Isitilah 'Munggah Kaji' Awalnya dari Mana?

Isitilah 'Munggah Kaji' Awalnya dari Mana?
info gambar utama

Bagi orang Indonesia yang memeluk agama Islam, bepergian ke Mekah merupakan hal yang istimewa. Perjalanan rohani menuju negeri Arab memang tidak mudah karena jaraknya yang jauh.

Orang-orang Jawa sering menyebutnya dengan “munggah kaji” yang berarti naik atau pencapaian yang tinggi. Namun bagaimana asal muasal kata “naik” digunakan untuk menyebut kegiatan spesifik umat Muslim ini?

Berawal dari orang-orang Eropa yang menerjemahkan perjalanan haji ini dengan istilah ‘pilgrimage’ yang berasal dalam bahasa Latin ‘peregrinus’ yang berarti orang asing. Kata ini juga dikembangkan oleh bahasa Inggris menjadi ‘foreign’. Namun orang Nusantara sudah mengenal kata haji sejak lama.

Dalam bahasa Melayu, istilah Haji atau Aji berbeda dengan hajj dalam bahasa Arab yang berarti mengunjungi atau menuju. Dalam bahasa Melayu, aji dapat diartikan sebagai mulia atau utama. Hal ini memberikan pemahaman terhadap pentingnya perjalanan ke tanah suci dan para petinggi agama Islam mempermudah pemahaman degan istilah munggah kaji. Jadi bukan hanya sekedar bepergian, namun mencapai suatu yang mulai dan utama.

Suasana musim haji | Sumber: Kemenag
info gambar

Orang Jawa mempunyai komitmen tersendiri dan alasan tersendiri untuk bepergian haji. Hal itu tertulis dalam Seta Kandhaning Ringgit Purwa yang ditulis sekitar awal abad 17, bahwasanya orang Jawa mempunyai versi tersendiri tentang Mekah.

Saat itu, orang-orang Jawa menganggap Mekah dalam imajinasi mereka hanyalah salah satu kota yang berada di tempat yang sangat jauh. Mereka yakin bahwa di Mekah merupakan kota para leluhur manusia.

Perjalanan sejarah

Para ahli sejarah dari Asia tenggara menemukan bahwa catatan-catatan yang dibuat oleh peziarah haji dari zaman kerajaan islam tidaklah banyak. Pernah ditemukan naskah dari Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi (1854) yang pernah menulis perjalanan ke Mekah yang penuh detail dari perjalanannya.

Buku itu berjudul KisahPelayaran Abdullah ke Negeri Judah. Sayangnya, kisah ini tak ditulis hingga selesai, Abdullah meninggal saat beberapa waktu setelah sampai di negeri Arab.

Abdullah mencatat perjalanannya yang berlangsung 109 hari, dan naskah itu dibawa pulang oleh teman seperjalanannya. Berdasarkan catatan, Abdullah berangkat ke Mekah menggunakan perahu layar. Ia menggambarkan situasi sulit yang dihadapinya saat akan mendaratkan perahunya saat memasuki Jeddah, karena perairannya yang dipenuhi dengan karang.

Tak sampai di situ, catatan ini menggambarkan situasi kota Jeddah kala itu yang memiliki sistem pengangkutan kargo yang buruk dari kapal pemiliknya. Banyak barang yang dibiarkan remuk, hancur, dibuka paksa, bahkan hilang.

Sumber: Journals
info gambar

Kisah-kisah tersebut menggambarkan sulitnya mencapai negeri Arab kala itu. Selain itu, ditemukan catatan milik Pigeaud pada tahun 1938 dalam penelitiannya tentang selera kebudayaan orang-orang Jawa memandang munggah kaji merupakan komitmen yang lebih tinggi dibandingkan sunat atau khitan.

Pemilihan kata munggah memiliki arti yang cukup mendalam bagi masyarakat Jawa. Pemilihan kata ini mempunyai bentuk pemberian makna tinggi yang sama seperti mengunjungi makam wali atau pemuka agama pada kala itu.

Menurut Sultan Agung, bagi mereka yang ingin menguatkan pengakuan kekuasaan, hendaknya mereka berziarah ke makam Tembayat yang dianggap mempunyai derajat yang sama dengan pergi ke tanah suci atau munggah kaji.

Saat ini, pergi ke negeri Arab bukanlah hal sulit, siapapun bisa melakukannya jika ada usaha. Pergi ke tanah Arab merupakan keutamaan yang istimewa dan tentunya akan mendapat kebaikan jika kita pergi dengan niat yang baik juga.

Catatan kaki: indonesia.go.id

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

KN
AI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini