2 Siswa Asal Bali Raih Penghargaan di Amerika Atas Solusinya Terhadap Biofouling

2 Siswa Asal Bali Raih Penghargaan di Amerika Atas Solusinya Terhadap Biofouling
info gambar utama

Dua siswa sekolah menengah dari Denpasar, Bali, telah menerima penghargaan di Intel International Science and Engineering Fair (Intel ISEF) untuk mengembangkan cat antifouling dari tanaman bakau untuk mencegah biofouling.

Biofouling terjadi ketika organisme laut seperti teritip dan ganggang menumpuk di pipa dan benda lainnya dengan permukaan di bawah air atau terkena air lainnya. Hal ini sering merusak kapal karena lapisan yang dibentuk oleh organisme menambah bobot pada kapal, mengurangi kecepatannya.

I Made Wiratathya Putramas dan Caroline Mathilda Nggebu dari SMUN Denpasar 3 datang dengan solusi untuk biofouling, menggunakan ekstrak daun dari dua spesies mangrove , yaitu Rhizophora apiculata dan Sonneratia alba, untuk mengembangkan cat antifouling. Kedua spesies dapat dengan mudah ditemukan di sepanjang pantai Bali.

"Kami memilih mangrove karena kami tahu masalahnya berasal dari laut, jadi solusinya harus datang dari laut juga," kata Wiratathya seperti dikutip oleh kompas.com, Selasa, menambahkan bahwa spesies bakau juga mengandung partikel yang dapat membantu mencegah biofouling.

Caroline Mathilda Nggebu dan I Made Wiratathya Putramas | Sumber: Kompas
info gambar

Studi penelitian mereka, berjudul Potensi Identifikasi dan Penerapan Rhizophora apiculata dan Sonneratia alba sebagai Bio Antifouling Agent untuk Antifoulant Paints, membuat mereka menerima Penghargaan Utama keempat untuk Bumi dan Lingkungan: Ilmu Hayati di Intel ISEF 2019 di Phoenix, Arizona, Amerika Serikat.

"Ada banyak hal yang masih harus kita perbaiki sebelum menempatkan cat antifouling ini di pasar luas, seperti memodifikasi metode ekstraksi dengan agen pelarutan yang berbeda," katanya.

Wiratathya menambahkan bahwa cat masih perlu menjalani pengujian lapangan untuk melihat jika itu bisa bertahan dalam jangka panjang.

"Kami masih harus menguji ketahanan cat ini untuk melihat berapa lama bahan kimia aktifnya dapat melindungi kapal, dan tes ini bisa memakan waktu lama, mungkin sekitar dua hingga lima tahun," katanya.


Sumber: Kompas | Jakarta Post

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini