Transformasi Kalibiru, dari Subsisten jadi Masyarakat Sejahtera

Transformasi Kalibiru, dari Subsisten jadi Masyarakat Sejahtera
info gambar utama
  • Kelompok Tani Hutan kemasyarakatan (HKm) Mandiri di Kalibiru berhasil menghijaukan kawasan hutan negara yang dulunya gundul telah menghijau.
  • Masyarakat bertransformasi dari masyarakat berbasi ekonomi konvensional lahan menjadi masyarakat produktif yaitu jasa ekosistem
  • Paradigma hubungan antara masyarakat dan hutan terjadi secara menyeluruh, termasuk di kalangan anak muda desa yang sebelumnya bekerja di luar desa, bahkan menjadi TKI di luar negeri
  • Saat ini, ekowisata Kalibiru telah berkembang pesat dengan omzet hingga milyaran rupiah pertahunnya, dan menjadi destinasi wisata penting di Yogyakarta

Konteks perhutanan kawasan Hutan Menoreh, Yogyakarta tak lepas dari sejarah politik penguasaan lahan era kolonialisme Belanda. Pada tahun 1938 Pemerintah Hindia Belanda mengusir rakyat yang mendiami hutan disekitar Perbukitan Menoreh.

Sampai kemudian pada era Indonesia merdeka, hutan yang dikuasai Belanda beralih ke tangan pemerintah dan dinyatakan sebagai hutan negara. Rakyat yang semula menganggap hutan adalah milik leluhur mereka, tetap tidak bisa mengakses atau mengakui itu sebagai hak miliknya.

“Diusir begitu saja tidak ada ganti rugi. Saksinya ada, masih hidup,” ungkap Parjan, warga Dusun Kalibiru, dusun yang berada di wilayah perbukitan Menoreh menyebut. “Yang dihutankan termasuk tanah milik kakek nenek saya dan menjadi Hutan Negara begitu saja.”

Usai kejatuhan rejim Soeharto, banyak kawasan hutan negara yang dijarah termasuk hutan di Kulon Progo. Kemiskinan yang tinggi di sekitar hutan dan pengawasan yang lemah dari pemerintah menjadi penyebab peristiwa itu terjadi.

Seorang ibu membawa pakan ternak melintas di jalan masuk bukit Kalibiru . Foto: Nuswantoro/Mongabay Indonesia-INFIS
info gambar

Sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat bernama Yayasan Damar, -yang merupakan kumpulan aktivis dari Fakultas Kehutanan UGM, pun mulai masuk ke wilayah krisis, antara lain di Kalibiru.

“Dulu kucing-kucingan dengan warga. Kalau mereka datang, warga pergi. Ketika orang LSM sudah pergi warga kembali,” sebut Parjan.

Sikap curiga dari petani itu wajar mengingat kawasan Hutan Menoreh kala itu banyak dijarah. Kalangan manapun yang datang mencoba menyentuh persoalan hutan dianggap mengusik kepentingan warga.

Geliat Kelompok Tani

Di awal tahun 2000 pun muncul keinginan mereka untuk bertani di hutan negara yang gundul. Salah satu syaratnya adalah membentuk kelompok tani Hutan Kemasyarakatan (HKm). Lama-lama mereka berlima sepakat untuk menerima saran dari Damar.

“Mulailah gagasan-gagasan tentang pemanfaatan hutan agar tetap lestari kami dapatkan. Kami juga dapat jalan untuk mengurus izin pemanfaatan melalui pembentukan kelompok tani,” jelas Parjan.

Kelompok HKm pun lalu berdiri tanggal 31 Desember 2001. Tak mau bersulit-sulit mencari nama, diputuskanlah namanya Mandiri, sama dengan kelompok peternak yang sudah ada.

Seiring berjalannya waktu, anggota bertambah mencapai 100-an orang. Mulai ada kebutuhan sekretariat yang cukup besar dan layak. Disepakati untuk menjadikan rumah Parlan, yang waktu itu seorang PNS dan menjadi kepala sekolah menjadi tempat pertemuan. Kini rumah bersejarah itu dijadikan kantor sekretariat HKm Mandiri.

Hal pertama yang mereka lakukan adalah menanami tanaman keras di lahan masyarakat, atau disebut tanah hutan rakyat. Hasilnya mulai berdampak. Dulu masyarakat di sekitar hutan rakyat untuk mencari air harus berjalan 1 kilometer. Setelah hutan menghijau, sumur sedalam tiga meter pun sudah keluar air.

Mereka pun lalu menargetkan untuk menghijaukan kawasan hutan negara Kalibiru yang gundul.

“Saya undang Dinas Kehutanan. Saya ajak lihat langsung. Yang hutan rakyat sudah jadi [pohonnya], yang hutan negara masih gundul. Kami ajukan usulan agar diperbolehkan menanam di hutan negara,” jelas Parjan.

Permohonan izin pun lalu mereka sampaikan kepada Bupati Kulon Progo waktu itu, Toyo Santoso Dipo. Mereka minta diberi kesempatan untuk membuktikan bahwa mereka bisa menghijaukan hutan negara, sebagaimana hutan rakyat yang selama ini mereka kelola.

“Kami minta diberi kesempatan 1-2 tahun. Nanti kalau memang rusak silakan dicabut izinnya. Akhirnya bupati memberikan izin selama 5 tahun.” Izin pun keluar untuk periode tahun 2003 sampai 2008. Hutan di Kalibiru mereka tanami dengan beragam tanaman seperti jati, mahoni, akasia, dan sonokeling.

Setelah dievaluasi dan dianggap akhirnya Kelompok HKm Mandiri diberi izin pengolahan hingga 35 tahun, sejak 15 Februari 2008. Dalam Izin Usaha Pemanfaatan HKm (IUPHKm) yang merupakan Keputusan Bupati Kulon Progo No 452/2007, kelompok berhak mengelola kawasan Hutan Negara seluas 29 hektar. Adapun 23 hektar di petak 28 dan 6 hektar di petak 29 di RPH Sermo, BKH Kulon Progo.

Panorama alam yang indah menjadi daya tarik Kalibiru. Foto: Nuswantoro/Mongabay Indonesia-INFIS
info gambar

Sayangnya izin yang keluar adalah untuk Hutan Lindung, bukan Hutan Produksi seperti yang digadang-gadang oleh HKm Mandiri seperti semula. Walhasil Parjan dan rekan-rekan pengurus pun sempat “harus menghindar” dari pertanyaan yang diajukan oleh anggota tentang izin yang diberikan ini.

“Dulu kami belajar pengelolaan hutan sampai ke mana-mana. Antara lain ke Lombok, Lampung Barat, Malang,” sebutnya mengenang.

Hasil kerja keras Parjan dan Kelompok Tani Hutan kemasyarakatan (HKm) Mandiri pun berbuah manis. Kini Hutan Negara yang dulunya gundul telah menghijau. Dari sebuah jalan yang melingkari bukit di sisi Timur melewati zona inti bisa dinikmati lebatnya Hutan Kalibiru.

Hampir sepanjang hari terdengar kicauan burung dan suara ayam hutan bersahutan. Hutan Kalibiru telah menjadi habitat yang baik bagi berbagai jenis burung.

Sejumlah satwa juga menjadikan hutan yang dulunya gundul menjadi habitat mereka. Diantaranya trenggiling, landak, babi hutan, kijang, elang Jawa, hingga macan kumbang.

Hutan Sebagai Model Transformasi Sosial

Hery Santoso, pegiat di LSM Javlec dan Damar, yang fokus mendampingi masyarakat, berpandangan transformasi sosial di kalangan masyarakat desa hutan dapat mengubah masyarakat subsistensi menjadi masyarakat produktif. Ini juga terjadi di Kalibiru.

“Kalibiru menjawabnya dengan mendorong perhutanan sosial. Mereka keluar dari ekonomi konvensional berbasis lahan yang cenderung tidak terlalu produktif menuju ekonomi baru berbasis jasa yang produktif,” jelas doktor yang belajar kehutanan dan antropologi ini kepada Mongabay (23/01).

Perhutanan sosial yang dijalankan di Kalibiru tidak saja mengubah wajah bukit gundul hutan negara menjadi hijau kembali. Namun juga mengubah paradigma hubungan antara masyarakat dan hutan, termasuk di kalangan anak mudanya.

Keindahan matahari terbit yang bisa disaksikan di Kalibiru. Foto: Nuswantoro/Mongabay Indonesia-INFIS
info gambar

“Sebelumnya mereka menganggap hutan adalah urusan orang-orang tua. Sekarang mulai ada kesadaran di kalangan anak muda bahwa melestarikan hutan harus dilakukan bersama-sama. Baik orang tua maupun anak-anak muda,” kata kepala dusun Kalibiru, Mariko Trinugroho.

Mariko tak asal bicara. Dia sendiri kepala dusun termuda se-Kulon Progo, usianya 23 tahun.

“Dulu hutan gersang. Anak muda tidak tertarik masuk ke hutan. Mereka menganggap hutan tidak penting, lebih tertarik merantau ke kota yang dianggap lebih keren. Sekarang terbalik, mereka lebih nyaman berada di hutan yang asri dan hijau.”

Dalam catatannya, warga Dusun Kalibiru yang berjumlah 446 jiwa dengan 149 kepala keluarga, separuhnya terlibat di wisata alam Kalibiru. Tidak sedikit anak muda yang sebelumnya merantau ke kota bahkan menjadi TKI, akhirnya memilih pulang dan bekerja di desa.

Contohnya Erma Sulistyaningsih, tamatan SMA yang sebelumnya merantau ke Malaysia dari 2008 sampai 2012. Dulu dia bekerja di sebuah perusahaan elektronik. Kini lebih nyaman bekerja di Kalibiru, di bagian penjualan tiket.

“Dekat dengan keluarga, orang tua, dan bisa memajukan desa. Pendapatan cukup karena biaya hidup di sini lebih murah,” Erma menyebut alasannya kembali.

Ada pula Fajar Dwi Agung Jatmiko, yang bertugas sebagai operator di spot panggung. Sebelumnya dia bekerja di sebuah pabrik di Tangerang selama 7 tahun.

“Teman-teman saya merantau karena susah mendapatkan pekerjaan di sekitar Jogja,” kata Agung seorang lulusan STM ini. “Saya kembali ke desa karena di sini sudah ada peluang. Kalau saya hitung-hitung di sini bisa menabung. Merantau itu meski gajinya banyak tapi kebutuhan juga banyak.“

Etik bersama kakaknya Budi, warga Kalibiru sore itu tengah memetik buah melinjo di hutan lindung. Budi adalah anggota kelompok HKm Mandiri.

“Tidak semua anggota harus terjun ke wisata,” kata Budi. “Tanaman di hutan tetap harus dirawat. Yang mengolah tanah biasanya yang paruh baya.” Di lahan garapannya, dirinya menanam melinjo, petai, lada hutan, jeruk purut, dan jahe.

Parjan, ketua kelompok tani HKm Mandiri di depan kantor sekretariat. Foto: Nuswantoro/Mongabay Indonesia – INFIS
info gambar

Perhutanan Sosial dapat Diakses

Terkait program Perhutanan Sosial, Hery Santoso menyebut syarat agar program itu berhasil adalah transformasi ekonomi, yaitu mendorong dari model ekonomi konvensional ke ekonomi modern.

“Analisis ekonomi rasional perlu dikedepankan daripada ekonomi moral sebagaimana yang ada selama ini,” pungkasnya.

Petani di dalam dan luar kawasan hutan, sebutnya, tak perlu khawatir lagi mengakses hutan yang menjadi sumber mata pencaharian. Lewat sistem perhutanan sosial masyarakat dapat mengelola hutan negara dan hutan adat tanpa takut dikejar-kejar petugas. Sebab legalitas sudah diperoleh, sekaligus mendapat perlindungan negara.

Ada lima skema perhutanan sosial, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri LHK Nomor 83/2016. Kelima skema itu adalah Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Adat (HA), dan Kemitraan Kehutanan (KK).

Sedang pemegang izin kelola hutan lindung dapat memilih pemanfaatan kawasan, jasa lingkungan dan hasil hutan bukan kayu. Bentuknya antara lain jasa tata air, keanekaragaman hayati, penyerapan atau penyimpanan karbon, dan ekowisata seperti yang dilakukan kelompok tani HKm Mandiri Kalibiru.

Dalam berbagai kesempatan, kelompok tani ini dijadikan contoh model keberhasilan pengelolaan hutan berbasis masyarakat melalui skema perhutanan sosial.

Pemerintah sendiri menargetkan hingga tahun 2019 ada 12,7 juta hektare hutan yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat lewat sistem perhutanan sosial. Dari tahun 2007 sampai 2019, sudah 595 ribu hektar hutan yang dikelola melalui skema hutan kemasyarakatan di seluruh Indonesia.

video: Hutan Lestari Kalibiru yang Mendunia


Sumber: Diposting ulang dari Mongabay Indonesia ditulis oleh Nuswantoro atas kerjasama dengan GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini