Tradisi Bertarung dalam Sarung asal Sulawesi Selatan

Tradisi Bertarung dalam Sarung asal Sulawesi Selatan
info gambar utama

Indonesia memiliki lebih dari sekitar 1.340 suku bangsa yang mana setiap suku bangsa memiliki budaya, tradisi dan keseniannya masing-masing. Dalam tatanan kehidupan, kebudayaan dan tradisi menjadi lekat dengan tingkah laku dan peradaban masyarakat dalam segala aspek.

Begitu pula dengan cara menyelesaikan masalah atau pertikaian. Seperti yang terjadi di Bugis, Makassar. Adalah Sigajang Laleng Lipa, sebuah budaya yang berarti Saling Tikam menggunakan badik atau senjata warisan keluarga yang sebelumnya telah diberi mantera dalam satu sarung.

Hal ini diberlakukan jika ada dua pihak/keluarga yang bertikai jika musyawarah untuk mendapatkan mufakat tidak mendapati titik terang atau win-win solution.

Kedua perwakilan keluarga yang bertikai akan menyarungkan satu sarung dengan senjata Badik sehingga hanya menyisakan sedikit ruang untuk menghindar. Konon, tradisi ini banyak terjadi di masa lalu akibat harga diri sebuah keluarga merasa terinjak sedangkan kedua keluarga yang bertikai merasa benar. Maka diselesaikan dengan Sigajang Laleng Lipa’.

Ilustrasi Sigajang laleng lipa' karya Ahmad Auliya Arafah(@ahmadaarafah_)
info gambar

Dalam budaya suku Bugis terdapat hal yang dijunjung tinggi yaitu konsep Siri’ yang berarti malu. Pada prinsipnya, bagi suku Bugis, hanya orang yang punya Siri yang dianggap sebagai manusia. Ada sebuah ungkapan Naia tau de’ gaga sirina, de lainna olokolo’e. Siri’ e mitu tariaseng tau, Artinya (Barang siapa yang tidak punya siri (rasa malu), maka dia bukanlah siapa-siapa, melainkan hanya seekor binatang.

Kenapa Siri menjadi sangat berarti bagi orang Bugis, hal ini menurut pada sebuah pepatah yang mengatakan “Siri Paranreng Nyawa Palao” yang berarti “Apabila harga diri telah terkoyak, maka nyawa lah bayarannya”. Tak heran jika tradisi Sigajang Laleng Lipa bisa berakibat kematian. Pun begitu bisa juga dengan hasil akhir keduanya sama-sama hidup.

Harga diri merupakan sesuatu yang dijunjung tinggi oleh orang Makassar, kata “Appaenteng Siri” berarti menegakkan harga diri. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya adalah baku tikam.

Ada sebuah pepatah Bugis yang berarti, “ketika badik telah keluar dari sarungnya pantang diselip dipinggang sebelum terhujam ditubuh lawan”.

Perlu diketahui bahwa pertarungan satu sarung ini tak semerta-merta langsung dilakukan, ada proses terlebih dahulu yakni bermusyawarah dengan mufakat.

Konon, ritual ini dulu dilakukan pada masa Kerajaan Bugis dimasa lalu. Namun kini tradisi semacam ini telah ditinggalkan oleh masyarakat Bugis Makassar, namun tetap dilestarikan sebagai warisan budaya leluhur dengan cara dipentaskan diatas panggung sebagai hiburan dan pelestarian budaya.

Sumber artikel :

Boombastis | Ulinulin.com |Pemuda Bulo Bulo

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini