Menulis Membuat Hidupku Lebih Berwarna

Menulis Membuat Hidupku Lebih Berwarna
info gambar utama

Awal ketertarikan saya pada dunia menulis rasanya sudah sangat lama. Sejak masih kecil saya selalu senang jika mendapat tugas membuat karangan dalam pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah.

Jika banyak teman yang merasa kesulitan untuk mengarang sampai dua halaman buku tulis, saya justru kesulitan untuk mengakhirinya. Rasanya ingin terus saja menulis tanpa batas.

Sebelum serius belajar menulis, kegemaran saya adalah membaca. Mungkin karena usaha keras dari ayah saya untuk menumbuhkan kecintaan anak-anaknya terhadap buku bacaan.

Biasanya saya dan adik selalu membaca komik atau buku cerita yang dibeli ayah dari penjual buku bekas. Jika bacaan saya sudah habis, majalah ayah dan ibupun saya baca. Pada tahun 1973 saat masih kelas 4 SD, saya sudah rutin membaca majalah Femina yang saat itu baru terbit nomor perdananya.

Setiap membaca sebuah cerpen di majalah anak-anak, saya sering berpikir, "Ah, rasanya saya juga bisa menulis cerita seperti ini." Kadang-kadang saya juga ingin membelokkan akhir ceritanya. Tapi semua itu hanya tinggal cerita, karena tidak pernah terwujud.

Apa sebabnya? Saya adalah seorang procrastinator, yang selalu menunda-nunda apa saja. Sebuah kebiasaan yang sangat buruk dan sangat sulit juga untuk dihilangkan.

Kapan akhirnya saya berani menulis? Adalah sebuah lomba menulis untuk sekretaris dan wanita bekerja yang diadakan oleh majalah Femina pada tahun 1991.

Cerita lucu tentang kejadian di kantor yang saya ikutkan dalam lomba itu berjudul "Wartawan dan Tukang Kembang". Ceritanya tentang salah seorang direksi yang menjadi atasan saya saat itu. Beliau mengharapkan kedatangan seorang tamu dari perusahaan asuransi, tapi yang saya kirim untuk menghadap beliau adalah ... seorang tukang kembang.

Tentu saja karena saya kurang teliti dan langsung memanggil seseorang di ruang tunggu tanpa saya tanyai apa keperluannya.

Tidak disangka, tulisan recehan itu berhasil menjadi salah satu di antara 10 pemenang penghargaan. Walaupun tidak menjadi 3 pemenang utama, saya sudah luar biasa senang dan bangga.

Saya masih ingat, hadiahnya Rp 150.000 dan masih dipotong pajak. Pada zaman itu, hadiahnya terasa sangat besar dan bisa mentraktir 5 orang makan di restoran Jepang.

Setelah itu, tidak ada lagi yang saya tulis kecuali buku harian dan surat-surat untuk seseorang spesial. Kenapa begitu? Lagi-lagi karena saya suka menunda-nunda.

Sekitar tahun 2011 saya mengenal adanya grup Ibu-ibu Doyan Nulis (IIDN) dari harian Kompas. Rasanya saya sangat bersemangat ingin langsung menjadi anggota.

Entah kenapa, hal itu juga saya tunda-tunda sampai akhirnya terlupakan suatu hal yang tidak berhenti saya sesali. Kalau saja saya menjadi anggota sejak dulu, pasti bisa belajar lebih banyak lagi.

Akhir tahun 2017, saya baru menjadi anggota IIDN. Saat permintaan saya untuk bergabung di grup Facebook disetujui, rasanya sangat senang.

Dalam hati saya berpikir, "Inilah komunitas yang seharusnya sejak dulu saya ikuti. Di dalamnya berisi ribuan penulis dan saya adalah salah seorang di antaranya." Berlebihan sekali, bukan? Mana ada penulis tanpa tulisan?

Sejak menjadi anggota, saya seperti gila menulis. Saya mencoba mengirim tulisan-tulisan saya (sebagian besar adalah resep masakan) dan alhamdulillah hampir selalu dimuat.

Setiap membuat suatu tulisan yang dikomentari oleh anggota grup lainnya, rasanya senang dan sulit untuk percaya. Kok ada ya orang-orang di luar sana yang mau membaca tulisan saya?

Saat ini aktivitas menulis sudah menjadi rutinitas yang sangat membahagiakan. 'Me time' yang sangat berkualitas di sela-sela tugas saya sebagai seorang ibu dari 4 orang anak yang juga merangkap sebagai tukang kue. Rasanya hidup menjadi lebih berwarna. Bonusnya adalah punya banyak teman yang mau berbagi ilmu menulis.

Walaupun saya memulai aktivitas menulis ini dengan sangat terlambat, saya akan terus maju, seperti kata pepatah "Better Late than Never". Saya semakin bersemangat ketika membaca tentang adanya seorang dokter wanita berusia di atas 70 tahun yang menerbitkan sebuah buku tentang pengobatan, melalui Indscript. Kalau dokter itu saja pantang menyerah, saya juga harus bisa.

Sampai saat ini belum ada prestasi saya di bidang menulis yang bisa dibanggakan selain 2 buah buku antologi dan menjadi pemenang ketiga lomba menulis cerpen dengan tema "Delusi".

Selain itu, tahun ini saya mempunyai target untuk menulis sebuah buku resep tentang "Kue-kue Khas dari Aceh." Resep-resep kue dalam buku itu akan saya buat dengan sangat jelas dan rinci berikut tips dan trik anti gagal.

Target lainnya adalah menerbitkan sebuah buku "Kumpulan Humor Emak-Emak" yang bahannya sudah cukup banyak saya tulis. Selain itu saya juga punya sebuah calon novel hasil mengikuti tantangan "30 Days Novel Sprint" yang diadakan oleh sebuah penerbit.

Walaupun belum berhasil menjadi pemenang, tapi termasuk dalam 9 naskah yang berhasil selesai sampai finis dan mendapatkan penawaran untuk diterbitkan.

Saat ini saya sedang mencoba melakukan tambal sulam habis-habisan terhadap naskah novel itu agar lebih layak untuk diterbitkan dan dibaca oleh orang banyak. Semoga penyakit suka menunda saya tidak kambuh lagi dan naskah itu bisa segera selesai.

Mungkin target saya terdengar sangat berlebihan untuk orang yang masih belajar menulis. Insyaallah saya akan berusaha sekuat mungkin untuk mencapainya. Semoga Allah selalu memberi saya kemampuan dan kemudahan dalam mewujudkannya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

EZ
AI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini