Waja Kopi: Alam Natural, Kopi Orisinal

Waja Kopi: Alam Natural, Kopi Orisinal
info gambar utama

Menikmati kopi barangkali sudah menjadi sebuah ritus dan budaya tersendiri masyarakat kita. Mengacu dari riset Dr Awalia Rahma, ia menemukan bahwa kopi sudah dikenal dan dikonsumsi masyarakat di Jawa jauh sebelum diperkenalkan oleh Belanda pada akhir abad ke-17. Budaya minum kopi sangat kaya dan terbentuk dari praktek keseharian keluarga di rumah pelosok desa, di tempat kerja sampai melebar ke tempat hiburan dan belanja di tengah kota.

Dari ritus budaya ngopi kita dapat membedakan gaya hidup dan identitas bangsa dan kelas sekaligus meleburnya obrolan melalui tempat, jenis kopi yang dikonsumsi, kualitas kopi dan peralatan minumnya yang digunakan.

Di Lasem, pesisir Kabupaten Rembang misalnya, kopi dinikmati masyarakat nelayan di warung gubuk pinggiran tambak sembari membersihkan jala. Dengan diselingi obrolan dan menghias kretek oleh olesan ampas kopi. Kegiatan ini biasa disebut masyarakat setempat dengan nyete atau mbatik.

Sementara si abah, dulu kerap memetik kopi dari kebun dan menumbuknya sendiri di sebuah batu yang bentuknya cekung. Si abah menyebut kopi racikanya Kopi Tutu. Biasa disajikan oleh si ema tanpa gula ditemani serabi yang telah ditaburi gula merah sebelum berangkat ke sawah.

Bersama kolega partikelir di Ibu Kota, saya menyeruput kopi di Coffe Shop dengan alunan musik, nuansa gambar klasik atau berbagai seni rupa unik dengan penuh tekanan deadline di tengah paceklik. Sedangkan bersama teman masa kecil, kita cukup menyeduh kopi saset dengan beragam merk sesuai selera masing-masing. Hanya ada obrolan nostalgia dan ghibah tak bermutu tentang si anu yang diulas berlalu begitu melulu.

Kita mungkin memiliki beragam cara untuk menikmati secangkir kopi dan menyimpan cerita sendiri dalam setiap teguknya. Tapi diakui atau tidak, kopi telah menjadi komoditas utama untuk membuka dari kisah yang terkasih sampai perekat kisah yang terpisah.

Setelah lalu lalang melintang dari warkop amatir, mampir ngopi di tongkrongan diskusi, melipir di berbagai kedai kopi, atau singgah dari satu tempat ke tempat lain menyesap beragam jenis kopi, satu hal yang kerap membuat rasa tak terpermanai adalah merasakan kopi yang tumbuh, diolah dan dikelola secara mandiri dari daerah sendiri.

Waja Kopi, satu tempat ngopi di kaki Gunung Ciremai, menjadi muara dimana kopi lokal dicari berkali-kali untuk dicicipi dengan rasa orisinal.

Namanya Waja Kopi. Secara literal sunda waja berarti baja. Sementara filosofi yang diusung pemilik, Waja merupakan serangkaian dari Waruga Jagad yang menyimpan makna tubuh semesta. Barangkali maksudnya, lewat waja kopi yang berdiri di ketinggian 1080 mdpl, kita diajak untuk menikmati kopi dari ketinggian yang jarang ditemui sembari meneropong tubuh semesta alam di pelosok daerah yang jarang sekali orang jamah.

Teropongan alam dari Waja Kopi menyediakan nuansa natural dan menjajakan kopi yang orisinal. Bumi permai Kuningan dari kaki Gunung Ciremai menjadi potret alam yang tak kalah ciamik dari desain ala Coffe Shop klasik. Sedangkan dua produk utamanya juga begitu alami tumbuh, diambil dan diolah dari jenis kopi yang tumbuh di Gunung Ciremai; Kopi Arabica dari ketinggian tanah Palutungan dan Kopi Robusta diambil dari sekitar Linggarjati.

Yang masih kurang dari Waja Kopi mungkin sajian kudapan kuliner lokal yang belum terjajakan dengan baik atau akan lebih ciamik jika ditambahkan buku-buku, selain untuk merawat budaya literasi, tentunya untuk menunjang masa rehat pengunjung usai berkontemplasi.

Namun geliat usaha seperti Waja Kopi memang mesti diapresiasi. Waja Kopi juga barangkali membawa angin segar untuk tumbuh kembangnya alternatif ekonomi anak muda desa di tengah maraknya budaya urban dimana para putera daerahnya dibiarkan begitu saja mengadu nasib di kota. Kita mesti mendukung dan tak kalah untuk berinisiasi melestarikan potensi ekonomi demikian. Apalagi mengingat Kuningan yang menyimpan kekayaan potensi wisata alam dan komoditas yang beragam.

Desa, dengan kemungkinan kecilnya yang belum terlalu jauh dieksploaitasi, patut menjadi contoh bagiamana semestinya lingkungan dikelola. Dalam hal ini tentu perihal ekonomi alternatif desa saat anak mudanya lebih bangga bekerja di gedung-gedung angkuh penuh kaca, saat anak-anak mudanya tak lagi melihat hal yang menjanjikan untuk menjadi petani atau saat anak muda dan desa dijauhkan oleh budaya global yang serba gombal.

Lewat secangkir kopi memang kerap muncul celoteh nakal dan pikiran banal. Entah mengapa aroma kopi kerap menyediakan ketenangan dan memantik keluarnya ide dan gagasan. Para penulis berbagi kisah mengail ide, membangun cerita, dan tentu saja mengeksekusinya dengan matang lewat secangkir kopi.

Lewt bukunya Revolusi dari Secangkir Kopi, Didik Fotunadi, seorang aktivis 98, bahkan mengabdikan cerita nya saat ia masih menjadi mahasiswa yang bermulai dari tegukan kopi untuk memulai reformasi menumbangkan rezim yang tak tahu diri.

Tapi kini, di kedai-kedai kopi, jangankan untuk mengobrol ringan, hadirnya barang-barang elektronik kerap menjadi pengalih perhatian yang menguapkan pertukaran gagasan. Di kedai kopi mentereng, yang dicari orang kini bukan kenikmatan kopi lagi, tapi lebih kepada kebutuhan mereka pada akses digital semata. Sementara kopi hanya sebatas komoditas pelengkap saja, tak lagi menjadi yang utama untuk dinikmati secara hakiki. Tentu tak heran bukan mengapa kita melihat sosok Ben dalam Filosofi Kopi nya Dee Lestari begitu ngotot mengancam pergi saat Jodi menginisiasi Kedai Kopi disediakan akses Wifi?

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AA
AI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini