Lari Kencang Slamet Ramadhan di Gunung Ciremai

Lari Kencang Slamet Ramadhan di Gunung Ciremai
info gambar utama
  • Untuk pertama kali, macan tutul jawa [Panthera pardus melas] dilepasliarkan di Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.
  • Slamet Ramadhan, macan tutul yang tertangkap pada 1 Juni 2019 di Kampung Cimalingping, Kecamatan Kasomalang, Kabupaten Subang, Jawa Barat itu, dirilis di gunung tertinggi di Jawa Barat, setelah melalui kajian ekologi dan sosial.
  • Pemerintah telah memiliki strategi dan rencana aksi konservasi macan tutul jawa 2015- 2025.
  • Senior Manager Terrestrial Program Conservation International [CI] Indonesia, Anton Ario, mengatakan satwa liar endemik Jawa ini, boleh dikatakan belum pernah diteliti tuntas.

Perjalan panjang macan tutul jawa hitam alias macan kumbang yang dievakuasi dari Kampung Cimalingping, Kecamatan Kasomalang, Kabupaten Subang, Jawa Barat, pada 1 Juni 2019 itu, usai sudah. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK] mengambil keputusan melepasliarkan karnivora bernama Slamet Ramadhan itu, di Taman Nasional Gunung Ciremai [TNGC].

Raungan marah, dengusan pasrah, mengiringi kandang besi berukuran 2 meter x 1 meter menuju lokasi pelepasannya di kawasan Bukit 1000 Bintang, Desa Padabeunghar, Kecamatan Pasawahan, Kabupaten Pasawahan, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, Selasa [09/7/2019].

Di kandang, Panthera pardus melas kerap mengubah posisi, selalu siaga. Namun, kadang terlihat takut dengan menubrukkan badan dan kepala besarnya. Tampak risih dengan kehadiran manusia.

Petugas sempat kewalahan. Meski kandang itu berlubang sangat kecil, tapi banyak juga yang ingin memotretnya tanpa mengindahkan aturan. “Tolong, jangan terlalu dekat, kasihan macannya stres,” kata seorang petugas.

Sebelum dilepasliarkan, kandang itu dibopong satu kilometer lebih. Butuh waktu empat jam, hingga macan seberat 35 kilogram itu benar-benar menjajaki habitat barunya: hutan gunung tertinggi di Jawa Barat.

Perjalanan menuju lokasi pelepasliaran macan tutul jawa, di Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat | Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia
info gambar

Kepala Balai TNGC Kuswandono, menuturkan, Slamet merupakan macan tutul jawa pertama yang dilepasliarkan di kawasan konservasi seluas 15 ribu hektar tersebut. Pihaknya akan melakukan pengamatan atau monitoring satwa berumur 6-7 tahun itu, minimal satu bulan.

“Kami lakukan upaya pendataan,” ujar Kuswandono. Berdasarkan kajian TNGC 2013, estimasi populasi macan tutul jawa di sana berkisar 3-4 individu. Selain itu, tercatat ada sekitar 45 jenis mamalia, dan ada juga kijang atau babi hutan yang merupakan buruan macan.

Slamet Ramadhan, kini bisa berlari kencang, menemukan teritorinya untuk survive. Agar tidak tersisih. Di kawasan Ciremai juga, terdapat populasi satwa sejenis.

Macan tutul merupakan satwa pemangsa puncak. Jantan dan betina dapat mendiami daerah perburuan yang sama, tetapi hal ini tidak berlaku bagi berjenis kelamin serupa. Mereka kerap mempertahankan teritori dengan tanda–tanda berupa suara, cakaran, urine maupun kotoran. Mereka juga membuang kotoran tanpa disembunyikan, melainkan diletakkan di tempat-tempat terbuka [Eisenberg dan Lockhart, 1972].

Satwa ini pun cerdik. Saat berburu, ia mempelajari perilaku buruannya, lalu menyergap dari belakang atau samping. Dia enggan mengambil risiko, berkelahi dulu sebelum membunuh. Mangsanya, biasanya mati karena gigitan maut di tengkuk atau tenggorokan.

Macan tutul betina umumnya memiliki anak 2-6 ekor setiap kelahiran, dengan masa bunting sekitar 110 hari. Sang anak, akan bersama induknya hingga umur 18-24 bulan, dan menjadi dewasa pada usia 3-4 tahun.

Kandang ini dibopong satu kilometer lebih, menuju lokasi pelepasliaran di Gunung Ciremai | Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia
info gambar

Rencana aksi

Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati [KKH] Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK, Indra Exploitasia, saat meninjau pelepasliaran, menuturkan, penetapan lokasi sesuai kajian ekologi serta sosial. Ia menyebut, kedua kajian itu penting sebagai pijakan lepas liar macan tutul.

“Alasan kami memilih kawasan ini karena merupakan kantong habitat macan tutul jawa itu sendiri. Sebelumnya, sudah dilakukan sosialisasi kepada masyarakat, intinya, kami ingin masyarakat dan macan tutul hidup berdampingan. Terlebih, historis macan ini hasil evakuasi dari konflik, kedepan diharapkan tidak terjadi lagi,” paparnya.

Perihal langkah konservasi macan tutul, sebut Indra, KLHK berpedoman pada strategi dan rencana aksi 2015-2025. Kebijakan yang tertuang dalam Permen No 6 Tahun 2016 mempunyai program prioritas, yakni meningkatkan sosialisasi kepada masyarakat serta mengajak pemerintah daerah turut terlibat.

“Kedua program itu sudah dan sedang dilakukan,” imbuhnya.

Dia mengatakan, keikutsertaan daerah diharapkan mampu menjaga habitat satwa melalui peraturan tata ruang wilayah berbasis konservasi. Hal itu bertujuan, mengamankan kawasan hutan di luar kawasan konservasi yang bisa jadi merupakan kantong-kantong habitat. Begitu pun kesadaran masyarakat, diharapkan dapat mengamankan keberadaan satwa liar yang ada.

Pemerintah memiliki strategi dan rencana aksi konservasi macan tutul jawa 2015- 2025 | Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia
info gambar

Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam [BBKSDA] Jawa Barat, Ammy Nurwati, memastikan, pihaknya hanya mengawasi koridor pada konservasi saja. “Kami memiliki 54 kawasan konservasi, di luar itu kewenangannya berbeda.”

Saat ini, menurut Ammy, populasi macan tutul jawa yang masuk dalam side monitoringBBKSDA tersebar di Gunung Sawal, Ciamis [9 individu], Suaka Margasatwa Cikepuh, Sukabumi [5 individu], dan Gunung Papandayan, Garut [6 individu].

Kendati demikian, Ammy menyebut, turunnya macan tutul dari habitat dipengaruhi beberapa faktor seperti keterancaman di habitat asal, kekurangan pakan, atau kelebihan populasi. Selain itu, intervensi manusia terhadap kawasan konservasi banyak dilakukan tanpa kepatuhan prosedur.

“Untuk mencegah konflik berulang, kami akan melakukan sosialisasi kawasan,” ujarnya

Macan kumbang ini, awal Juni 2019 masuk permukiman warga di Kampung Cimalingping, Kecamatan Kasomalang, Kabupaten Subang, Jawa Barat | Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia
info gambar

Butuh data

Informasi jumlah spesies di alam, menjadi masalah krusial menyelamatkan macan tutul jawa. Pendataan yang baik, diharapkan sebagai awal yang baik untuk menyelamatkan karnivora terakhir Pulau Jawa ini.

Senior Manager Terrestrial Program Conservation International [CI] Indonesia, Anton Ario, mengatakan satwa liar endemik Jawa ini, boleh dikatakan belum pernah diteliti tuntas. Inventarisir kawasan, misalnya, tidak semua sudah dilakukan.

“Beberapa data awal sudah dimiliki, termasuk di Jawa Barat. Namun, masih harus diperbaiki karena secara total baru sebatas estimasi,” ujar Anton, di lokasi.

Anton mengatakan, bersama tim baru memetakan delapan area hutan di Jawa Barat, sejak 2002. Berdasarkan pemetaan itu, diketahui daya jelajah macan tutul jawa berkisar antara 600-1.900 meter persegi.

Pendataan yang baik, diharapkan dapat menyelamatkan kehidupan karnivora terakhir Pulau Jawa ini | Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia
info gambar

Luasan jelajah tergantung kondisi kawasan. Anton mencontohkan, ada wilayah yang di dalamnya terdapat populasi macan tutul dengan perbandingan 5-15 individu per 100 kilometer persegi.

“Sebenarnya, macan tutul perlu ruang hidup yang besar. Seiring waktu, terjadi pula penyempitan kawasan habitat bahkan kemungkinan besar sudah rusak dan makin dirusak,” katanya.

Data kawasan penting untuk mengetahui kronologi macan tutul keluar dari habitatnya, secara komperhensif. Ia mengkritisi, keluarnya macan tutul sering ditafsirkan keliru. Padahal, keluarnya macan tutul tidak menyoal hanya populasi berlebih atau kekurangan pakan. Tapi juga, perebutan teritori.

“Sebab, rata-rata macan tutul yang turun gunung adalah penjantan muda. Di sisi lain, masyarakat juga tak paham aturan. Mereka membangun kandang ternak atau membikin permukiman dekat kawasan hutan. Ini menambah masalah, kian pelik, sehingga memicu pertikaian berkepanjangan,” paparnya.

Inilah Slamet Ramadhan, macan tutul jawa [Panthera pardus melas] yang dilepasliarkan di Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat | Foto: KLHK
info gambar

Pelajaran

Pemerintah Provinsi Jawa Barat menetapkan macan tutul jawa sebagai lambang daerah sejak 2005. Ini dikarenakan berhubungan dengan nilai budaya masyarakat Sunda. Namun, hal ini belum menjamin terhindarnya ia dari dari perburuan dan terlidungi dari alih fungsi lahan.

Kasus Slamet Ramadhan adalah contoh. “Dugaan saya, habitat Slamet berada di hutan produksi. Sebab jaraknya jauh sekali dari hutan konservasi. Sementara di Subang, hutan produksi sudah banyak ditanami sawit,” ucap kader konservasi lingkungan Subang Selatan, Iis Rochaeti.

Forum Konservasi Macan Tutul Jawa [FORMATA] mencatat, sejak tahun 2008, konflik macan tutul dengan manusia telah terjadi 55 kasus. Hampir sebagian besar di Jawa Barat.

Macan tutul dan macan kumbang adalah spesies yang sama. Meski warna rambut dominan hitam, akan tetapi macan kumbang masih memiliki sejumlah totol jika dilihat dari dekat. Atau, pada cahaya terang. Pola totolnya sama dengan macan tutul yaitu berbentuk “rosette” atau kembangan.


Catatan kaki: Ditulis oleh Donny Iqbal dan diposting ulang dari Mongabay Indonesia atas kerjasama dengan GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini