Mangrove Pasir Sakti yang Kini Hijau Lagi

Mangrove Pasir Sakti yang Kini Hijau Lagi
info gambar utama
  • Mangrove di Desa Purworejo, Kecamatan Pasir Sakti, Kabupaten Lampung Timur, Lampung, kini hijau kembali. Dahulu rusak karena dijadikan areal tambak yang tidak terkendali
  • Samsudin bersama anggota kelompoknya Tunas Rimba, mengajak masyarakat dan para petambak untuk kembali menghijaukan mangrove dan kegiatan ini membuahkan hasil
  • Alat Pemecah Ombak [APO] Jaring dipasang. Alat ini terbuat dari susunan bambu dan papan, di bawahnya dipasang jaring, berfungsi sebagai break water ramah lingkungan
  • Butuh satu tahun untuk membuat lumpur timbul dari APO Jaring yang bisa ditanami mangrove. Dalam rentang itu, muncul daratan seluas 7-10 hektar

Hamparan hijau mangrove di Desa Purworejo, Kecamatan Pasir Sakti, Kabupaten Lampung Timur, Lampung, sungguh memanjakan mata. Rimbun daun berpadu dengan akar-akar yang kuat menunjukkan kawasan ini terkelola baik.

Burung camar, pecuk-padi hitam, kuntul besar yang bermain di area yang membentang di Register 15 Way Seputih hingga Sekampung seluas 347 hektar, menunjukkan wilayah ini bersahabat pada satwa liar.

Samsudin [42], nelayan sekaligus pejuang penyelamat hutan mangrove, menceritakan dirinya tidak pernah membayangkan jika hutan mangrove Pasir Sakti bisa pulih kembali. Pada 1984, masyarakat pendatang berlomba menebang mangrove untuk dijadikan areal tambak. Mangrove hancur, jaraknya hanya 50 meter dari bibir pantai.

“Terjadilah abrasi pada 1995, tambak orang tua kami tak luput rusak juga,” terangnya.

Pelajar yang hendak menanam mangrove, terlebih dahulu mengambil bibit di persemayaman Kelompok Mutiara Hijau I di Desa Purworejo, Lampung Timur, Lampung | Foto: Eni Muslihah/Mongabay Indonesia
info gambar

Tahun 2000 hingga 2007, pemerintah melakukan penataan batas tambak. “Dari sini tercetus keinginan kami membentuk kelompok rehabilitasi hutan mangrove bernama Tunas Rimba,” lanjut Samsudin.

Jumlahnya hanya 12 orang. Kelompok ini memberi edukasi kepada para petambak untuk sama-sama melakukan penyelamatan mangrove. Bukan tanpa rintangan. Kelompok ini tak jarang berhadapan dengan kelompok yang menolak tambaknya dipidahkan. Samsudin dan kelompoknya memilih jalan damai, menghindari konflik, namun tetap teguh menjalankan misi mereka untuk memulihkan mangrove.

“Pada 2008 hingga 2010, saya dekati lagi para petambak. Saya katakan pada mereka, kalau kondisi mangrove tetap rusak maka tambak mereka juga akan kena imbasnya,” ujar Samsudin.

Bukan hanya itu, Samsudin mengingatkan masyarakat akan bahaya ombak yang bila tanda perlindungan mangrove akan menghantam rumah masyarakat. “Kalau rumah kita dihempas ombak, kita mau tinggal di mana?,” lanjutnya.

Sejak itu, dia bersama masyarakat secara swadaya yang didukung TNI beserta Kementerian Kelautan dan Perikanan melakukan program rehabilitasi sabuk hijau pantai.

Penelusuran hutan mangrove Register 15 yang dikelola kelompok masyarakat Desa Purworejo | Foto: Eni Muslihah/Mongabay Indonesia
info gambar

Ide gila pasang jaring

Dalam upaya rehabilitasi mangrove, kelompok masyarakat bimbingan Anjar Budisetyowati, ahli mangrove di Lampung Timur, ini membuat alat pemecah ombak [APO]. Alat ini terbuat dari susunan bambu dan papan, di bawahnya dipasang jaring, disebut APO Jaring. Sebuah break water ramah lingkungan.

Ide pemasangan APO Jaring di tengah ombak besar, dianggap ide gila. “Bayangkan, air sampai seleher belum lagi gulungan ombak besar yang kami hadapi demi uji coba ini,” katanya baru-baru ini.

Upaya menantang itu, membuahkan hasil dan terus dikembangkan di Register 15, dipasang sepanjang 400 meter dari bibir pantai dengan kedalaman 0-5 meter. “Susunan bambu di bawah berfungsi menahan lumpur agar terjadi endapan, sehingga muncul daratan baru,” jelas Anjar.

Butuh satu tahun untuk membuat lumpur timbul yang bisa ditanami mangrove. Dalam rentang waktu itu, muncul daratan seluas 7-10 hektar. “Ini anugerah Tuhan yang tak boleh disia-siakan,” katanya.

Setiap hamparan lumpur ditanami mangrove berlapis. Lapisan pertama ditanami vegetasi api-api kemudian disulam dengan tanaman rhizopora dan cemara. “Rhizopora karakteristik akarnya mencengkeram ke bawah, berfungsi menahan pohon api-api yang akarnya muncul di permukaan,” terangnya.

Warga secara swadaya membuat APO Jaring di Perairan Pasir Sakti Lampung Timur | Foto: Kelompok Mutiara Hijau I
info gambar

Kurikulum mangrove

Gerakan penyelamatan mangrove terus dikampayekan Samsudin. Lelaki asal Bugis ini bersama kelompok muda Mutiara Hijau I mengembangkannya hingga ke sekolah.

Ada tujuh sekolah yang telah memiliki program ekstra kulikuler penyelamatan mangrove. Siswa tersebut secara berkala menanam bibit mangrove di lokasi yang terkena dampak kerusakan akibat ulah manusia.

“Saya sering mengingatkan anak-anak sekolah, pohon yang baru kita tanam dan kemudian hidup akan memberi 0.01 persen kebaikan bagi laut. Menjaga lingkungan adalah tugas kita bersama,” tuturnya.

Melalui persemaian seluas dua hektar, Sam juga mengajak masyarakat dan pelajar untuk menanam pohon bakau dan api-api atau. Jenis mangrove yang biasa ditemukan di sana.

Debur ombak laut menerjang. Tanpa mangrove, air akan langsung menerjang permukiman masyarakat | Foto: Rhett Butler/Mongabay
info gambar

Persemaian bibit mangrove kelompok Mutiara Hijau nyatanya tidak hanya memenuhi kebutuhan untuk Lampung, tetapi juga untuk provinsi lain. “Kami sudah mendistribusikan bibit ke Kalimantan, Jawa, dan juga Sumatera,” tuturnya.

Sam dan kelompok penyelamat mangrove terus bergerak. Tak jarang mereka mengeluarkan kocek sendiri untuk menumbuhkan masyarakat demi lestarinya mangrove.


Sumber: Ditulis oleh Eni Muslihah dan diposting ulang dari Mongabay Indonesia atas kerjasama dengan GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini