Antara Pertempuran Stalingrad, dan Peran Besar Indonesia yang Tak Terkabarkan

Antara Pertempuran Stalingrad, dan Peran Besar Indonesia yang Tak Terkabarkan
info gambar utama

“Never was so much owed by so many to so few” Kalimat terkenal itu diucapkan oleh Winston Churchill, sang PM Inggris, setelah memenangkan pertempuran udara yang dramatis sekaligus sangat menentukan melawan Luftwaffe (AU Nazi Jerman) yang mencoba menyerang kota-kota di Inggris dan melumpuhkan Angkatan Udara Inggris Raya. Intinya adalah bahwa Inggris dan rakyatnya berhutang budi pada para pilot RAF (AU Inggris) atas jasa mereka menyelamatkan Inggris dari invasi Jerman lebih lanjut. Churchill meyakini, jika RAF mampu dilumpuhkan Nazi, maka invasi darat ke Inggris hampir pasti tak terhentikan. Itulah mengapa, Battle of Britain, pertempuran udara yang berlangsung hampir 5 bulan itu begitu dibangga-banggakan. Inilah kegagalan awal Nazi Jerman setelah beberapa bulan sebelumnya mampu membuat 300 ribu tentara Inggris dan Prancis harus meninggalkan daratan Eropa setelah terkepung di sebuah kota kecil di utara Prancis, Dunkirk.

Sampai kini, dimana-mana, kata-kata singkat dari Churchill itu masih terngiang di benak begitu banyak orang di seluruh dunia.

Benar, banyak orang memang lebih mengenal Battle of Britain, Dunkirk, atau pendaratan Normandia, dibandingkan dengan Pertempuran Stalingrad di kota Stalingard, kota penting di bagian selatan Russia (waktu itu Uni Sovyet). Menurut hemat penulis, pertempuran Stalingrad jauh lebih brutal, lebih mengerikan, dan jauh lebih menentukan jalannya Perang Dunia II. Pertempuran tunggal ini memakan waktu hampir 6 bulan bulan (23 August 1942 – 2 Februari 1943, dengan kemenangan silih berganti antara pihak penyerbu (Jerman), dan pihak yang diserbu (Uni Sovyet). Begitu sengitnya, pertempuran ini memakan korban lebih dari 3 juta orang tentara, jumlah yang sangat besar dan tidak terbayangkan (jumlah total tentara Indonesia hanya sekitar 400 ribu personel), belum lagi korban penduduk sipil.

Tentara Merah balik menyerbu | wikimedia
info gambar

Battle of Stalingrad adalah pemicu awal kekalahan Nazi dalam perang dunia II, setelah perang tersebut, pasukan tempur Jerman hanya bisa bertahan lalu mundur, tak pernah lagi mengambil inisiatif serangan, bahkan Tentara Merah mengejar sang penyerbu hingga tak bisa lagi lari, yakni sampai ke Berlin, hingga Berlin, sang ibukota Nazi Jerman saat itu, jatuh ke tangan penyerbu pada 2 Mei 1945. Lalu mengapa Perang Dunia II yang terjadi di front timur (Jerman vs Sovyet) sedikit kita pelajari, sedikit diberitakan, dan mungkin jarang dibuat filmnya? Tanpa kemenangan Sovyet di Front Timur, hampir pasti, Perang Dunia II akan berlangsung lebih lama, dan mempunyai akhir yang berbeda.

Jangan lupa, di front barat, Jerman dikeroyok banyak negara. Mulai dari AS, Inggris, Prancis, Kanada, Australia, Selandia Baru, Prancis, dan kombatan dari belasan negara lain. Sedangkan di timur, musuh Jerman dalam pertempuran hanya satu, yakni Tentara Merah Uni Sovyet. Sekali lagi, mengapa seolah peran besar Uni Sovyet dalam kemenangan ‘dunia’ atas Nazi tidak selalu dimunculkan ?

Kenapa lebih banyak orang yang memahami bahwa kekalahan Jerman adalah karena kekuatan tempur sekutu yang jauh lebih superior? Jawabannya hanya satu. Peran propaganda di media.

Media barat yang kuat, kekuatan industri filmnya yang menggenggam dunia, adalah alat propaganda yang hingga saat ini tidak punya lawan seimbang. Apalagi, Sovyet waktu itu sedikitpun tidak memiliki kekuatan media seperti yang dipunyai negara-negara barat, sehingga praktis selama perang dingin (perang tanpa pertempuran fisik pasca Perang Dunia II), Sovyet menjadi ‘bulan-bulanan’ media barat. Dan hingga kini, sisa-sisa dari hasil propaganda barat tersebut belum hilang dan masih berlangsung hingga kini. Ada ribuan film, buku, dan dokumenter yang ‘mengagungkan’ kehebatan dan kepahlawanan sekutu dalam mengalahkan Nazi, namun saya belum melihat ada film yang cukup signifikan dan menjadi box office dunia dalam mengangkat peran sangat sentral Uni Sovyet dalam mengalahkan Jerman secara total. Inilah kekuatan media.

Hingga kini, Rusia dimusuhi oleh barat, pun masyarakat barat, melalui propaganda media barat yang selalu memojokkan Rusia dan apapun yang dilakukannya. Hal yang sama dilakukan terhadap China, atau siapapun, negara manapun, yang dianggap tak sejalan dengan keinginan bangsa-bangsa barat. Dalam hal ini, tak ada yang menyamai kekuatan media-media barat. Tak ada.

Saya kadang geram sendiri setiap kali artikel terkait Timor Leste dimuat di media-media Barat (terutama Australia), mereka acapkali mengakhiri dengan info bahwa Timor Leste pernah menjadi jajahan Indonesia dan beberapa hal buruk lain. Ini sama saja jika kita menulis tentang Australia, dan selalu dicantumkan bagaimana mereka membunuh ribuan suku asli Aborigin dengan brutal dan sistematis. Namun hal ini tak pernah kita lakukan.

Bisa jadi, kita terlalu baik hati dan nggak enakan. Selain itu, kita juga tak punya media yang mempunyai jaringan internasional yang kuat seperti ABC milik Australia, atau CNN dan FOX milik Amerika, BBC milik Inggris, atau setidaknya NHK milik Jepang, Channel NewsAsia milik Singapura atau Arirang milik Korea Selatan.

Menlu RI Marti Natalegawa dan Aung San Su Kyi tahun 2011 | Thejakartapost.com
info gambar

Saya masih ingat ketika Myanmar begitu terisolir (dan sengaja diisolasi banyak negara), Indonesia perlahan membuka pintu-pintu keterbukaan negara tersebut. Cara Indonesia adalah cara yang terbukti, disukai oleh para elit politik dan militer Myanmar. “Cara Timur” kata mereka. Di Asean, bahkan Myanmar di”jauhi” oleh tetangga dekatnya Thailand, Singapura, Malaysia, dan Filipina yang (kata mereka) ‘menjatuhkan’ reputasi ASEAN. Sejak awal bergabungnya Myanmar ke ASEAN, Indonesia justru mendorong agar Myanmar bisa menjadi Ketua ASEAN (dan Myanmar menjadi ketua ASEAN pada 2014), setelah memberi kesempatan negara tersebut menjadi tuan rumah Sea Games 2013. Dari titik inilah, “pintu-pintu” Myanmar terbuka perlahan. Hingga kini.

Peran besar Indonesia ini nyaris tak terkabarkan di luar sana. Tak banyak orang luar yang tahu bahwa Indonesia punya andil yang signifikan dalam terbukanya pintu demokrasi Myanmar. Bisa jadi, prestasi ini juga tak banyak diketahui di dalam negeri. Yang diketahui justru adalah kunjungan Hillary Clinton ke Myanmar pada 2011, yang disebut-sebut sebagai pintu pembuka pintu demokrasi negara tersebut.

Sayang sekali. Jadi ingat Curchill, bedanya kita menang perang, tapi tak ada orang yang tahu .

Itu contoh kecil saja. Peran Indonesia di Kamboja pada akhir 80an.

Indonesia berperan besar pada proses rekonsiliasi perdamaian Kamboja melalui Jakarta Informal Meeting I (1988), Jakarta Informal Meeting II (1989), Informal Meeting on Cambodia I dan II (1990), Preparatory Meeting for the International Conference on Cambodia (1990) dan sebagai co-chair meeting bersama Perancis pada Paris International Conference on Cambodia (1991). Indonesia telah pula memainkan peran yang cukup khusus dalam hal mendorong dan mendukung Keketuaan Kamboja di ASEAN tahun 2012.

Peran Indonesia di Filipina (dalam konflik pemerintah dengan MNLF) pada 1989, tak pernah menjadi perbincangan dunia.

Indonesia hingga kini tidak mempunyai media berbahasa internasional yang menjadi acuan banyak perusahaan berita dunia. Kita tak punya media seperti The Strait Times, atau NHK, ABC, atau Arirang, atau Al Jazeera. Memiliki media seperti itu selain akan menjadi alat promosi secara global, juga sanggup berperan dalam mengkaunter berita-berita yang merugikan bagi negara. Saat ini seolah Indonesia tidak bisa berbuat apapun ketika media luar leluasa mengatakan apapun tentang Indonesia, dan media tersebut tentu akan lebih mementingkan kepentingan negara asalnya, dibandingkan menjaga keseimbangan/keakuratan berita mereka tentang Indonesia.

Indonesia mungkin harus segera membentuk strategi membangun reputasi nasionalnya melalui media, diplomasi, produk nasional, dan lain-lain. Korea mungkin tak begitu kuat medianya, tapi ekonomi kreatif serta produk nasionalnya menjadi “agen-agen propaganda” Korea yang sangat bagus. Singapura memposisikan diri sebagai pusat finansial Asia, dan mereka melakukan begitu banyak hal untuk mewujudkannya, melalui branding bahwa ekonominya efektif, bebas korupsi, dan efisien. Tak semuanya benar, tapi setidaknya, dunia mempercayai itu, persis seperti yang diinginkan Singapura.

Apa yang harus kita lakukan? Saya tak punya jawaban.

Tapi begini. Kita mungkin takkan pernah mempunyai media kuat seperti negara-negara yang saya sebutkan di atas. Tapi kita punya begitu banyak anak muda yang aktif di dunia internet. Bisa jadi..ini satu-satunya kesempatan dan sumber daya Indonesia ..membranding, dan membangun reputasi kita di dunia. Lewat sosial media, lewat web yang kita bangun sendiri. Ya, lewat jari-jari kita. Bisa jadi.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

AH
YF
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini