Hutan Desa yang Menghidupi Petani dan Nelayan Sungai Anak Batang

Hutan Desa yang Menghidupi Petani dan Nelayan Sungai Anak Batang
info gambar utama

Berjalan kaki menyusuri kebun-kebun kelapa milik warga desa, siang itu, Suriadi Kepala Desa Sungai Piyai, Kecamatan Kuala Indragiri, meninjau ke perbatasan desanya. Sebagian kebun kelapa yang berbatasan wilayah sungai dan muara telah diperkuat.

Membangun tanggul memang menjadi prioritas utama Suriadi agar kebun kelapa warga tak terkena instrusi air sungai dan laut.

Dengan alat berat dari luar per kilometer, katanya biaya pembuatan tanggul mencapai Rp60 juta. Jika menggunakan alat berat dari pemerintah biayanya sekitar Rp30 juta. Dana dia kumpulkan dari beragam sumber, termasuk sumbangan warga, dana desa, sampai dana aspirasi anggota dewan.

“Sebagian sudah aman. Tapi masih butuh yang perlu di tanggul, sekitar 15 kilometer lagi. Baru [kebun kelapa warga] akan aman dari air pasang,” jelasnya.

Hasil kelapa memang penting bagi warga Desa Sungai Piyai. Sekitar 80 persen dari 50 km persegi luas desa ditanami kelapa. Jumlah penduduk desanya sendiri sekira 320 KK atau 1.300 jiwa.

Namun sejak dua tahun terakhir, harga kelapa menukik ke bawah. Harga kelapa yang kini Rp800 per kg dinilai masih jauh dari keuntungan yang dapat diperoleh di tingkat petani.

Sejatinya, Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil), Riau adalah kabupaten dengan produksi kelapa terbesar di Indonesia. Secara nasional, persentasenya 13 persen produk kelapa dan 62 persen untuk kelapa hibrida. Untuk Riau, Inhil berkontribusi sekitar 82 persen produksi kelapa.

Petani kelapa Desa Sungai Piyai memproses hasil panen kelapa yang dijual ke pengumpul. Harga kelapa yang anjlok sejak dua tahun terakhir memukul ekonomi masyarakat | Foto: Zamzami/Mongabay Indonesia-INFIS
info gambar

Suriadi dan warga Sungai Piyai lalu melirik potensi yang ada di desa sebagai alternatif kelapa. Diantaranya lokan (sejenis kerang yang hidup di lumpur bakau) dan nipah yang hidup di wilayah bakau dan daerah pasang surut. Pucuk dan daun nipah pun laku dijual, demikian pula lokan.

Potensi komoditas ini memang berlimpah di kawasan Hutan Desa (HD).

Sejak akhir tahun 2017, Desa Sungai Piyai dan tiga desa lainnya, Perigi Raja, Tanjung Melayu, dan Sapat mendapat pengakuan Hutan Desa (HD) dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Hamparan HD membentang di empat desa yang ada di Sungai Anak Batang. Wilayah HD sebagian besar meliputi hutan pantai, nipah dan bakau.

Total HD untuk empat desa ini adalah 7.664 hektar. Adapun wilayah HD Desa Sungai Piyai adalah yang terkecil, yaitu 299 hektar. Penetapan HD sendiri merupakan buah perjuangkan warga desa selama bertahun-tahun.

Masyarakat menyebut HD akan berkontribusi sebagai katalis untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan memulihkan ekosistem sungai. Secara khusus dari praktik penebaran racun ikan.

Dalam beberapa tahun terakhir, praktik penyebaran racun ikan di Sungai Anak Batang memang menjadi-jadi, dan telah jadi ancaman serius bagi para nelayan. Padahal sungai ini adalah tempat favorit memancing ikan dan udang bagi nelayan setempat.

“Sejak HD ditetapkan, nelayan yang dulu mencari ikan dengan menggunakan racun, kini tak ada lagi. Kalau ada warga yang meracun ikan, pasti bakal mendapat sanksi sosial. Orang kampung sini tak akan beli ikan dari penjual yang meracun sungai,” tutur Suriadi.

Selanjutnya, Suriadi berangan-angan membangun jembatan gantung yang menghubungkan desanya dengan Desa Tanjung Melayu.

“Kalau sudah ada itu, kita bisa bangun pos penjagaan dan patroli [di kawasan HD] sampai ke mulut Sungai Air Batang. Jadi mudah dan biayanya lebih murah, kalau sekarang patrolinya cuma bisa pakai perahu. Mahal biayanya,” tambahnya.

***

Di desa tetangga, Desa Tanjung Melayu pemanfaatan pandan dari kawasan HD mulai dilakukan. Kaum ibu di desa pun mulai memproduksi bahan anyaman berbahan baku pandan.

Selain pandan, kaum ibu juga biasa membuat manisan dari buah nipah serta dodol dan ubi. Dengan pemanfaatan ini, perempuan di desa bisa menambah penghasilan bagi keluarga. Meski saat ini produksinya dirasa belum optimal.

“Seandainya ada yang bisa bantu menampung dan memasarkan, saya akan lebih giatkan ibu-ibu,” ujar Medawati, Ketua Kelompok Dasa Wisma Serai Dusun Majenai, Tanjung Melayu. Dia berharap Pemda dapat membantu pemasaran hasil produksi kelompoknya.

Desa Tanjung Melayu sendiri telah mendapatkan hak pengelolaan Hutan Desa dengan luas 1.369 hektar dari Menteri LHK.

 Hasil lokan, -sejenis kerang lumpur bakau, potensi ekonomi alternatif yang banyak ditemukan di kawasan mangrove dekat Hutan Desa Sungai Piyai | Foto: Zamzami/Mongabay Indonesia-INFIS
info gambar

Medawati setuju dengan perlindungan HD asal dapat memberikan dampak ekonomi bagi warga desa, terutama bagi kaum ibu. “Kalau hutan desa dikembangkan, semisal pandan ditanam ulang, kemungkinan usaha anyaman ini juga bisa berkembang,” tuturnya.

Di Desa Perigi Raja, keberadaan HD seluas 1.747 hektar dirasa telah meningkatkan perekonomian masyarakat. Apalagi sebagian besar warga adalah nelayan, yang amat menggantungkan hidup pada Sungai Anak Batang.

“Wilayah kami lumayan luas HD-nya,” jelas Si’ef, Kades Perigi Raja. Jelasnya ada sejumlah bisnis rumahan berbasis makanan ikan olahan yang telah dikembangkan. Seperti petis yang berbahan baku dari udang sungai.

Lewat komitmen HD, Si’ef pun terpikir untuk mengangkat potensi sektor pariwisata. Dia bilang ada banyak pulau-pulau kecil tak berpenghuni yang bisa dimanfaatkan untuk wisata. Pemanfaatan pulau untuk ekowisata juga dapat menjadi pemasukan bagi kas desa, katanya.

“Di ujung utara desa kami, ada pulau seluas 2.500 hektar. Ini sangat potensial untuk tempat wisata,” kata Si’ef mempromosikan wilayahnya.

Kepedulian terhadap kelestarian HD pun dirasa mulai muncul dari warga. Akhir tahun lalu warga Perigi Jaya, Wahyudin (38), memergoki nelayan dari luar yang ketahuan menebar racun. Nelayan itu lalu dibawa ke desa untuk diberi peringatan.

“Ketahuanlah nampak, orang menogok dengan cara meracun. Bukti cukup kuat, kami tariklah (pompongnya) ke mari. Kami bawa ke Babinsa,” kata dia.

Wahyudin memang patut kesal dengan praktik peracunan. Ekonomi keluarganya tergantung pada kelestarian aliran sungai.

Sejak 20 tahun lalu, dia sekeluarga mengelola usaha rumahan yang memproduksi udang saus petis dan udang rebus kering. Bahkan dia sudah berhasil memenuhi permintaan dari Singapura.

“Ini udang olahan premium, kami jual ke Singapura. Kalau sungai diracun, udang akan hilang. Ini mengganggu pendapatan,” katanya.

Udang sungai, hasil panen para nelayan di Sungai Anak Batang | Foto: Zamzami/Mongabay Indonesia-INFIS
info gambar

Berbeda dengan warga desa lainnya, pengolahan produk yang lebih maju telah dilakukan oleh warga Desa Sapat. Saat harga kelapa anjlok, lewat fasilitasi LSM Mitra Insani, sejak tahun 2014 warga diajari untuk mengembangkan produk turunan kelapak yaitu Virgin Coconut Oil (VCO).

Bagi Juari (45) Ketua Kelompok Usaha VCO ‘Nyiur Terpadu’ Desa Sapat, VCO menjadi tumpuan yang menjanjikan bagi warga. Apalagi desa ini mendapat SK Penetapan HD yang terluas diantara desa lainnya, yaitu 4.249 hektar.

Potensi HD yang meliputi empat desa di hamparan Sungai Anak Batang ini memang menjanjikan. Meski demikian, warga sadar belum seluruh potensi yang dapat digarap dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.

Hal yang paling sering menjadi kendala yang dirasakan adalah pendampingan keterampilan. Demikian pula bantuan pengadaan barang produksi, pengolahan produksi hingga pemasaran.

“Kami berharap ada bantuan pemasaran dari pemerintah. Kalau untuk produksi, kami sudah bisa produksi banyak,” ungkap Juari.

Sebagai contoh, menurutnya warga Desa Sapat telah terampil dalam mengolah minyak kelapa menjadi VCO. Apalagi, bahan bakunya dengan mudah dapat dijumpai di lingkungan desa. Persoalannya menembus pasar yang lebih luas.

Senada, hal ini pun diajukan oleh Si’ef Kepala Desa Perigi Jaya. Dia menganggap jika tidak difasilitasi, maka keuntungan dari komoditas yang ada di HD bisa-bisa diambil alih oleh investor bermodal tebal. Bukan lagi membawa kesejahteraan bagi masyakat setempat.

“Harusnya Pemda, -termasuk Dinas Pariwisata, dapat meninjau potensi yang ada. Mana yang bisa dikembangkan potensinya [buat warga]. Karena sekarang mulai banyak investor yang melirik potensi hutan desa,” tutup Si’ef.

Hutan Desa, Menyelamatkan Perikanan Sungai Anak Batang


Sumber: Ditulis oleh Zamzami dan diposting ulang dari Mongabay Indonesia atas kerjasama dengan GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini