Belajar (lagi) dari Jepang

Belajar (lagi) dari Jepang
info gambar utama

By Ahmad Cholis Hamzah*

Saya sering menjadikan contoh sesuatu yang positif dari Jepang karena saya dulu pernah mengikuti Pertukaran Pemuda ASEAN-Jepang tahun 1982, Pertemuan Pemuda Dunia di Tokyo tahun 1982 dan pernah bekerja di salah satu Bank terkemuka di Jakarta dan memperoleh training Bank tersebut di Bank Jepang di Australia.

Beberapa teman Jepang saya pernah menceritakan bahwa Jepang dengan kondisi negaranya yang tidak sebesar Indonesia, penduduknya banyak dan tidak memiliki sumber daya alam seperti halnya Indonesia. Karena itu rumah-rumah di Jepang tidak sebesar rumah-rumah orang Amerika Serikat bahkan rumah-rumah orang kaya Indonesia di berbagai daerah terutama di Jakarta. Sampai-sampai orang barat menyebut rumah-rumah orang Jepang itu sebesar korek api layaknya.

Dalam kondisi geografis dan demografi seperti itu, menimbulkan “Blessing in Disguise”, yaitu filosofi orang Jepang itu yang menggunakan space atau ruang yang kecil menjadi sesuatu yang bermanfaat. Taman-taman di Jepang banyak dipenuhi barisan butiran-butiran pasir dan batu kecil yang melingkar-lingkar yang menggambarkan samudera luas, itu juga didasari filosofi tadi – begitu menurut teman-teman saya dari Jepang itu.

Nissan Sunny, pelopor compact car | autotire.com
info gambar

Ternyata ajaran menggunakan space yang sempit menjadikan manfaat yang besar atau luas itu juga diterapkan oleh bangsa Jepang dalam mengembangkan kemajuan teknologinya. Jepang kemudian terkenal sebagai bangsa yang membuat mobil yang “kecil” atau compact car yang lebih irit dibandingkan dengan mobil sejenis yang dibuat Amerika dan Eropa, Jepang juga membuat arloji yang tipis dan kecil tapi berteknologi canggih. Negeri ini juga terkenal membuat produk-produk electronic yang kecil seperti camera, lap top, radio walkman dan bahkan membuat bungkusan-bungkusan yang kecil mungil dari kertas.

Perlu diketahui juga kemampuan Jepang dalam mengalahkan dominasi Amerika dan Eropa adalah dari kemajuan industry-industri kecilnya yang memiliki network yang mengagumkan. Kalau kita melihat produk jasa perbankan di negara – negara maju misalnya produk e-Banking, itu dibuat berdasarkan karakter bangsa negara-negara itu yang ingin serba cepat dan karena itu mereka tidak ingin antri yang panjang dan menghabiskan waktu.

Teknologi di buat berdasarkan Demand masyarakat, tidak hanya berdasarkan income per capita mereka, atau “willingness to buy” mereka tapi juga berdasarkan karakter perilaku masyarakat itu. Dulu sering kita kenal “Appropriate Technology”, atau teknologi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Inilah yang disebut sebagai Local Wisdom atau Kearifan Lokal yang ternyata penting untuk pembangunan suatu bangsa.

Indonesia , sebenarnya memiliki local wisdom yang banyak mengingat Bumi Pertiwi ini memiliki beragam suku dan bahasa, yang masing-masing suku memiliki Kearifan Lokal sendiri. Sebagai contoh, kita bisa melihat kekayaan motif dan warna batik nasional. Batik di Jogya di dominasi warna coklat, Pekalongan di dominasi warna merah, kuning, biru muda, batik Sidoarjo di dominasi warnna Merah, Hijau dan Kuning yang menyala; demikian pula corak gambar atau motif lukisan yang ada di kain batik-batik itu.

Batik motif Jogja | mahligai-indonesia.com
info gambar

Industri makanan pun di setiap daerah dibuat berdasarkan local wisdom itu, masing-masing jajanan atau kue memiliki makna sendiri-sendiri dan khas dari daerah sendiri-sendiri pula. Persoalannya sekarang, kekayaan khasanah local wisdom atau kearifan lokal yang bermacam-macam itu tidak pernah di senergikan dalam perencanaan pengembangan industri nasional. Produk-produk Indonesia perlu di buat berdasarkan filosofi bangsa sendiri. Sudah saatnya, seluruh komponen bangsa diantaranya lembaga – lembaga penelitian Perguruan Tinggi, Kementerian- kementerian yang ada, LSM, dan masyarakat luas bekerja bersama-sama melakukan identifikasi apa local wisdom yang ada di berbagai daerah nusantara ini dan lalu kita terapkan dalam pembuatan produk-produk ciptaan bangsa sendiri.

Kalau tidak – kapan lagi?

(by Ahmad Cholis Hamzah, MSc, alumni University of London dan Universitas Airlangga Surabaya, dan dosen di STIE PERBANAS Surabaya, Wakil Rektor UNSURI Surabaya)

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

Terima kasih telah membaca sampai di sini