Seniman Street Art Menyuarakan Energi Esok Hari

Seniman Street Art Menyuarakan Energi Esok Hari
info gambar utama
  • Wacana pengurangan pembangkit listrik dari energi kotor direspon para seniman street arts di Bali
  • Kritik dan refleksi dilakukan melalui seni mural dan diskusi bersama warga terdampak PLTU batubara dan pegiat energi terbarukan
  • Mereka mempertanyakan pembangunan besar yang digenjot di Bali atas nama pariwisata namun mengabaikan sumber energi yang diperlukan
  • Perhelatan Bali yang Binal akan berlangsung sampai Juli 2019 ini di tempat-tempat publik dan lokasi pembangunan PLTU di Bali Utara.

Sepuluh mural terpasang di halaman rumput. Di tengah-tengah ada satu set deretan solar panel yang memanen matahari untuk rangkaian kegiatan selama satu hari, tengah Mei lalu.

Bali yang Binal, gerakan dua tahunan seniman street art ini dimulai sampai beberapa bulan ke depan. Pada perhelatan ke-8 ini, mengkritik penggunaan energi kotor untuk pembangkit energi.

Sepuluh mural dalam kanvas spanduk bekas memotret beragam respon seniman terkait energi. Konsumsi energi listrik dan gaya hidup manusia, konsepsi energi secara spiritual, anak-anak menonton cerobong asap PLTU yang dibangkitkan dengan batu bara, dan lainnya.

Wacana-wacana pemerintah tentang pengurangan sumber energi kotor menjadi lebih ramah lingkungan digugat oleh para seniman ini. Dikritik karena wacana tak seirama dengan pelaksanaannya.

Mereka adalah Marmar Herrz, Slinat, Peanut Dog, PWRK, Eka Umawan, Gennetik, Maaf Saya Coret, Billy Anjing, Ngurah Bob Trinity, dan WAP.

Diskusi Bali yang Binal bersama praktisi energi bersih, nelayan yang terdampak PLTU batubara, musisi, dan lainnya | Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia
info gambar

Rekoneksi adalah judul karya Marmar, seorang seniman multi medium. Ia menggunakan tubuh melalui seni tato, ogoh-ogoh tradisional, dan mural. Secara visual, nampak sosok manusia atau dewa yang kepalanya mirip matahari. Marmar hendak mengisahkan koneksi mahluk hidup pada energi sekitarnya. “Energi ada di tanah tapi dihindari karena kotor. Energi di matahari tapi ditakuti. Kalau terhubung kembali, kita bisa merasakan energinya,” ceritanya.

Pesannya, jika tergantung pada satu sumber energi sama saja, perlu rekoneksi dengan energi-energi alam lainnya. Mengenali sumber-sumber energi, sebagai kesadaran dasar. Menurutnya, jika menggantungkan pada panel surya saja, hanya menguntungkan industri juga.

Seniman lain, Slinat yang ikonik dengan penggunaan simbol-simbol tradisi Bali yang diekspoitasi ini, menggunakan visaul penari Legong. Namun mulutnya mengenakan masker gas dan gelungan (hiasan kepala) berisi cerobong-cerobong mengepulkan asap pekat, dan simbol patung Singa di Kabupaten Buleleng. Visual petani dan nelayan yang juga mengenakan masker gas. Ia menambahkan teks “masive attack batubara”.

Pesan yang verbal mengenai makin rapuhnya Bali dengan tambahan pembangunan PLTU dari batubara. Ironi dari citra Bali sebagai pulau dewata yang sakral.

Diskusi Bali yang Binal bersama praktisi energi bersih, nelayan yang terdampak PLTU batubara, musisi, dan lainnya | Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia
info gambar

Sebuah diskusi memulai kampanye Energi Esok Hari dari Bali yang Binal (BYB). Belasan seniman ini menghadirkan aktivis lingkungan yang mengadvokasi pengurangan energi kotor, pegiat pendidik energi surya, nelayan yang masih berjuang menolak PLTU batubara, dan musisi yang menggunakan energi surya untuk konser.

Rai, juru bicara BYB menyebut perjumpaan seniman ini dimulai sejak 2018 ketika mengikuti dinamika gerakan warga menolak perluasan PLTU Celukan Bawang di Kabupaten Buleleng, Bali utara. “Infrastruktur perlu energi. Tapi perlu memikirkan skema energi apa untuk menopang pariwisata. Perencanaan energi untuk esok hari yang lebih bersih,” paparnya.

Ironisnya, pemerintah masih memilih batubara. Desa wisata pun menurut Rai belum memikirkan kebutuhan energinya. “Kita tak punya kesadaran sumber energi apa yang kita inginkan,” lanjut pria penulis dan videografer ini.

BYB memilih isu energi karena tak banyak seni rupa untuk publik, polanya masih seni untuk seni. Sementara ada banyak krisis yang harusnya disuarakan. Menurutnya belum banyak perubahan dalam seni rupa, bagaimana seniman menyuarakan karyanya.

Refleksi saat ini, seorang anak dan bapaknya melihat cerobong PLTU yang mengancam lingkungan sekitar | Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia
info gambar

Baidi Suparlan, nelayan yang lahir dan mukim di Desa Celukan Bawang ini bercerita rumahnya sekitar 400 meter dari PLTU. Ia menjadi ketua kelompok nelayan Bakti Kasgoro. “Awalnya hidup kami aman saja, setelah PLTU tercerai berai. Kemungkinan begitu cara melanggengkan usaha,” ia memulai. Hasil tangkapan sebelum ada PLTU batubara mencukupi kebutuhan keluarga, sekolah, dan empat anaknya. Ada yang kuliah, SMA, dan SMP. Masih banyak memerlukan biaya, namun ia mengaku kini sangat kesulitan. “Dulu melaut di pinggir saja menghasilkan, sekarang harus jauh ke tengah. Dalam satu tahun, satu kali baru dapat. Udara mulai panas, kegerahan saat malam,” tutur Baidi.

Sebelum pembangunan PLTU, ia menyebut bisa menghasilkan sekitar Rp2,5 juta/bulan. Namun sekarang hanya menghasilkan sebulan setahun. Baidi melihat petanda lain, paus sudah lama tidak kelihatan di perairan sekitar. “Kalau ada paus artinya banyak ikan,” jelasnya. Ia minta dukungan masyarakat untuk masa depan warga di desanya karena kasus gugatan Greenpeace Indonesia dan sejumlah warga kini tahap kasasi di Jakarta.

Aam Wijaya dari Greenpeace Indonesia menambahkan di Celukan Bawang ada 5 kelompok nelayan, dan dulu banyak sisa tangkapan yang bisa dibagi. “Ramai, tak perlu jadi nelayan untuk dapat ikan,” ujarnya.

Hasil pemetaannya, jika PLTU berdiri di pesisir, yang kena pasti nelayan bahkan sebelum beroperasi karena sejumah dampak seperti pembangunan jetty, getaran saat konstruksi, ikan menjauh. Dampak penurunan ekonomi juga dirasakan imbas paparan pembakaran batubara pada petani kelapa, produktivitasnya turun dan beberapa pohon mati.

“Yang lebih kejam, tapak PLTU merampas ruang hidup satu dusun. Proses penggusuran jadi problem administrasi, karena warganya sudah hilang sementara desanya masih,” tambah Aam.

I Gusti Muryayasa, mendirikan sebuah komunitas Bio Solar Farm yang mendidik anak-anak muda di desanya. Ia mengaku menekuni penggunaan energi terbarukan ini 14 tahun lalu. “Semua tahu dampak batubara kebanyakan negatif. Idenya bisa membantu pertanian, biar tidak jual tanah dan bisa jaga tradisi,” ujarnya. Energi terbarukan menurutnya bisa mengintergrasikan pertanian sekaligus membagi skill teknis ke anak-anak muda. “Bagi pengetahuan energi terbarukan, tempat belajar. Kenapa hanya di sekolah internasional anak-anak dapat informasi itu,” gugatnya.

Namun, infrastruktur panel surya juga perlu memperhatikan limbahnya seperti batere lithium, panel pasca digunakan, dan lainnya. “Perlu dipikirkan, pabrik pengolahan limbahnya,” ingat Muryayasa. Kapasitas inverter terpasangnya saat ini 7000 watt, dengan solar panel 2500 watt.

Ia menyontohkan investasi solar panel bisa mahal di awal, untuk satu rumah paling sedikit Rp20 juta namun di masa depan tak menimbulkan dampak kesehatan seperti emisi genset dari BBM atau batubara.

Penggunaan panel surya untuk sumber listrik dan event pameran Bali yang Binal | Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia
info gambar

Nyoman Angga, personil band Nosstress membagi pengalamannya membuat konser dengan energi surya. “Tidak bisa memisahkan band dengan jalan hidup. Bicara agar bumi bertahan lebih lama dan tinggal lebih nyaman,” katanya. Musisi menurutnya punya banyak kesempatan menyuarakan hal baik, dan wajib selama tinggal di bumi yang sama. Karena banyak yang merasa tidak terdampak dengan masalah yang ada.

Angga menyontohkan patronnya, musisi Jack Johnson yang memutuskan tidak mau konser tanpa bio energy. “Bagi saya itu luar biasa, tak sekadar uang. Memproduksi sesuatu tak hanya sampah juga nutrisi,” ingatnya.

Selain Nosstress, sejumlah musisi mengisi pra Bali yang Binal di Taman Baca pada 18 Mei lalu, yakni Istirahat Sejenak, band dari Lapas Narkotika Bangli, Sandrayati Fay, Fendy Rizk, Sanjaya, Ardha, dan Nobeleaf. Mereka menggunakan listrik dari panel surya terpasang dari Bio Solar Farm.

Pameran di desa

BYB adalah sebuah pagelaran yang lahir dari kritik atas Bali Biennale pada 2005. Diinisiasi oleh seniman Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar yang membuat Komunitas Pojok dan Komunitas Seni di Denpasar (KSDD). Nama Bali yang Binal dari parodi Bali Biennale.

Seni dan kritik disebut energi keberlanjutan BYB. Mereka mengkritik sejumlah pembangunan oleh pusat atas nama menjaga Bali sebagai tujuan wisata utama di Indonesia. Misalnya reklamasi Teluk Benoa, rencana pembangunan tol lintas utara, rencana pembangunan bandara baru di Bali utara, dan lainnya yang membutuhkan energi besar.

Baliho-baliho ini akan dibawa ke Celukan Bawang sebagai media “demonstrasi visual”. Pembukaan BYB secara resmi dimulai 30 Juni di Taman Baca Kesiman, Denpasar. Kemudian pada 6-8 Juli mengajak seniman-seniman mural untuk mural jamminglangsung di daerah terdampak. Agar seniman-seniman lebih memahami persoalan, dan kegelisahan masyarakat terdampak terwakili oleh visual-visual yang ditampilkan oleh seniman-seniman tersebut. Penutupan BYB ke-8 akan dilaksanakan 14 Juli 2019 di lapangan Lumintang, Denpasar dengan memamerkan kembali baliho-baliho yang dipamerkan pada pra BYB dan mural jamming di Celukan Bawang.


Catatan kaki: Ditulis oleh Luh De Suriyani dan diposting ulang dari Mongabay Indonesia atas kerjasama dengan GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini