Inikah Satwa Asal Papua?

Inikah Satwa Asal Papua?
info gambar utama

Hutan kita sangat luas. Masih banyak satwa yang kita belum tahu.” — Gustaf Toto, Pimpinan Adat Nechiebe

Pagi hari tanggal 6 Desember 2017, satu rombongan terdiri sekitar 30 orang itu memulai perjalanan dari kampung Ormu Wari, Distrik Raveni Rara, Kabupaten Jayapura. Sebelumnya untuk menuju kampung penyangga Cagar Alam Cyclops itu, rombongan harus menumpang speedboat sekitar 1-2 jam mengarungi samudera Pasifik.

Rombongan terdiri dari tim Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua, Bakti Rimbawan, Masyarakat Mitra Polhut (MMP), dan masyarakat lokal.

Tujuannya, melakukan survei identifikasi dan inventarisasi keanekaragaman hayati di pegunungan. Tim terbagi tiga; tim burung, tim mamalia, dan tim herpetofauna.

Namun salah satu “misi” yang menjadi perhatian dalam kegiatan ini adalah pencarian ekidna, mamalia bertelur (monotremata) yang merupakan penghuni asli hutan Papua. Keberadaan ekidna dianggap unik dan misterius.

Ekidna (Porroglossum echidna) memliki tubuh berduri seperti landak, namun ia bukanlah jenis landak.

Menurut Munawar Kholis, seorang ahli mamalia. Di Cagar Alam Cyclops, dilaporkan setidaknya terdapat dua jenis monotremata, namun satu diantaranya telah dinyatakan punah pada tahun 2007. Empat dari lima spesies ekidna hidup di tanah Papua dan spesies ini mampu bertahan hidup dari jaman prasejarah hingga jaman evolusi atau 160 juta tahun lalu.

Berdasarkan CITES, ekidna merupakan satwa yang terancam punah. Bahkan sebagian orang berpendapat bahwa ekidna papua telah punah. Keberadaan ekidna di Cyclops pun hanya dari informasi para pemburu, yang menyatakan kerap melihat ekidna.

Ekidna moncong pendek. Satwa ini bukan landak | Foto: Tier und Naturfotografie J Und C. Sohns/ Getty Images
info gambar

“Anjing paling jago berburu saja pasti takut sama ekidna,” ungkap Nehemia Yakade, ondoafi kampung Ormu Wari.

Bagi masyrarakat setempat, ekidna dikenal dengan sebutan babi duri. Caranya mencari makan adalah dengan menggaruk-garukkan tangannya ke batang pohon atau gundukan tanah untuk menemukan rayap, makanan utamanya.

Nehemia mengaku ekidna kini sangat susah ditemukan Bagi sebagian kalangan bahkan dianggap mulai punah. Menurutnya, keberadaan ekidna di tahun 1940-an masih banyak sekali dan mudah dilihat. Ia sendiri mendapat laporan jika terakhir kali masyarakatnya sering melihat ekidna di tahun 1980-an atau lebih dari tiga puluh tahun lalu.

Simon Nari, warga kampung yang menjadi penunjuk jalan bagi rombongan, mengaku dia pun belum pernah melihat babi duri atau ekidna secara langsung di alam.

Padahal ia sering berburu di pegunungan Cyclops di bagian kawasan kampung Ormu. Pernah sekali dia melihat anjing yang ikut berburu ketakutan saat melihat sesuatu yang berada di bawah pohon lapuk. Simon meyakini itu adalah ekidna, namun saat hendak mencarinya, ia tak menemukannya lagi.

“Kalau melacak ekidna di wilayah sini agak susah. Mereka berada di hutan yang lebih tinggi,” ungkap Simon Nari menduga.

***

Setelah singgah untuk mengatur logistik, tim pun memulai pendakian. Hari itu hujan deras menyambut rombongan sepanjang hari hingga tiba di Tenamdo, camp pertama di ketinggian 400 mdpl. Di sekitar kemah pertama ini tim herpetofauna langsung bergerak di malam hari seusai hujan untuk mengindentifikasi jenis reptil dan ampibi. Sedangkan tim mamalia, langsung memasang perangkap tikus tanah

Keesokan paginya, tim burung bangun sepagi mungkin melakukan pengamatan berbagai jenis burung cendrawasih dan beberapa jenis kakatua yang ada di Cyclops.

Perjalanan survei indentifikasi keanekaragaman hayati ini dilakukan selama sembilan hari. Setelah dari camp pertama, rombongan melanjutkan ke campkedua di Jachaybo dengan ketinggian 780 mdpl, lalu bergerak ke camp ketiga di Asaibo dengan Ketinggian 1.229 mdpl, dan tembus ke sebelah selatan di wilayah Gunung Ifar.

Menurut Putri Nidyaningsih, koordinator tim survei, titik-titik jalur pengamatan ditentukan berdasarkan strata habitat dengan menggunakan data struktur tanah dan data tutupan hutan yang terbagi menjadi tiga; lowland (0-300 mdpl), hill (300-700 mdpl), low-montane (700-1.400 mdpl).

“Tujuan dari kegiatan inventarisasi keanekaragaman hayati di Cyclops ini untuk mengetahui kondisi keragaman hayati di Cagar Alam Pegunungan Cyclops yang selanjutnya akan menjadi baseline, melakukan update keragamanan hayati, serta meningkatkan kapasitas untuk staf BBKSDA, MMP, dan Bakti Rimbawan,” jelas Putri.

Pemasangan kamera jebak untuk memantau ekidna dan berbagai jenis mamalia pegunungan Cyclops | Foto: Chris Paino/Mongabay Indonesia
info gambar

Berdasarkan laporan WWF, di pegunungan Cyclops terdapat setidaknya 278 jenis burung, 86 jenis mamalia, 65 jenis reptil, 38 jenis katak, 38 jenis tumbuhan paku, 10 jenis anggrek dan 138 jenis pohon.

Dalam melakukan identifikasi keanekaragaman hayati, setiap tim didampingin oleh ahli masing-masing. Seperti Munawar Kholis ahli mamalia, Neville Kemp ahli burung, dan Burhan Tjaturadi ahli herpetofauna.

Burhan Tjaturadi, ahli herpetofauna menjelaskan, dalam perjalanan selama sembilan hari itu ia bersama tim berhasil mendata sebanyak 23 jenis katak dan 19 jenis reptil. Ada beberapa yang kemungkinan jenis baru, tapi masih perlu pemeriksaan lebih lanjut di laboratorium.

“Metode yang digunakan adalah inventarisasi secara bebas sepanjang jalur yang sudah dibuat pada pagi, siang, dan malam hari. Jenis-jenis katak juga dilakukan perekaman suara untuk proses identifikasinya,” ungkapnya.

Putri menambahkan, selama perjalanan tim berhasil menemukan satu mamalia yang terperangkap jerat, yaitu satu ekor kanguru tanah. Sementara untuk melacak keberadaan ekidna masih harus menunggu hasil monitoring kamera jebak.

“Kanguru tanah ditemukan oleh warga yang ikut dalam tim di ketinggian 1.229 mdpl. Untuk target ekidna masih menunggu hasil monitoring cameratrap yang terpasang di sepanjang jalur. Semoga kita bisa menemukan Ekidna,” harap Putri.

***

Bagi Nehemia dan masyarakat lokal setempat, ekidna bukan hanya sekedar satwa biasa. Satwa keramat yang kedudukannya di hutan dihormati layaknya raja. Dia meyakini pranata adat perlu terlibat untuk mengatur keberadaan ekidna dan juga satwa-satwa lain yang hidup di Cyclops dan sekarang menuju ambang kepunahan.

“Kalau ekidna ini [saya rasa] masih ada di tempat sakral atau ada di tempat keramat,” jelas Nehemia sambil menyebut beberapa nama tempat yang dianggap tidak boleh sembarangan dimasuki orang di Cyclops.

Di tempat keramat masyarakat adat yang berada di kawasan hutan Cyclops, jelasnya seseorang dilarang untuk bersuara terlalu keras atau menciptakan suasana yang bikin gaduh. Segala tingkah laku harus diatur agar tidak sampai mengganggu para penghuni Cyclops.

Dia menyebut bahwa masyarakat adat akan mengatur agar ekidna dan satwa-satwa terancam punah di Cyclops dilarang ditangkap oleh siapa saja. Dia menambahkan bahwa masyarakat adat memiliki aturan untuk tempat berburu, berkebun atau tempat-tempat yang disakralkan berdasarkan aturan adat.

Banner: Kampung Nechiebe berada di pesisir samudera pasifik dan di kaki gunung Cyclops. Foto drone INFIS


Sumber: Diposting ulang dari Mongabay Indonesia atas kerjasama dengan GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini