigenin, luteolin, dan crysoeriol.

”Diharapkan penelitian ini mampu memberikan manfaat untuk ilmu pengetahuan terkait penggunaan obat herbal untuk pengobatan hipertensi. Selain itu dapat dijadikan data preklinik bagi tenaga medis untuk mendukung penggunaan herbal pada penyakit,” ucap Dr. Siska.

“Namun bagi masyarakat dihimbau untuk tetap berhati-hati atas potensi risiko yang mungkin akan timbul jika menggunakan obat herbal bersamaan dengan obat sintetik tanpa sepengetahuan dokter atau tenaga medis lainnya.” imbuhnya.

Pengobatan herbal atau tradisional kerap digunakan masyarakat untuk mengobati hipertensi. Ini tak lepas dari biaya pengobatan yang lebih miring, dan dipercaya lebih aman serta mudah digunakan. Namun demikian, juga diperlukan pengobatan sintetik agar hasilnya maksimal.

Hipertensi atau darah tinggi merupakan penyakit yang jamak ditemui di masyarakat berbagai kalangan. Setidaknya ada 1 miliar orang di seluruh dunia yang mengidap penyakit ini, dan ada 9 juta orang yang meninggal per tahunnya.

Oleh karenanya, hipertensi juga dijuluki sebagai silent killer, karena kerap muncul tanpa gejala dan tiba-tiba menyebabkan kematian.**

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini