Perempuan Penulis di Indonesia, Mulai dari Sensitivitas hingga Tanggung Jawab Sosial

Perempuan Penulis di Indonesia, Mulai dari Sensitivitas hingga Tanggung Jawab Sosial
info gambar utama

Bukan rahasia lagi bahwa jumlah populasi perempuan di dunia, khususnya di Indonesia, semakin meningkat dengan bertambahnya kurun waktu. Dilansir dari laman Kata Data, jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2019 diperkirakan mencapai angka 266,91 juta jiwa.

Data tersebut terdiri atas jumlah 134 juta jiwa laki-laki dan 132,89 juta jiwa perempuan. Bahkan pada tahun 2032 diperkirakan jumlah populasi perempuan di Indonesia lebih banyak 21 ribu jiwa dibandingkan populasi kaum pria.

Lalu, apa maksudnya data-data di atas ditulis dalam artikel ini? Apakah ini berhubungan dengan perebutan satu hati pria yang diharapkan jawabannya oleh beberapa orang wanita?

Tentu saja lebih daripada sekadar masalah hubungan antara pria dan wanita. Keberadaan populasi perempuan yang semakin meningkat sebenarnya dapat dijadikan suatu alasan bahwa seorang perempuan seharusnya bisa lebih banyak belajar agar tingkat pengetahuan dan produktivitasnya minimal sama, jika tak ingin disebut lebih, dibandingkan kaum laki-laki.

Ya, perempuan adalah madrasah alias sekolah pertama bagi generasi bangsa yang ia lahirkan. Bukan masalah di mana ia bekerja, apakah di rumah ataukah di luar rumah, tapi sebesar apa ilmu yang telah ia serap dan pelajari untuk bekal ilmu pertama yang akan ia tularkan kepada anak-anaknya.

Apalagi jumlah usia produktif di tahun 2019 (15-64 tahun) diproyeksikan mencapai 68 persen dari total populasi penduduk Indonesia. Itu artinya, perempuan Indonesia yang produktif memiliki banyak kesempatan untuk turut berpartisipasi bagi kemajuan bangsa.

Menulis adalah salah satu caranya

Dulu, aktivitas menulis mungkin hanya milik segelintir orang. Tapi saat ini, seiring dengan berkembangnya media sosial, setiap orang bisa menjadi penyebar berita, pembuat berita, bahkan seorang penulis cerita.

Aktivitas menulis memiliki segudang manfaat, salah satunya sebagai sarana terapi dan ajang mengelola emosi.

Daripada melampiaskannya pada tempat yang salah, atau justru memendamnya, kita dapat menuliskan apa yang dirasakan setiap hari, baik mengenai hal positif maupun negatif, agar tingkat emosi lebih terkontrol dengan baik.

Institut Universitaire en Santé Mentale de Montréal dan University of Montreal pernah melakukan serangkaian tes pada pria dan wanita untuk membuktikan perbedaan tingkat sensitivitas yang mereka miliki.

Terbukti, sistem limbik (pusat ingatan dan emosi) di antara keduanya memiliki reaksi yang berbeda. Wanita cenderung berfokus pada perasaannya saat menerima rangsangan, sementara pria cenderung berpikir dan menganalisa akibat yang ditimbulkan oleh suatu hal.

Inilah yang mendasari bahwa aktivitas menulis, terutama bagi wanita, memiliki manfaat yang tak dapat dilihat hanya dengan sebelah mata saja.

Penulis perempuan lebih mudah dikenal daripada penulis laki-laki

Fenomena ini masih berlaku di Indonesia. Bisa jadi ini akibat adanya pemikiran bahwa aktivitas menulis belum dapat dijadikan profesi yang sangat menjanjikan di negara kita.

Meskipun anggapan ini mulai bergeser seiring maraknya perkembangan dunia literasi di Indonesia, mayoritas kaum pria di Indonesia masih enggan menjadikan menulis sebagai aktivitas utama.

Padahal di luar negeri, seperti Inggris dan Amerika, penulis pria cenderung lebih banyak daripada penulis wanita.

Sampai di titik ini, tak berlebihan rasanya jika kita seharusnya bersyukur sebagai perempuan Indonesia. Pintu kesempatan untuk berkarya terbuka lebar sebagai seorang penulis, baik penulis fiksi, maupun penulis konten (artikel/non fiksi).

Profesi sebagai penulis pun saat ini dapat membuat kita menjadi bak seorang selebriti. Dengan melebarkan sayap menjadi seorang blogger atau influencer melalui banyaknya followers media sosial yang kamu miliki, aktivitas menulis tentunya menjadi lebih menyenangkan.

Jangan lupakan tanggung jawab sosial

Jika kesempatan menjadi seorang penulis perempuan semakin terbuka lebar di Indonesia, ini tentunya berbanding lurus dengan tanggung jawab sosial yang mau tidak mau harus kita emban sebagai bentuk pertanggungjawaban atas konten yang kita sebarkan.

Maka, selalu belajar memperbaiki diri dan menyesuaikan bahasa tulisan untuk meminimalisir reaksi negatif yang mungkin saja ditimbulkan, seharusnya menjadi sebentuk kehati-hatian yang sebaiknya selalu kita jaga.

Menulis sesuai dengan fakta, tanpa memutarbalikkan peristiwa hanya demi mengejar sensasi belaka, sejatinya tetap kita pelihara. Menjadi unik memang merupakan daya tarik, tapi jangan pernah kebablasan sehingga kita lupa batasan yang semestinya.

Majulah perempuan penulis Indonesia! Karena aktivitas menulis tak terbatas pada masalah gender, waktu, tempat, usia, bahkan suasana.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

HP
AI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini