Asal Muasal Hadirnya Nama Toko Kelontong

Asal Muasal Hadirnya Nama Toko Kelontong
info gambar utama

“Gula sekilo, garam dua, minyak tanah seliter”

“Gula sekilo, garam dua, minyak tanah seliter”

“Gula sekilo, garam dua, minyak tanah seliter”

Gumaman saya setiap kali akan belanja ke toko dekat rumah. Selalu mengingat-ingat apa yang harus dibeli.

Saya yakin masa kecil kalian juga melakukan hal yang sama ketika harus pergi ke toko untuk membeli pesanan ibu.

Toko yang tidak terlalu besar tapi ternyata cukup lengkap hadir di gang perumahaan memberikan kelegaan untuk ibu-ibu yang membutuhkan ketersediaan beras, alat mandi, dan sebagainya.

Saya hanya menganggapnya sebagai toko serba ada tetapi ternyata disebut sebagai toko kelontong oleh orang-orang sekitar. Sering juga mendengar istilah toko kelontong. Tapi, yang ada dipikiran saya toko serba ada dan toko kelontong adalah dua toko yang menjual barang berbeda.

Persepsi saya terhadap toko kelontong ketika pertama kali mendengarnya adalah toko yang menjual khusus alat-alat rumah tangga dan alat-alat yang terbuat dari alumunium. Mengacu pada bunyi panci-panci dan wajan-wajan yang bertabrakan, saya mempersepsikan toko kelontong seperti itu.

Bagaimana dengan kalian? Apa yang ada di pikiran kalian ketika pertama kali mendengar toko kelontong?

Toko kelontong sendiri merupakan toko yang menjual bahan dan barang keperluan rumah tangga. Berdasarkan definisi dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kelontong memiliki dua definisi, yakni:

“Alat kelentungan yang selalu dibunyikan oleh penjaja barang dagangan untuk menarik perhatian pembeli.”

“Barang-barang untuk keperluan sehari-hari seperti sabun, sikat gigi, gelas, cangkir, mangkuk.”

Definisi yang diberikan oleh KBBI tersebut tidak lepas dari sejarah toko kelontong itu sendiri. Toko kelontong sudah ada sejak zaman dahulu. Kata kelontong mengacu pada sebuah alat bunyi-bunyian seperti tambur tetapi berbentuk kecil dan memiliki tali di sisi kiri dan kananya. Fungsi dari tali tersebut untuk membunyikan kelontong.

Pada setiap ujung tali terdapat biji-bijian yang menciptakan bunyi ketika dimainkan. Kelontong juga memiliki gagang sebagai pegangan. Cara memainkan alat tersebut dengan memutar gagang yang ada dan akan menggerakkan tali di kedua sisi. Terciptalah bunyi klothok–klothok.

Alat musik kelontongan | Sumber: Tembi.net
info gambar

Tampak familiar bukan?

Saya sering menemukan alat musik tersebut ketika berkunjung ke makam sunan-sunan dan akan menemukannya di pasar sekitar sana. Terkadang juga menemukannya di alun-alun kota saya, di mana penjual mainan keliling berdagang.

Nah, alat musik itulah yang digunakan oleh pedagang Tionghoa pada zaman dahulu untuk berdagang. Mereka akan berkeliling dengan menjajakan dagangannya. Dagangan berupa keperluan sehari-hari seperti yang kita lihat di toko-toko kelontong biasanya.

Selain menjual keperluan sehari-hari berupa bahan, mereka juga melakukan kredit barang atau biasa disebut dengan mendreng. Kegiatan perdagangan tersebut memudahkan ibu-ibu yang membutuhkan alat rumah tangga, tetapi uang yang dibutuhkan belum mencukupi.

Seiring berjalannya waktu kegiatan menjual dengan berkeliling ditinggalkan dan memilih untuk menetap. Mereka mulai menetap dan membuka toko dengan lokasi strategis seperti di perempatan jalan.

Barang-barang yang dijual tentunya lebih banyak dibandingkan ketika harus berkeliling, karena ketika berdagang dengan berkeliling terbatas akan kekuatan untuk membawa dagangan dan kapasitas wadah berdagang yang digunakan. Belum lagi harus berjalan dari satu kampung ke kampung lainnya.

Toko-toko tersebut mulai bermunculan sekitar akhir abad ke-19 dan tentunya banyak didirikan penjual kelontongan keliling. Sejak saat itulah terdapat istilah toko kelontong seperti yang kita kenal sampai sekarang.

Toko kelontong dengan berbagai barang jualan | Sumber: Kebumenhow.com
info gambar

Keberadaan kelontong dan mendreng dipengaruhi karena kebutuhan yang muncul ketika masa kolonial. Berlakunya uang sebagai alat perekonomian dan pajak mengakibatkan meningkatnya kebutuhan akan uang tunai.

Hal tersebut membuat masyarakat petani memenuhi pembayaran pajak dengan menyewakan lahan dan bekerja sebagai buruh di perkebunan. Pekerjaan sebagai buruh itulah yang menghasilkan uang tunai walau tidak banyak.

Selain itu adanya perkembangan teknologi dari barang-barang kebutuhan sehari-hari petani dimana pemerintah memproduksi barang baru dan mengganti barang lama. Barang baru tersebut membanjiri pasar lokal sejak 1870-an.

Dari situlah masyarakat Tionghoa berhasil melihat peluang untuk melakukan perdagangan secara mendreng atau kredit. Tentunya itu sangat membantu masyarakat mendapatkan apa yang dibutuhkan dan pedagang mendapatkan keuntungan karena barang terjual cepat.

Keberadaan toko kelontong memang masih ada saat ini, tetapi kehadiran toko yang lebih besar juga akan mengancam keberadaan toko kelontong. Perubahaan kebiasaan masyarakat untuk belanja yang sebelumnya ke toko kelontong menjadi ke toko yang lebih modern menjadi salah satu faktor.

Cerita mengenai toko kelontong berharga lebih mahal daripada di pasar dan kebiasaan masyarakat yang mudah menawar harga, karena dianggap terlalu mahal di toko kelontong tetapi tidak mempermasalahkan harga ketika belanja di supermarket.

Kedua hal di atas merupakan cerita yang menghiasi toko kelontong.

Oh iya, persepsi saya terhadap toko kelontong yang hanya menjual alat-alat masak tidak sepenuhnya salah, karena kelontong juga menawarkan mendreng yang menjual alat-alat rumah tangga termasuk panci.

Begitulah cerita toko kelontong yang kita kenal sekarang. Jadi, apakah kalian masih bergumam untuk mengingat barang-barang yang akan dibeli?

Catatan kaki: tembi.net | blog.unnes.ac.id

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

KM
YF
AI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini