Menjaga Kemiri, Pohon Uang Si Penyimpan Air

Menjaga Kemiri, Pohon Uang Si Penyimpan Air
info gambar utama
  • Kemiri bernilai ekonomi tinggi dan merupakan tanaman konservasi alias penyerap air. Di Hutan Kemasyarakatan (HKm) Santong, kemiri ditanam antara 1997-1998 dan memberikan berkah bagi petani maupun masyarakat sekitar
  • Kemiri olahan, baik gelondongan maupun minyak kemiri memiliki nilai tambah lebih tinggi daripada masih dengan cangkang
  • Riset WWF Nusa Tenggara, dari luas tanam kemiri sekitar 613 hektar, nilai dari kemiri gelondongan mencapai Rp1,5 miliar. Cangkang kemiri juga jadi bahan bakar pengovenan tembakau
  • Buntut nilai ekonomis tinggi ini, kebiasaan masyarakat Lombok bebas memungut kemiri dimanapun, jadi berubah. Kemiri jatuh dari pohon, hanya boleh diambil orang yang menanam atau di lahan garapannya.

Hari itu, saya memasuki gudang pengolahan kemiri di Dusun Pancor Dao, Desa Aik Darek, Kecamatan Batukliang, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Ini salah satu dari 12 gudang pengolahan kemiri di desa itu.

Kemiri ((Aleurites moluccanus) kalau dibakar mudah pecah. Proses itu akan mengeluarkan bau khas. Ia bisa dimakan mentah sebagai camilan, tetapi lebih sering jadi bumbu masak. Sajian khas Lombok saat pesta tak akan lengkap tanpa kemiri. Bahkan, kemiri juga jadi nama salah satu kampung di Lombok Timur, yang berdekatan dengan kawasan hutan. Lekong Pituk, nama dusun itu. Lekong, berarti kemiri. Pituk itu tujuh. Sayangnya, desa-desa yang dulu rimbun dengan kemiri, sudah tidak lagi.

Kemiri bernilai ekonomi tinggi. Selain itu, kemiri merupakan tanaman konservasi. Dibandingkan sengon, kesambik, mahoni—ada masa penebangan—, kelestarian kemiri justru lebih terjaga. Pohon menjulang tinggi, bahkan banyak petani Hutan Kemasyarakatan (HKm) menanam di halaman rumah mereka lantaran nilai ekonomis biji kemiri itu.

Akhirnya, kemiri yang lebat, HKm tetap lestari. Tutupan pohon di HKm kemiri jauh lebih lebat dibandingkan yang ditanami buah-buahan. HKm kemiri, tak banyak tanaman semusim seperti pisang, cabai, atau sayur-sayuran.

HKm lestari ini bisa dirasakan ketika berkunjung ke Dusun Tangga, Desa Selengen, Kecamatan Kayangan, Kabupaten Lombok Utara. Kampung di ketinggian ini tanahnya berdebu ketika kemarau. Tanah kecoklatan, banyak karang, jadi ciri khas kampung sekitar. Berada di ketinggian, aliran sungai jauh di bawah kampung ini.

Karena itulah, tak ada lahan pertanian di kampung ini. Walaupun terlihat kering, warga di kampung ini tak pernah kekurangan air bersih. Tanah kerontang kala kemarau, tetapi air mengalir ke bak-bak penampungan terasa dingin. Jernih. Bahkan, sebagian warga meminum langsung tanpa memasak terlebih dahulu.

Air berlimpah ini tak bisa lepas dari kondisi kawasan hutan lindung maupun HKm yang lestari. Saya pernah mengikuti gotong royong warga desa ini ketika membangun jaringan air bersih.

Sepanjang perjalanan nyaris tak pernah tersentuh cahaya mentari. Kawasan itu rimbun oleh kemiri. Memasuki kawasan hutan lindung pun, pohon masih menjulang tinggi. Berkat komitmen petani menjaga HKm dan hutan lindung, kampung tak lagi kekurangan air bersih. Jaringan air bersih yang dibangun warga Dusun Tangga, dusun yang berbatasan langsung dengan HKm, bisa dinikmati warga dusun lain yang berada di bawah.

“Debit air tak pernah berkurang,’’ kata Luji Hartono, Ketua Kelompok Tani HKm Tangga Desa Selengen.

Ketika musim berbunga, pohon kemiri di pekarangan rumah, kebun, dan lahan HKm menjadi daya tarik di desa-desa yang berbatasan dengan HKm | Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia
info gambar

Bernilai tinggi

Gudang di Pancor Dao yang saya kunjungi hari ini milik Muhammad Taufikurrahman dan istrinya Mujnah. Di Pulau Lombok, pasangan suami istri ini dikenal sebagai pengusaha kemiri.

Mereka juga menanam kemiri di kebun-kebun keluarga. Mereka membeli kemiri gelondongan dari hampir seluruh desa yang memiliki hutan kemasyarakatan (HKm) di Pulau Lombok. Mereka juga membeli kemiri dari Sumbawa, Bima, bahkan Nusa Tenggara Timur (NTT).

Taufik dan istrinya adalah salah satu pengusaha pengolahan kemiri terbesar di Lombok. Mereka memulai usaha ini sejak 2007. Mereka membeli kemiri dari para petani pemilik kebun, buruh tani pengumpul kemiri, dan para petani HKm yang bertani kemiri. Awalnya membeli puluhan kilogram. Lambat laun mereka membeli hingga berton-ton.

Dalam sehari pasangan ini mampu mengolah 1,5 ton kemiri gelondongan. Kalau harga kemiri gelondongan rata-rata beli dari pengepul Rp8.000 perkilogram, dalam sehari mereka mengeluarkan Rp12 juta. Sebulan bisa olah 45 ton.

Untuk membeli kemiri masih gelondongan (dengan cangkang), Taufik dan istri mengeluarkan uang Rp360 juta. Itu baru satu pengusaha. Kalau dikalikan 12 pengusaha pengolahan kemiri, perputarakan uang dari komoditas ini bisa miliaran rupiah sebulan.

“Sekali musim, Insya Allah, kami bisa membiayai sekolah sampai anak cucu,’’ kata Mujnah memberikan gambaran keuntungan kemiri ini.

Rantai tata niaga kemiri cukup panjang. Berawal dari para petani yang memungut kemiri yang jatuh dari pohon. Mereka mengupas dan menghasilkan biji kemiri masih dengan cangkap. Kulit kemiri itu jadi bahan bakar. Karena biji kemiri ini jatuh sendiri dari pohon, perlu waktu mengumpulkannya.

Dari para petani ini, kemiri dikumpulkan para pengepul. Harga bervariasi, biasa Rp3.000– Rp4.500 per kilogram. Pengepul membawa ke agen besar seharga Rp7.000-Rp8.000 perkilogram, lalu kirim ke Bali dan Jawa. Di tangan Taufik, kemiri itu tak langsung dikirim gelondongan. Dia mengupas terlebih dahulu, yang dikirim kemiri kupas.

Dari 100 kg kemiri gelondongan menghasilkan 28-30 kg kemiri kupas. Lagi-lagi tergantung kualitas kemiri. Di Pulau Lombok, kualitas paling bagus kemiri dari Sesaot, Kecamatan Narmada, Lombok Barat.

Kalau pengusaha kemiri membeli harga Rp8.000 perkg gelondongan, 100 kg, maka perlu biaya Rp800.000. Kemiri gelondongan ini direbus 20-30 menit guna memudahkan buka cangkang.

Kemiri rebus dibawa ke buruh pengupasan. Setiap satu kg kupasan, buruh dapat upah Rp1.000. Harga kemiri kupas Rp32.000 perkg. Kalau rata-rata kemiri kupas 30 kg, penjualan Rp 960.000.

Jadi, tiap 100 kg kemiri gelondongan berbiaya Rp830.000, hasil penjualan Rp960.000, keuntungan setiap 100 kg kemiri Rp 130.000. Cukup kalikan volume produksi sehari, sebulan, hingga setahun.

Hasilnya, cukup menggiurkan, bisa berangkat haji, membangun rumah, dan menyekolahkan anak. Tak salah kalau Mujnah, bilang, hasil kemiri setahun bisa mencukupi pendidikan sampai cucu mereka.

“Bagi kami, kemiri ini pohon uang. Setiap buah di pohon itu uang,’’ kata Taufik.

Keuntungan itu masih bisa bertambah lagi. Cangkang kemiri dari hasil pengupasan bisa dijual kembali. Bahkan, jauh sebelum terkumpul cangkang itu, pembeli sudah siap. Para pembeli itu petani tembakau. Cangkang kemiri adalah bahan bakar tambahan selain kayu. Nyalanya stabil dan panas hampir setara dengan kayu keras, seperti kayu asam.

Tak heran, menjelang musim pengovenan tembakau, cangkang kemiri ibarat emas. Harga naik. Pada hari biasa, cangkang kemiri dibeli para pandai besi. Taufik menjual Rp75.000 per karung. Ketika permintaan meningkat, Rp 95.000 per karung. Saat musim pengovenan tembakau, permintaan melonjak tajam, setiap tahun produksi pengupasan kemiri berkurang, akhirnya harga melonjak. Satu karung cangkang kemiri bisa Rp150.000–Rp200.000 per karung.

Masih ada tambahan lain lagi. Ketika proses perebusan kemiri, bahan bakar pakai cangkang kemiri. Cangkang yang sudah dibakar menghasilkan arang. Arang ini bisa dijual ke pedagang sate, atau pedagang jagung bakar.

“Aroma sate khas. Jadi tambah enak,’’ katanya.

Belum ada penelitian berapa banyak pohon kemiri di NTB, baru perkiraan dari luas pohon kemiri dalam HKm Santong sekitar 613 hektar di empat desa, yaitu Desa Salut 350 hektar, Desa Selengen 83 hektar, Desa Mumbul Sari 180 hektar dan Desa Akar-akar 100 hektar.

Hasil survei WWF Nusa Tenggara, setiap tahun sekitar 500 ton kemiri dibeli dari Lombok Utara. Bila produksi kemiri gelondongan harga Rp3.000 per kilogram, hasil menghasilkan Rp1,5 miliar. Angka ini bisa lebih kalau harga kemiri petani harga Rp4.500 per kg.

Eti Kamariani, menunjukkan minyak kemiri produksi kelompoknya. Perempuan petani HKm Tangga Desa Selengen, Lombok Utara kini membuat minyak kemiri untuk meningkatkan pendapatan mereka | Foto: Fathul Rakman/Mongabay Indonesia
info gambar

Tata niaga

Tata niaga kemiri ini masih perlu dibenahi. Ridha Hakim, Direktur WWF Nusa Tenggara, bilang, nilai ekonomis kemiri belum sepenuhnya dinikmati petani. Rantai penjualan dari petani, pengepul kecil, pengepul besar, hingga ke pengusaha pengolahan membuat harga petani sangat kecil.

Di dalam kawasan, petani sebagai pelaku utama pengusahaan kemiri memperoleh penghasilan sangat rendah. Sebagian besar petani di Lombok Utara, menjual kemiri sebelum masa panen atau dengan sistem ijon atau mengambil uang muka.

Perbedaan harga kemiri ijon dan pembelian langsung Rp1.000 perkg. Karena petani mengambil uang dari pengepul desa dan pengepul desa mengambil uang dari pengepul besar di kabupaten, perbedaan harga petani sampai Rp2.000 perkg atau lebih rendah 40% dari harga pasar.

“Seperti masa panen 2016, harga kemiri gelondongan pengolah yang diterima pedagang besar Rp5.000 perkilogram, pada waktu sama harga petani hanya Rp3.000 perkilogram,’’ katanya membeberkan penelitian WWF.

Selain itu, pengusaha pengolahan kemiri di Desa Darek, Kecamatan Batukliang, Lombok Tengah, menempatkan kemiri Lombok Utara– yang dikenal dengan “kemiri utara Gunung Rinjani”– lebih rendah dari Lombok Barat, Lombok Tengah dan Lombok Timur— dikenal “kemiri selatan Gunung Rinjani.” Bahkan lebih rendah daripada kemiri dari Bima (Donggo dan Parado).

Menurut mereka, rendemen kemiri gelondongan Lombok Utara, lebih rendah dari daerah-daerah lain hingga harga lebih rendah. Bila harga kemiri gelondongan selatan Gunung Rinjani Rp5.000–Rp5.200 per kilogram, harga kemiri gelondongan utara Gunung Rinjani atau Kabupaten Lombok Utara, sekitar Rp4.700–Rp4.800 perkilogram. Karena dalam 1.000 kg kemiri Selatan Gunung Rinjani diperoleh rendemen 310-310 kg, sedangkan kemiri Lombok Utara, rendemen 280-290 kg.

“Salah satu masalahnya , petani kemiri di Lombok Utara, sengaja menggoyangkan ranting kemiri hingga buah jatuh. Kualitas buah jatuh karena alami dengan sengaja jatuh itu berbeda,’’ kata Ridha.

 Proses pengupasan dan pemilahan biji kemiri membuka lapangan pekerjaan, terutama untuk ibu-ibu. Satu pengusaha pengolahan kemiri melibatkan 50-100 buruh harian | Foto: Fathul Rakhman/ Mongabay Indonesia
info gambar

***

Ketika saya berkunjung akhir Januari, kemiri di HKm maupun pekarangan warga sedang berbunga. Tak lama lagi berbuah dan panen. Hasil panen sebelumnya juga belum habis mereka jual. Itulah kelebihan kemiri. Tidak rusak walaupun tersimpan lama.

Selain menjual kemiri gelondongan, para petani HKm Tangga Desa Selengen mulai membuat minyak kemiri. Hasil olahan biji kemiri jadi minyak ini meningkatkan harga jual sampai tiga kali lipat. Kendalanya, produksi minyak kemiri masih terbatas. Alat masih sederhana. Ketika gempa, rumah produksi minyak kemiri roboh, sebagian alat mengalami kerusakan.

“Pemasaran minyak kemiri masih lokal, habis juga,’’ kata Eti Kamariani, Ketua Kelompok Wanita Tani Dusun Tangga Desa Selengen.

Eti menghimpun perempuan petani HKm Tangga. Kalau dulu mereka hanya mengumpulkan biji kemiri, sekarang sudah bisa membuat minyak. Walaupun proses agak lama, setidaknya penghasilan lebih tinggi dibandingkan menjual gelondongan.

Taufikurrahman, pengusaha pengolah kemiri, mulai mengkampanyekan menaman kemiri. Tak sekadar membeli biji kemiri, sekarang setiap dia turun ke petani, juga membawa bibit. Dia mengedukasi masyarakat agar mau menanam kemiri di lahan-lahan tak produktif.

Taufikurrahman dan para petani dipertemukan oleh WWF Nusa Tenggara. WWF memfasilitasi petani HKm langsung dengan pengusaha pengolahan. Memutus rantai tengkulak dan mencegah sistem ijon. Taufik tak mau sistem ijon. Dia membayar biji kemiri begitu menerima barang.

Awalnya, pertemuan bisnis, kini Taufik juga ikut mengkampanyekan tanam kemiri. Dia melihat banyak lahan HKm, kebun pribadi, dan pekarangan rumah kosong.

“Padahal tanam kemiri, selain dapat hawa sejuk pekarangan, nanti akan terus panen uang,’’ katanya.

Di depan para petani, Taufik juga menuturkan kisah sedih para petani di Kabupaten Bima. Dulunya, Bima, salah satu sumber kemiri. Hampir setiap pekan dia menerima kiriman kemiri.

Belakangan, ketika jagung jadi primadona, petani menebang kemiri dan mengganti dengan jagung. Bukit yang dulu rimbun kemiri berganti jagung. Dampaknya, akhir 2016 dan awal 2017, terjadi banjir bandang di Kota Bima dan Kabupaten Bima. Kerugiam infrastruktur rusak karena banjir mencapai triliunan rupiah. “Sekarang banyak yang menyesal,’’ katanya.

Taufik bilang, petani kemiri di Lombok Utara, cukup disiplin. Mereka tak menebang pohon kemiri untuk jadi jagung dan pisang. Mereka tetap menjaga pohon kemiri.

Selain mendapat manfaat ekonomis, manfaat ekologis juga dirasakan masyarakat. Sadar manfaat ekonomis, kampung-kampung sentra kemiri juga membuat aturan baru. Biji kemiri yang jatuh hanya boleh dipungut orang yang menanam atau pohon itu ada di dalam garapannya.

Sebelumnya, siapapun boleh mengambil biji kemiri, termasuk di lahan yang bukan garapan mereka.

Taufikurrahman mengecek kekeringan biji kemiri yang sudah dikupas. Biji kemiri gelondongan dibeli dari para petani HKm di Pulau Lombok, Pulau Sumbawa, bahkan sampai Nusa Tenggara Timur (NTT). Biji kemiri kupas selanjutnya dikirim ke Bali dan Jawa | Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia
info gambar


Catatan kaki: Ditulis oleh Fathul Rakhman dan diposting ulang dari Mongabay Indonesia atas kerjasama dengan GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini