Menjaga Laut Merupakan Kearifan Nelayan Aceh

Menjaga Laut Merupakan Kearifan Nelayan Aceh
info gambar utama
  • Nelayan di Aceh wajib mengikuti aturan adat saat menangkap ikan di laut yang telah mereka lakukan turun temurun
  • Aturan adat laut yang dipimpin Panglima Laot [Laut] telah diberlakukan sejak Aceh berbentuk kerajaan. Panglima Laot memastikan nelayan menangkap ikan dengan cara tidak merusak serta menentukan bersama hari-hari tidak boleh melaut
  • Nelayan tidak dibenarkan menangkap ikan yang tidak bisa dimakan juga memburu paus dan lumba-lumba
  • Pemerintah Aceh menargetkan pengembangan 280.000 hektar Kawasan Konservasi Perairan Daerah [KKPD] yang akan dikelola efektif pada 2022

Mematuhi aturan adat merupakan kewajiban masyarakat Aceh yang berprofesi sebagai nelayan. Hal ini dilakukan untuk menjamin tangkapan ikan yang telah mereka lakukan turun temurun.

Aturan adat laut yang dipimpin Panglima Laot [Laut] telah diberlakukan sejak Aceh berbentuk kerajaan. Panglima Laot bertugas memastikan nelayan menangkap ikan dengan cara tidak merusak serta menentukan bersama hari-hari yang tidak boleh melaut.

Semua nelayan di pelabuhan dipimpin seorang Panglima Laot Lhok. Sementara, Panglima Laot Provinsi bertugas mengkoordinir seluruh nelayan di Aceh.

Sekretaris Panglima Laot Aceh, Miftah Cut Adek mengatakan, Panglima Laot tidak hanya bertugas menjaga hukum adat tetap berjalan dan meningkatkan taraf hidup nelayan, tapi juga memastikan nelayan tidak mencemari laut, tidak merusak terumbu karang dan hutan bakau.

“Sebenarnya, larangan agar nelayan tidak menangkap ikan dengan cara merusak, seperti menggunakan racun, bom, pukat harimau atau cantrang, telah berlaku cukup lama. Bagi yang melanggar dikenakan sanksi. Aturan dibuat nelayan bersama pimpinan adat laut,” sebut Miftah.

Ikan tuna yang ditangkap nelayan di Aceh | Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia
info gambar

Nelayan juga tidak dibenarkan menangkap ikan yang tidak bisa dimakan. Bahkan, ada pantangan menangkap ikan yang sangat besar, selain mengancam nyawa nelayan juga membunuh induk ikan.

“Nelayan Aceh tidak memburu paus dan lumba-lumba. Secara tidak langsung artinya melindungi satwa dilindungi,” ujarnya.

Nelayan juga memiliki hari pantang melaut, yang jika dikalkulasikan dalam setahun ada 63 hari. Seperti setiap Jumat, Idul Fitri, Idul Adha, kenduri laut, 17 Agustus atau 26 Desember yang merupakan peringatan bencana tsunami. “Ini belum termasuk cuaca buruk. Dengan begitu memberi kesempatan ikan berkembang biak.”

Miftah mengatakan, nelayan mencari ikan tidak ditempat yang sama dalam setahun. Ini dipengaruhi arah angin enam bulanan. Saat angin bertiup dari barat, nelayan mencari ikan dari Selat Benggala hingga Selat Malaka, sementara saat angin timur, nelayan mencari ikan dari Selat Benggala hingga Samudra Hindia. “Hal ini dilakukan untuk menghindari angin dan ombak besar,” jelasnya.

Ikan tuna hasil tangkapan nelayan di Pelabuhan Lampulo, Aceh | Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia
info gambar

Kearifan lokal

Plt. Gubernur Aceh, Nova Iriansyah akhir 2018 mengatakan, keberadaan Panglima Laot sebagai lembaga adat merupakan kearifan lokal yang berkaitan dengan semangat kemaritiman.

“Peran dan fungsinya meliputi tata cara penangkapan ikan dan mengatur pelaksanaan hukum adat laut. Juga, pemersatu nelayan hingga penjaga keamanan laut,” ujarnya.

Nova merinci, secara keseluruhan Aceh memiliki panjang garis pantai 2.666,27 kilometer dengan 272 pulau. Terdiri, enam pulau kecil terdepan dan 1.182 desa pesisir. Dari jumlah itu, sebanyak 22 pulau berpenghuni.

“Dengan laut yang luas, wajar potensi perikanan Aceh sangat besar. Rata-rata produksi perikanan tangkap berkisar 158 ribu ton per tahun. Jumlah yang masih jauh dari potensi kelautan, karena belum mampu dioptimalkan,” ungkapnya.

Nelayan Aceh yang mendukung kebijakan penenggelaman kapal pencuri ikan asing | Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia
info gambar

Nova mengingatkan, bicara kelautan jangan hanya potensi tapi ada tradisi dan budaya lokal yang harus dilestarikan. “Kearifan lokal harus dilestarikan sehingga berjalan seiring dengan moderenisasi. Dengan begitu sistem kemaritiman yang tangguh dan lestari dapat dijalankan sehingga kelautan menjadi sumber ekonomi yang dapat diandalkan,” ujarnya.

Saat diskusi Melindungi Keanekaragaman Hayati Laut, Menjaga Penghidupan Masyarakat Pesisir Aceh yang didukung Wildlife Conservation Society-Indonesia Program (WCS-IP) pada 22 Mei 2019 dijelaskan, Aceh memiliki potensi sumber daya kelautan dan perikanan dengan total ikan sekitar 423.410 ton.

Untuk mengelola kekayaan itu, Pemerintah Indonesia menyusun rencana pencadangan kawasan perairan yang dilindungi dan dikelola dengan sistem zonasi, Kawasan Konservasi Perairan Daerah [KKPD]. Pemerintah Aceh menargetkan pengembangan 280.000 hektar KKPD yang akan dikelola efektif pada 2022.

Kearifan lokal menjaga laut dijalankan penuh nelayan Aceh dengan tidak menggunakan bom atau pukat harimau | Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia
info gambar

Nur Fadli, Dosen Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala dalam kegiatan tersebut mengatakan, laut Aceh punya banyak potensi. Ada karang, lamun, mangrove, maupun spesies ikan. Tingginya keanekaragaman hayati tidak terlepas dari posisinya di antara Samudra Hindia dan Selat Malaka.

“Kekayaan ini, suatu saat bisa hilang jika terus dieksploitasi atau tidak dibatasi. Upaya konservasi dibutuhkan untuk memastikan keberlanjutannya,” paparnya.


Catatan kaki: Ditulis oleh Junaidi Hanafiah dan diposting ulang dari Mongabay Indonesia atas kerjasama dengan GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini