Sejak beberapa bulan terakhir ini, saya selalu sempatkan menjelajahi New Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta, terminal baru di bandara Cengkareng yang resmi dioperasikan pada 9 Agustus 2016. Terminal ini kini sudah tersambung dengan Terminal 3 lama, dan makin banyak pekerjaan fisik dan non fisik yang selesai. Intinya, progressnya cukup bagus sejak tahun lalu.
Saya tak pernah bosan membagi foto-foto Terminal 3 di Facebook atau Instagram saya, setiap saya transit atau sedang menunggu take off, dan tak bosan pula saya bertanya "Apakah T3 Soetta Siap menjadi yang terbaik di dunia?". Sebagian besar memang menyatakan bahwa banyak PR yang harus segera diselesaikan oleh Angkasa Pura II, jika ingin mengangkat T3 Soetta sejajar dengan Changi atau Incheon. Atau paling tidak, tak terlalu jauh di belakangnya.
Dalam World’s Top 100 Airports 2018 (versi Skytrax), bandara Changi (Singapura) berada di peringkat I terbaik dunia, diikuti Incheon (Korea Selatan), lalu Tokyo Haneda (Jepang) di peringkat III. Di Asia Tenggara, bandara Changi no. 1, diikuti Suvarnabhumi (Bangkok, Thailand no. 36), KLIA (Kuala Lumpur/Selangor, Malaysia no. 44), baru Soekarho Hatta (Jakarta, Indonesia no. 45).
Hmmm. Cukup jauh untuk bisa mengejar Changi. Tapi, baiklah...mari sedikit menengok bandara terbaik di dunia tersebut, dan merasakan..bagaimana berada di dalamnya. Apa yang berbeda? Apa yang bandara lain tak punya?
Saya seringkali singgah, atau mendarat, atau bahkan sekedar berkunjung dan 'menjelajahi' bandara Changi, atau transit sebelum terbang ke benua lain. Jujur ya, menurut saya, secara arsitektur, bandara ini tak teramat megah seperti terminal Beijing’s international terminal (yang didesain oleh Norman Foster), ataupun Bandara Barajas, Madrid, Terminal 4 (didesain oleh Richard Rogers). (Mungkin Jewel Changi yang akan mulai beroperasi di pertengahan tahun 2019 ini, akan berdesain dan berasitektur megah. Kita tunggu saja.)

Lalu mengapa Changi (selalu) dinobatkan sebagai bandara terbaik dunia? Saya mencoba mencari-cari jawabannya, dan inilah pendapat saya.
Efisiensi. Di Changi, terligat sekali efisiensi berada di daftar pertama. Semua item di bandara berfungsi optimal, termasuk para pekerjanya. Proses check-in smooth, prosedur keamanan cepat dan terorganisir dengan baik, mudah bernavigasi di dalamnya (menemukan pintu keberangkatan, kedatangan, toilet, imigrasi, foodcourt), proses bagasi yang cepat dan nyaman, dan sebagainya.
Namun, semua hal di atas sebenarnya adalah ...hal-hal yang mendasar sebuah bandara. Secara teori, semua bandara (harus) bisa mencapai hal tersebut.
Jadi, untuk menjadi bandara terbaik..tingkat dunia, perlu sesuatu di luar itu. Menurut Bill Hooper, seorang ahli kebandaraan, terminal udara terbaik adalah mereka yang mampu “anticipating what your needs when you need them.” "Needs" itu bisa berbentuk macam-macam, karena memang pengguna jasa bandara jumlahnya puluhan juta manusia per tahun, yang tentu punya banyak 'needs'. Misalnya cahaya matahari siang hari yang menembus terminal, tempat duduk ruang tunggu yang nyaman, wifi gratis yang kencang, tempat makan yang terjangkau, bersih, dan enak.
Namun sekali lagi,...itupun bisa dilakukan oleh semua bandara bukan?
Nah, mungkin ini yang mungkin tak bisa diraih semua bandara. Bagaimanapun, kita perlu akui bahwa bandara Changi adalah cerminan karakter dan mentalitas Singapura. Melihat Changi dan area sekitarnya, kita disuguhi kawasan yang hijau, urban, sangat rapi dan terorganisir. Dari mulai pepohonan besar yang tertata rapi, area parkir yang sangat rapi, alur kendaraan dari dan ke bandara yang mengalir rapi, ditambah lagi dengan pemandangan kawasan-kawasan pemukiman Singapura di kejauhan sana. Inilah 'aura' Changi, yang tak semua bandara bisa mencapainya. Bandara ini menjadi terbaik bukan karena apa yang terlihat oleh mata, namun apa yang kita rasakan. Not how the place looks, but how it feels.
