Mengenal Orangutan Lewat Karya Seni

Mengenal Orangutan Lewat Karya Seni
info gambar utama
  • Beragam karya seni seputar orangutan dari para seniman meramaikan Art of Orangutan III di Jogja Nasional Museum
  • Art of Orangutan, merupakan cara komunitas peduli kehidupan orangutan, dan seniman dalam mengkampanyekan perlindungan, rehabilitasi dan menghentikan kekerasan kepada orangutan
  • Subjek satwa dalam karya seni Art of Orangutan jelas memuat sikap keberpihakan. Pameran ini, berangkat dari persoalan orangutan yang mengalami banyak masalah, seperti pembantaian karena deforestasi, perdagangan ilegal dan untuk atraksi sirkus
  • Harapannya, dengan pameran ini masyarakat lebih peduli orangutan sebagai satwa endemik terancam punah. Juga pemerintah, makin ketat dan menindak pelaku perburuan liar dan yang terlibat kekerasan maupun jual beli orangutan.

Marco Abhimantra dan Merel van Den Berg, bertemu di Yogyakarta, jauh hari sebelum pameran, Art for Orangutan, digelar. Marco, sapaan akrabnya, pegiat seni dan pembuat film, sedang Merel, dari Belanda, belajar membatik di Institut Seni Indonesia, Yogyakarta.

Berawal dari pertemuan itu, keduanya mendengar ada pameran Art for Orangutan, ketiga (AFO#3) digelar di Jogja Nasional Museum. Mereka berkolaborasi membuat batik bertemakan orangutan. Karya begitu indah, dan menarik perhatian pengujung. Menghadirkan kegelapan dan keindahan. Marco ingin menyampaikan pesan, kehidupan dan keindahan orangutan, begitu pula Marel.

“Karya kami buat batik, kolaborasi ini ingin menyampaikan kebaikan dan keindahan orangutan,” kata Marco, pekan lalu.

Marco tahu banyak konflik orangutan dan manusia. Namun, dia tak ingin membawa karya pada kesedihan, seperti orangutan ditembak, ditangkap, atau diperdagangkan. Sebelumnya, dia tahu kehidupan orangutan hanya mendengar dan baca berita.

Baru pada 2016, dia datang ke Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah. Kala itu, dia membuat film dokumenter. Di hutan, dia melihat orangutan, dan merasakan kehidupan satwa langka ini. Dia bertemu orangutan berumur 35 tahun dan anaknya sekitar lima tahun.

“Saya ingin membantu menyampaikan keindahan orangutan lewat karya,” kata Marco.

AFO ketiga yang mengajak seniman suarakan orangutan | Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia
info gambar

Merel mengatakan, walaupun belum pernah melihat langsung orangutan, tetapi ingin terlibat kampanye penyelamatan orangutan lewat seni. Dia juga ingin melihat orangutan di Kalimantan.

Karya Merel ingin menunjukkan sisi terang dan gelap. Kalau tanpa lampu, akan gelap, jika diterangi, terlihat berwarna indah.

“Lewat karya ini, semoga banyak yang peduli pada Ibu Bumi, yang memberi dan melindungi manusia dan seisinya, berbuatlah baik untuk kebaikan bersama,” kata Merel.

Karya Marco dan Merel, dipamerkan dalam AFO#3 digelar di Jogja Nasional Museum, minggu lalu. Ada 232 karya orangutan lain di pameran. Pada AFO kedua ada 122 karya dan AFO pertama 90 karya.

Ramadhani, Manager Komunikasi Centre for Orangutan Protection (COP) mengatakan, mengajak rekan-rekan seniman mulai dari kunjungan dan diskusi tatap muka, dan melempar isu orangutan. Seniman merespon melalui karya seni.

“Ini bentuk sosialisasi dan edukasi ke seniman, mereka masuk dunia seni satwa liar,” katanya seraya bilang, pemeran ini kerja kolaborasi COP, Gigi Nyala, Borneo Environmental Film Festival dan seniman.

Lukisan orangutan, yang kehilangan habitat. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia
info gambar

Pusat rehabilitasi orangutan COP di Kalimantan Timur, katanya, sudah dua tahun melepasliarkan orangutan di Hutan Lindung Sungai Lesang. Ada 11.000 hektar hutan lindung bisa dipelajari dan jadi contoh habitat. Hutan lindung ini di bagian atas dan bawah berupa konsesi sawit. COP mempertahankan area itu, dan perang melawan perkebunan sawit.

“Sampai saat ini perusahaan tak land clearing di hutan lindung, kami terus mempertahankan habitat orangutan itu,” kata Ramadhani.

Selain hutan lindung Sungai Lesang, COP juga dapat 28.000 hektar untuk restorasi atas penunjukkan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Adapun jumlah orangutan di pusat rehabitiltasi ada 18, total ditangani di Berau 20, lepas liartiga, sisanya, berakhir mati.

Pusat rehabilitasi COP lebih kecil dibanding delapan pusat rehabilitasi lain di Kalimantan, namun tak sedikitpun uang didapat dari perusahaan sawit.

Pengunjung AFO ketiga mendapatkan banyak informasi dan melihat karya indah tentang orangutan | Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia
info gambar

AFO, kata Ramadhani, merupakan cara dari komunitas peduli kehidupan orangutan, dan seniman dalam mengkampanyekan perlindungan, rehabilitasi dan menghentikan kekerasan terhadap orangutan.

AFO, katanya, wujud keresahan pekerja seni terhadap masalah orangutan. “Orangutan bukan sekadar binatang primata, mereka bagian kehidupan. Perlu ada perlindungan lebih bagi kelangsungan hidup mereka. Mereka makhluk hidup layak mendapatkan kehidupan tanpa merasakan ancaman,” katanya.

Segala pendapatan dari pameran ini untuk kepentingan perlindungan dan pelestarian bagi orangutan. Harapannya, dengan pameran ini masyarakat lebih peduli orangutan sebagai satwa endemik terancam punah.

Pemerintah, katanya, makin tegas menghukum pelaku perburuan liar dan yang terlibat kekerasan maupun jual beli orangutan.

Selama ini, katanya, pembangunan kurang memperhatikan ekosistem, hutan terbabat habis beserta isi, termasuk orangutan. “Belum lagi pasar gelap yang memperjualbelikan binatang langka termasuk orangutan, membuat satwa ini makin rentan segala bentuk kekerasan,” katanya.

Selain seni lukis, juga ada patung orangutan | Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia
info gambar

Evan dari Gigi Nyala mengatakan, pameran kali ini diikuti seniman internasional dan Indonesia, ada lima judul dari luar negeri. Seniman terlibat juga tak dibatasi usia, dari siswa sekolah dasar sampai orang tua.

“Tahun lalu, tema menolak punah. Tahun ini, menyebarkan optimis bagi kehidupan orangutan ke depan,” kata Evan.

Huhum Hambilly, penulis dan kurator AFO #3 mengatakan, pameran ini tidak boleh dipandang sepele. Secara berkala gagasan kolaboratif, menjadi tonggak dan praktik pameran seni dan metode sosialiasi dan aktivisme agar lebih segar.

AFO, katanya, jadi medan seni di luar seni Jogja secara umum. Pameran ini bangkit dari kesadaran dan relawan, tak hanya seniman tetapi musisi memberi sumbangan.

“Banyak masalah karena pola hidup industrialisasi, membawa ancaman kepunahan mahkluk hidup, manusia justru jadi dalangnya,” kata Huhum.

Kepunahan bukan persoalan baru. Yuval Noal, dalam “Kita Sapiens,” mengungkapkan, kepunahan spesies terbesar karena ulah manusia.

“Sejumlah cendikiawan coba bersihkan spesies kita dan menyalahkan perubahan iklim sebagai kambing hitam, yang bisa disebut dalam kasus kepunahan. Manusia telah membakar hutan besar-besaran, dan memusnahkan spesies burung, indikasi ini masuk akal mengingat ketimpangan populasi hewan daratan, laut jauh lebih kaya.”

Subjek satwa dalam karya seni AFO jelas memuat sikap keberpihakan. Pameran ini, katanya, berangkat dari persoalan orangutan yang mengalami banyak masalah, seperti pembantaian karena deforestasi, perdagangan ilegal dan orangutan untuk atraksi sirkus maupun swafoto.

“Pameran ini bagian dari visi edukatif, tentang perlakuan satwa, setidaknya publik yang hadir dapat informasi orangutan secara masuk akal,” katanya.

Dia bilang, gambaran sebagian orangutan dalam pameran ini bernuansa duka dan kesdihan, kerusakan alam parah, sampai minim harapan hidup. “Inilah fakta nasib tragis orangutan, orangutan menyusut bersanding lurus dengan hutan susut. Artinya, makin kecil hutan makin menipis pula kekayaan hayati, termasuk orangutan.”


Sumber: Ditulis oleh Tommy Apriando dan diposting ulang dari Mongabay Indonesia atas kerjasama dengan GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini