Sejarah Munculnya Supermarket di Indonesia Jauh Sebelum Adanya Carrefour, Hypermart, dkk

Sejarah Munculnya Supermarket di Indonesia Jauh Sebelum Adanya Carrefour, Hypermart, dkk
info gambar utama

Pernahkah kawan GNFI bertanya-tanya sebelum menjamurnya gerai supermarket di Indonesia seperti sekarang ini, supermarket manakah yang mengawali munculnya supermarket di Indonesia?

Bagi kalian anak-anak kelahiran 90an seperti saya, pasti kalian ingat supermarket Hero. Pada 2018 lalu, sempat santer berita mengenai penutupan 26 gerai Hero di Indonesia.

Terlepas dari berita tersebut, Hero yang berdiri dengan nama resmi PT Hero Supermarket Tbk adalah perusahaan ritel yang memiliki banyak cabang di Indonesia. Tidak heran, karena Hero Supermarket adalah perusahaan ritel modern pertama di Indonesia.

Hero Supermarket pertama di Jl Falatehan | Sumber: herosupermarket.co.id
info gambar

Berdiri pada tanggal 23 Agustus 1971 di Jalan Falatehan 1 No. 23, Jakarta Selatan oleh pasangan suami-istri Muhamad Saleh Kurnia dan Nurhajati. Mereka membuka supermarket tersebut dengan nama HERO Mini Supermarket.

Kemudian, setahun kemudian di tahun 1972, sebuah P&D di seberang HERO berubah konsep menjadi supermarket. Adapun P&D adalah singkatan dari Provisien&Dranken, sebuah istilah berbahasa Belanda untuk menyebut toko ritel makanan dan minuman di pinggir jalan ramai.

Supermarket tersebut, seperti dikutip dari Historia, bernama Gelael. Didirikan oleh Dick Gelael pemilik toko P&D di Jalan Falatehan yang sudah ada sejak tahun 1957.

Setelah itu, di kisaran tahun yang sama supermarket lain mulai bermunculan. Seperti Sarinah Jaya, Grasera, Tomang Tol, dan Metro. Disusul oleh Golden Truly pada 14 Januari 1984.

Supermarket Hero masa kini | Sumber: Twitter
info gambar

Tidak heran jika supermarket-supermarket awal tersebut berpusat di Jakarta. Hal tersebut berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sejak tahun 1968 membentuk dan memperluas kelas menengah di kota-kota besar, dan Jakarta merupakan kota besar bahkan pada saat itu.

Wajar jika para pemilik supermarket pun menargetkan masyarakat Jakarta untuk berbelanja di supermarket milik mereka, karena daya belinya yang memungkinkan. Pasalnya pada saat itu tingkat pendapatan per kapita di kota Jakarta dilaporkan 11 persen lebih tinggi dibandingkan rata-rata kota lain, menurut sumber yang ditulis oleh Anne Booth dan R.M. Sundrum dalam "Distribusi Pendapatan", termuat di Ekonomi Orde Baru.

Tapi tidak seperti sekarang, dimana siapapun dapat keluar masuk supermarket dengan mudahnya, atau setidaknya ingin sesuka hati untuk keluar dan masuk. Hal tersebut dikarenakan pada awal kemunculan supermarket, label yang dibawanya adalah diperuntukkan khusus kalangan berduit, jika ingin masuk supermarket harus berdandan yang menarik.

Hal tersebut bukan dengan sengaja, melainkan karna faktanya pada saat itu hampir 90% barang yang tersedia di supermarket merupakan barang impor dan tidak semua barang yang ada sesuai dengan kebutuhan masyarakat pada umumnya, melainkan mengikuti selera dan kebutuhan kelas menengah kota dan pekerja asing.

Dari fakta di atas-lah kemudian muncul anggapan tersebut yang kemudian dipertegas oleh Gubernur Jakarta periode 1966-1977, Ali Sadikin yang mengatakan, “Toko serba ada di Indonesia saat ini hanya untuk orang-orang berduit saja,” dalam Kompas terbitan 15 Juli 1974 bertepatan dengan peresmian cabang kedua HERO di Jalan Hayam Wuruk, Jakarta.

Beruntunglah sekarang pasar ritel modern yang ada di Indonesia lebih banyak memasok produk buatan dalam negeri sehingga bisa memberdayakan ekonomi masyarakat lokal.

Sumber: Detik | Historia

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini