Wahyudi: Jaga Alam dengan Pola Tanam Organik

Wahyudi: Jaga Alam dengan Pola Tanam Organik
info gambar utama
  • Penggerak tanam organik, Wahyudi, tak kenal lelah menularkan ilmu bercocok tanam dari satu daerah ke daerah lain
  • Awalnya, dari mendengar keluh kesah para petani, mulai dari pupuk mahal, sulit bibit, biaya tanam meningkat, dan harga gabah rendah. Wahyudi mulai bertani dan mencoba cara organik.
  • Wahyudi ikut mendorong komunitas membangun bank bibit lokal. Kini, sudah ada sekitar 1.200 jenis padi lokal mereka kumpulkan
  • Wahyudi kembangkan metode SRI organik. Beberapa keunggulan SRI organik, antara lain, tanaman hemat air, hemat biaya karena hanya perlu benih lima kilogram perhektar, tak memerlukan biaya pencabutan bibit, tak memerlukan biaya pindah bibit, tenaga tanam sedikit. Juga hemat waktu, karena ditanam bibit muda 5–12 hss, dan waktu panen akan lebih awal. Lalu, ramah lingkungan karena tidak menggunaan bahan kimia dan ganti pakai pupuk organik yakni kompos, kandang dan mikro-oragisme lokal

Demi menularkan pengetahuan bertani organik, Wahyudi, berkendara sepeda motor, dari rumahnya di Ngawi, Jawa Timur, ke Kutawaringin, di Jawa Barat, hingga Purwokerto, Yogyakarta, bahkan ke Kudus. Semangatnya selalu bertambah, kalau anak muda di desa ikut bertani.

Pria penggerak tanam organik ini, tak pernah beli pupuk dan bibit untuk bertani. Dia tak pernah beli beras dan sayur untuk memasak. Semua tercukupi lewat pertanian dan ternak mandiri di kampungnya.

“Saya bertani dan ternak serba sehat dan organik. Bertani organik harus jaga hutan dan alam,” katanya, kepada Mongabay, pekan lalu di Desa Panggungharjo, Bantul.

Wahyudi anak petani. Dia berhenti sekolah ketika jenjang Sekolah Menengah Pertama. Pada 1992, dia putuskan merantau ke Jakarta, selama dua tahun, jadi pengaman dan pemulung. Pada 1995, dia berangkat ke Sumatera Barat, mencari rumput, hingga jadi supir backhoe.

Pada 1998, dia pulang ke Ngawi, lalu ke Jakarta. Sampai pada 2000, dia bertemu perempuan jago memasak dan menikah. Tahun 2002, di warung makan dia mendengar keluh kesah para petani, mulai dari pupuk mahal, sulit bibit, biaya tanam meningkat dan harga gabah rendah. Dia lantas, menggarap sawah milik orangtua. Kala itu, masih pakai pupuk kimia. Dari praktik itu, dia membuktikan kebenaran curahan hati para petani di warung makan waktu itu.

“Kalau saya tidak praktik, tidak akan tahu benar apa yang jadi keluhan petani,” kata Wahyudi.

Pada 2003, dia mulai dikenalkan bertani organik. Dia belajar dari sosok Alex Sutaryadi di Ciamis, Jawa Barat. Berbekal kenalan dari kakak perempuan.

Wahyudi belajar semua hal dasar tentang pertanian organik. Lalu kembali ke Ngawi, riset di ladang. Dari enak kali musim, hasilnya gagal. Dari situlah, dia berkesimpulan, ada yang salah dari praktik bertani.

Temuannya, sumber masalah ada di tingkat kesuburan tanah. Apapun teknologinya, tidak bisa menyelesaikan persoalan tanah.

Di Indonesia, lahan pertanian berbeda, namun kerusakan sama, rusak karena pupuk kimia.

Mengasah kemampuan dan riset tentang pertanian organik, dia merantau dan mendampingi petani di Sumatera Selatan, selama tiga tahun. Dia lantas kembali ke Ngawi, juga mulai bermain sosial media, mengunggah aktivitas pertanian, sembari membangun ruang diskusi ke publik.

Berulang kali dia bertani organik pakai metode SRI, semangat mencari kesalahan dan menemukan solusi makin tinggi. Bertani SRI organik, artinya, mengajak petani mandiri.

Wahyudi tak percaya pada pemerintah kalau bicara organik. Berulang kali melaporkan ke pemerintah kabupaten dan provinsi, agar menjawab swasembada pangan melalui pertanian organik, namun tak ada respon sama sekali.

Dia berkesimpulan, pemerintah juga punya kepentingan, berkongkalinkong cari keuntungan dari perusahaan pupuk kimia.

Dia tak patah arang, berkeliling ke desa-desa. Hingga bertemu dengan individu dengan pola pikir sama. Hingga dia membantu Desa Selajambe di Kutawaringin, Desa Panggungharjo di Bantul, Desa Wlahar Wetan di Bnayumas, hingga petani di Salatiga dan Kudus.

Dia senang para kepala desa mau mendorong pertanian organik, tanpa meninggalkan adat dan budaya. Baginya, membanguan ekonomi rakyat dan budaya sesuai hati nuraninya. Dia banyak ditawari perusahaan besar, membantu petani lewat tanggung jawab sosial perusahaan, namun menolak. Wahyudi tahu, banyak uang didapat jika menerima, tetapi uang bukan kebutuhan dasar, namun pangan sehat.

“Membangun Indonesia ya dari desa. Jika pertanian dan peternakan masyarakat desa berjalan, ekonomi pasti meningkat dan kebutuhan pangan cukup. Tidak impor,” kata Wahyudi.

Anak muda di Pondok Pesantren al Huda Banyumas semangat bertani organik | Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia
info gambar

Bank bibit

Berawal dari keprihatinan produksi turun dan pengolahan pertanian yang makin rusak, dia juga punya tim membuat bank bibit. Sampai sekarang, bank bibit dikelola bersama tim dalam komunitas Sri Organik Nuswantoro, mengumpulkan tanaman pangan lokal, namanya Bank Benih Berdaulat (BLB).

Bank bibit ini kelolaan, Kurniawan Adi, dari Lamongan, Jawa Timur. Beberapa tanaman pangan lokal yang telah dia kumpulkan seperti padi dan jagung. Kini, sedikitnya 1.200 jenis padi lokal terkumpul.

Secara mandiri, Wahyudi dan rekan-rekannya mencari informasi tanaman pangan asli Indonesia ke berbagai wilayah. Begitu dia mendengar di sebuah wilayah mempunyai tanaman pangan, langsung memburu lalu dikembangkan, meskipun hanya satu bulir. Selain padi, dia juga mengumpulkan 67 varietas jagung lokal. Di samping mengumpulkan jenis-jenis tanaman lokal, dia juga pemuliaan tanaman padi.

Dia menyilangkan varitas padi dengan padi jenis lain. Hasilnya dinamai: Sri Nuswantoro. Tentu saja Sri Nuswantoro tidak dijual untuk umum.

Tanaman ini telah dikembangkan di kampungnya sebanyak 20 hektar. Menurut dia, banyak keunggulan, seperti, hasil panen lebih banyak, rasa nasi lebih luar biasa. Uniknya, padi itu akan roboh jika terlalu banyak mendapatkan pupuk kimia. Karena itu, dia memilih menanam padi secara organik.

Wahyudi, adalah penggerak dan pemberdaya petani di beberapa wilayah ini telah sejak lama hanya mengkonsumsi makanan organik.

Indonesia, katanya, kaya tanaman pangan, tetapi ancaman perusakan besar, terutama produk kimia. Bagi Wahyudi, tanah kaya bahan mineral, ada tanah liat, debu, yang seharusnya mengandung 5% bahan organik, kini tanah di Indonesia mayoritas hanya 0,01% kandungan organik.

Peran bahan organik mendatangkan bakteri, berfungsi menyuburkan tanah. Belum lagi perubahan iklim saat ini, penggunaan kimia ikut berperan dan makin merusak lingkungan, terutama tanah.

Bakteri tanah hilang diracun pupuk kimia, padahal fungsinya mengurai. Ekologi tanah saat ini hanya sebatas rumah, tak ada penghuni, harusny ada bakteri plankton untuk menyuburkan tanah.

Dia mencontohkan, hutan tidak pemupukan, namun semua tanaman tumbuh subur. Kenapa sawah dipupuk terus, tak subur, bahkan kualitas makin menurun.

“Karena yang dilawan alam, alam tidak bisa dilawan, apa yang dilakukan tidak sejajar dengan alam, alam menolak dan menunjukkan keperksaannya. Hadirlah bencana kekeringan, atau penyakit tanaman,” kata Wahyudi.

Anak muda desa di Salatiga semangat melakukan penyemaian di sawah, melalui metode SRI organik | Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia
info gambar

Berbagai keunggulan

Solusi yang dia tawarkan, beralih ke tanaman organik. Wahyudi mendorong metode SRI organik. Nama SRI dalam metoda penanaman padi seakan “Dewi Sri” dikenal sebagai dewi padi.

Dewi Sri, dianggap pembawa berkah identik panen berlimpah oleh sebagian besar petani di Indonesia. Metode SRI mampu memberikan produktivitas meningkat dan juga mampu menekan pengeluaran yang digunakan dalam memproduksi padi.

“Metode SRI bisa memberikan hasil dua kali lipat lebih banyak dibandingkan metode konvensional. Biaya produksi lebih rendah. Metode SRI organik menghasilkan produksi lebih banyak karena produk akhirnya beras organik, maka harga juga lebih tinggi,” kata Wahyudi.

Beberapa keunggulan SRI organik, antara lain, pertama, tanaman hemat air, selama pertumbuhan dari mulai tanam sampai panen memberikan air maksimal dua cm, paling baik sekitar lima mm dan ada periode pengeringan sampai tanah retak atau irigasi terputus.

Kedua, hemat biaya karena hanya perlu benih lima kilogram perhektar. Tidak memerlukan biaya pencabutan bibit, tak memerlukan biaya pindah bibit, tenaga tanam sedikit. Ketiga, hemat waktu, karena ditanam bibit muda 5–12 hss, dan waktu panen akan lebih awal. Produksi meningkat, di beberapa tempat mencapai 11 ton perhektar. Terakhir, ramah lingkungan karena tidak menggunaan bahan kimia dan ganti pakai pupuk organik yakni kompos, kandang dan mikro-oragisme lokal (MOL), begitu juga penggunaan pestisida.

“Tanamnya jarak lebar, benih muda, umur sampai, SRI memperbanyak anakan disetiap rumpun. Biji satu bisa sampai ratusan, petani sangat hemat, yang biasa satu hektar 40 kg bibit, SRI cukup lima kilogram,” kata Wahyudi.

Bagi dia, memperbaiki lahan rusak karena pupuk kimia, ibarat mengobati orang sakit. Ketika sudah sembuh, selamanya akan baik bahkan lebih baik hasil panen. Bertani organik, bukan bujukan atau ajakan, tetapi proses kesadaran. Masyarakat dan pemerintah, bahkan, petani belum sadar banyak manusia sakit, muncul banyak penyakit baru, usia pendek.

Itu semua ada hubunga dengan asupan makanan. Petani organik tak perlu beli pupuk organik, bikin sendiri, semua ada di alam, baik pupuk cair, kompos bahkan kandang.

Jadi proses penyadaran diri petani penting. Kalau petani mengeluh banyak penyakit tanaman, hasil produksi dikit, harga gabah murah, berarti petani belum menemukan kemandirian dan belum menemukan jatidiri.

“Saya jual beras organik mahal, itu strategi karena pelaku organik mahal ongkos produksinya. Beras organik murah tak masalah, harga kami tinggi agar orang tertarik dan bagian dari proses penyadaran.”

Dia bilang, SRI organik sebetulnya murah, kompos tak harus beli, bisa bikin. Sekilogram kompos, bisa simpan dua liter air. Pupuk kandang tinggal ambil sendiri, dari pada beli ternak, pemerintah subsidi pupuk pemerintah dialihkan ke subsidi ternak. Jadi swasembada beras dan daging.

Padi pun tidak perlu banyak air, cukup basah. Padi bukan tanamam air jadi kalau tanah untuk pertanian sudah diobati lewat organik, kedaulatan pangan pasti terjadi.

Masalahnya terlalu banyak kepentingan elit politik, bikin kebijakan pro pertanian organik. Kemandirian pangan harus inisiasi desa. Desa, katanya, bikin aturan lewat perdes tentang konservasi lingkungan, pertanian organik dan koperasi bibit bagi petani.

“Jangan menunggu elit politik dan pemerintah bekerja, tidak akan berjalan.”

Dia contohkan, desa di Kutawaringin, Wlaharwetan, dan Pangungharjo, sudah memulai. Desa dampingan Wahyudi, di Kutawaringin, Kuningan, dalam tiga tahun mendatang akan menghentikan penggunaan pupuk kimia di semua lahan pertanian warga.

Di alam tersedia banyak daun dan tanaman, untuk mengganti pestisida berbahan organik, hingga disebutlah mikro organisme lokal. “Karena pengembangan organisme berada di sekitar kita.”

Belum lagi, lebih dari 10 jam Indonesia disinari matahari, semua tanaman butuh sinar mentari.

Dari segi kesehatan makanan organik, dari riset Wahyudi, beras organik zero pestisida, zero kimia dan zero gula. Jadi, katanya, pengidap diabetes tak boleh makan nasi, karena beras berbahan kimia kadar gula tinggi. Solusinya, makan beras organik.

Di keluarga Wahyudi, di dalam tubuh kekurangan gula. Mereka harus meminum gula, kalau kondisi mulai menurun.

Wahyudi cerita, pertanian organik, di Muara Enim, hasilnya bahkan sampai 19 ton padi. Syaratnya, harus fokus dan sesuaikan kebutuhan tanah.

“Saya jamin meningkat. Di Kutawaringin, awalnya cuma tiga ton perhektar, saat ini enam ton.”

Dia bilang, ada seorang petani bernama Min, di Kutawaringin, awalnya menolak metode SRI organik. Min, mengamati pertanian organik Wahyudi dan petani lain. Kini Min, lebih gigih dibanding petani lain.

Kalau penyiangan dilakukan empat kali, Min sampai enam kali. Kini, di Kutawaringin, atas perintah kepala Desa, ada 46 hektar lahan sawah tani organik, milik 40-an orang.

Selain itu, empat ton varietas padi lokal Menthik Susu sudah panen dengan rasa bangga oleh 15 petani di Desa Wlahar Wetan, Kecamatan Kalibagor, Kabupaten Banyumas.

Pada petak lahan seluas 0,8 hektar mereka setidaknya memulai sistem pertanian organik berbasis kemandirian, di antara kenyataan 89 hektar petak lahan milik 142 petani lain masih mengandalkan varietas padi nonlokal, pupuk kimia dalam dosis besar dan pestisida.

Edukasi pada petani di Desa Wlahar Wetan, setidaknya berjalan selama enma bulan lewat pelatihan dan pendampingan. Keberhasilan pertanian organik di Wlahar Wetan tak terlepas dari turun tangan pihak desa yang berkomitmen pada kedaulatan petani.

“Tantangan terbesar agar gerakan ini makin meluas yakni memutus ketergantungan petani pada penggunaan pupuk kimia,” kaya Wahyudi.

Sebenarnya, tanaman organik sudah dilakukan nenek moyang. Dengan organik, petani tak perlu resah ketika harga benih naik karena punya cadangan sendiri.

Selain itu, ketika pupuk kimia langka, mereka juga tak kelimpungan karena mengandalkan pupuk organik. Buktinya, mereka bisa memanen padi lokal menthik susu, saat ini.

Menurut Wahyudi, persoalan pertanian buruk karena kualitas pendidikan keliru. Banyak orang di lahan pertanian, pesisir pantai, pegunungan, diajarkan kehidupan kota, tetapi tak membuat pendidikan sesuai kebutuhan adat dan budaya masyarakat.

Di negara lain, petani punya kasta tertinggi, di Indonesia, diinjak-injak dan tak dihargai.

“Petani bisa hidup tanpa pemerintah, namun sebaliknya, pemerintah tak bisa hidup tanpa jasa petani,” kata Wahyudi.

Solusi berdaulat pangan, katanya, kembali ke pertanian organik, perbaiki hutan, berikan subsidi ternak, cabut subsidi pupuk kimia, bikin aturan tegas melarang penggunaan pupuk beracun dan jangan beri masuk bibit tanaman impor.

“Hargai dan bikin bank benih dari tanaman nusantara kita. Kenapa hutan perlu dijaga dalam pertanian organik, karena fungsinya sebagai bank air, bank oksigen. Bertani organik tak boleh merusak alam, pola tanam setahun, dua kali padi, satu kali palawija.”

“Jaga hutan dan jangan melawan alam merupakan prinsip bertani SRI organik sejatinya,” kata Wahyudi.

Proses pembuatan pupuk organik disebut Mikro Organisme Lokal, dibimbing Wahyudi bersama petani di Banyumas | Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia
info gambar


Catatan kaki: Ditulis oleh Tommy Apriando dan diposting ulang dari Mongabay Indonesia atas kerjasama dengan GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini