Geliat Ekonomi Orang Seberuang di Lingkar Saran

Geliat Ekonomi Orang Seberuang di Lingkar Saran
info gambar utama
  • Desa Riam Batu, Kecamatan Tempunak, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, dihuni masyarakat adat Seberuang. Mereka mengandalkan hasil hutan nonkayu, pertanian, dan kebun untuk bertahan hidup. Padi, karet, cabai, jengkol, dan tengkawang adalah komoditas andalan mereka.
  • Seiring waktu, masyarakat Seberuang terus berbenah diri. Berbagai inisiatif dilakukan. Termasuk menggandeng Aliansi Masyarakat Adat Nusantara [AMAN] mendampingi Desa Riam Batu. Selain peningkatan kapasitas, pembangunan fisik juga digedor dengan membentuk Konsorsium Ekonomi Hijau Kalbar. Melalui konsorsium ini, mereka mengakses dana melalui sokongan Millinenium Challenge Account Indonesia [MCA Indonesia] dan membangun berbagai fasilitas PLTMH, pipanisasi air bersih, serta homestay.
  • Pengurus Daerah AMAN Sintang bersama Conservation Strategy Fund [CSF] Indonesia melakukan kajian empiris terkait valuasi ekonomi masyarakat adat Seberuang Riam Batu. Hasilnya, masyarakat adat Seberuang memiliki keunggulan ekonomi yang unik. Selama ini, tidak pernah masuk radar dan pikiran serta pengetahuan praktis maupun filosofis banyak pihak, terutama para pengambil kebijakan.
  • Merujuk hasil kajian tersebut, masyarakat adat Seberuang Riam Batu kini sedang menjemput impian. Setelah diterbitkannya Perda Sintang No 12/2015 tentang Pengakuan dan Perlindungan Kelembagaan Adat dan Masyarakat Hukum Adat, kini mereka sedang mengupayakan SK Bupati Sintang tentang Hutan Adat sebagai produk turunan perda dimaksud. Regulasi itu diperlukan atas nama keadilan akses bagi masyarakat adat.

Sungai Tempunak mengalir seperti biasa, tenang. Bebatuan dan pasir terlihat jelas dari permukaan air. Ikan-ikan berenang bebas di dalamnya. Di salah satu kelokan, terdengar gemericik riam memecah sunyi. Suara-suara itu berpadu dengan semilir angin yang datang menerpa dedaunan.

Tak jauh dari bantaran sungai di Dusun Lebuk Lantang, sebuah homestay berdiri kukuh. Lebuk Lantang adalah satu dari tiga dusun di Desa Riam Batu, Kecamatan Tempunak, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Bangunan itu berbahan baku serba kayu. Ia didesain khusus untuk para tamu yang datang berkunjung.

Kala itu, 27 Juni 2019, Timotius datang ke homestay dari arah sungai. Warga adat Seberuang ini hadir dengan bawaannya. Bertelanjang dada sambil menenteng ikan yang baru saja ditangkap di sungai. Oleh kaum ibu, ikan-ikan itu diolah secara tradisional. Direbus dalam bambu dengan varian bumbu dari hutan. Ikan pansoh –demikian sebutannya, menjadi santapan pagi yang lezat.

“Ayo kawan-kawan, sebentar lagi kita masuk ke hutan adat,” pekik Hipolitus Januarpogo, salah satu pengurus Aliansi Masyarakat Adat Nusantara [AMAN] Sintang.

Hamparan tengkawang tumbuh liar di kaki Bukit Saran, Dusun Lebuk Lantang, Desa Riam Tapang, Kecamatan Tempunak, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat | Foto: Andi Fachrizal/Mongabay Indonesia
info gambar

Seketika seluruh penguni homestay bergerak mengikuti komando. Mereka berkumpul di halaman sebelum bertolak ke hutan adat. Ketua PD AMAN Sintang Antonius Antong juga tampak. Termasuk perwakilan Yayasan Perspektif Baru, peneliti dari Conservation Strategy Fund [CSF] Indonesia, dan para jurnalis yang menyambangi kawasan itu.

Perjalanan dimulai, menyusuri jalan setapak berbatu, licin. Pepohonan khas hutan hujan tropis Kalimantan tumbuh subur. Sejauh mata memandang, hamparan pohon tengkawang tersaji dalam sebuah lanskap hijau. Air yang berhulu di Bukit Saran mengalir menganak sungai.

Di sanalah warga adat Seberuang membingkai sumber hidup mereka sebagai hutan adat. Warga sudah pula melakukan pemetaan wilayah adat yang difasilitasi Perkumpulan Pemberdayaan Sumber Daya Alam Kalimantan [PPSDAK] Pancur Kasih pada 2002. Luasannya mencapai 2.936,59 hektar dan berada di kawasan hutan lindung.

Berdasarkan peruntukannya, wilayah adat tersebut terdiri dari hutan adat 61,03 persen, perladangan 19,13 persen, karet 12,10 persen, gupung/tengkawang 6,52 persen, tembawang 0,95 persen, dan permukiman 0,27 persen.

Mata pencaharian utama masyarakat adat Seberuang Riam Batu adalah petani tradisional. Mereka menggunakan sistem perladangan rotasi lahan kering dan lahan basah, petani karet, serta hasil hutan. Sangat beralasan jika masyarakat adat setempat melindungi kawasan tersebut secara berkelanjutan.

Desa Riam Batu memiliki kekayaan sumber daya alam berlimpah seperti air yang tak henti mengalir dari perhuluan Bukit Saran | Foto: Andi Fachrizal/Mongabay Indonesia.
info gambar

Dasit, warga Dusun Lebuk Lantang yang juga ikut menyertai perjalanan menuju hutan adat menjelaskan ikhwal hidupnya. Sebagai masyarakat adat Seberuang, pria 44 tahun ini bekerja sebagai petani ladang dan karet. “Hasil panen padi tidak dijual. Itu dipakai buat makan sehari-hari,” katanya.

Ayah lima anak ini juga memanfaatkan sumber daya alam yang ada untuk menyangga perekonomian keluarganya. Misalnya, berkebun karet dan menanam cabai. Sumber-sumber penghidupan lainnya adalah tengkawang dan jengkol. “Semua bisa kita jual kecuali padi,” ucap Dasit.

Dia menjual hasil torehan karetnya ke pengepul [tengkulak] dengan harga Rp6.500 per kilogram. Rata-rata kemampuan menoreh per hari adalah lima kilogram. Sedangkan harga jengkol mencapai Rp18 ribu per kilogramnya. Penghasilan lain dari cabai yang ditanam bisa mencapai Rp200 ribu per bulan.

Dasit dan warga lainnya merasa beruntung dapat menikmati air bersih hingga ke rumah. Begitu pula dengan lampu penerang yang datang melalui pembangkit listrik tenaga mikro hidro [PLTMH].

Kemewahan itu dapat dinikmati masyarakat adat Seberuang Riam Batu berkat dukungan Millinenium Challenge Account Indonesia [MCA Indonesia]. Sejumlah lembaga, termasuk AMAN Kalbar membentuk Konsorsium Ekonomi Hijau Kalbar dan membangun berbagai fasilitas PLTMH, pipanisasi air bersih, dan homestay.

Warga Desa Riam Batu dapat menikmati ikan segar yang ditangkap di Sungai Tempunak secara gratis | Foto: Andi Fachrizal/Mongabay Indonesia
info gambar

Valuasi Ekonomi

Kekayaan sumber daya alam Riam Batu terbilang berlimpah. Dalam kajian khusus PD AMAN dan CSF, dipelajari gambaran kehidupan keseharian masyarakat adat Seberuang guna memahami keragaan sosial budaya dan ekonomi mereka.

Keseluruhan, masyarakat adat Seberuang memiliki keunggulan ekonomi yang unik. Selama ini, kelebihan ini tidak pernah masuk radar dan pikiran, serta pengetahuan praktis maupun filosofis banyak pihak. Terutama, para pengambil kebijakan.

Hasil kajian tersebut menunjukkan, nilai produk sumber daya alam dan jasa lingkungan di wilayah adat ini mencapai total IDR 38,49 M per tahun. Angka ini terdiri dari nilai ekonomi produk SDA sebesar IDR 27,14 M per tahun dan nilai jasa lingkungan sebesar IDR 11,35 M per tahun.

Jika nilai total tersebut dirata-rata per kepala keluarga [KK] dan per kapita, angkanya berturut turut adalah IDR 145,79 juta per KK per tahun dan IDR 36,45 juta per kapita per tahun. Atau, dalam hitungan per bulan berturut-turut IDR 12,15 juta per KK per bulan dan IDR 3,04 juta per kapita per bulan.

Peneliti CSF Azis Khan menyebut, angka-angka di atas adalah super konservatif minimalis. “Ini belum menjangkau unsur lain dari manfaat tidak langsung. Bahkan, pada manfaat langsung pun pendapatan natura dan jam kerja belum dimasukkan dalam valuasi. Termasuk nilai budaya dan kearifan lokal,” terangnya.

Seberapa berarti angka-angka hasil valuasi tersebut, peneliti coba menyandingkan dengan angka UMR per bulan dan nilai PDB per kapita. Angka UMR Kabupaten Sintang 2017 sebesar IDR 2,03 juta per bulan. Maka nilai ekonomi per kapita hasil valuasi ekonomi masih jauh lebih tinggi, yakni IDR 3,04 juta/bulan.

Sementara, PDRB per kapita per tahun Kabupaten Sintang 2016 mencapai angka IDR 27,89 juta yang tentunya lebih kecil dibanding nilai ekonomi per kapita per tahun wilayah masyarakat adat Seberuang yang mencapai IDR 36,45 juta.

Perbandingan di atas mengisyaratkan, dengan menggunakan hasil valuasi yang konservatif minimalis sekalipun, terang Azis, pendapatan per kapita masyarakat adat Seberuang masih jauh lebih menjanjikan. “Apalagi bila valuasi diperluas dengan menghitung berbagai hal yang tadi disebutkan belum masuk hitungan,” jelasnya.

Bila UMR dan PDRB adalah semacam ukuran bagaimana pemerintah menyiapkan layanan untuk kesejahteraan masyarakat dalam pembangunannya, maka masyarakat adat Seberuang telah mulai melampaui apa yang dapat disiapkan pemerintah.

Dengan demikian, jelas Azis, agenda pemerintah ke depan bisa saja fokus pada penyiapan prakondisi untuk masyarakat adat tumbuh dan berkembang. “Prakondisi prioritas dimaksud antara lain, perbaikan jalan dan jembatan serta penyediaan fasilitas pendidikan dan kesehatan,” ucapnya.

Mayoritas warga masyarakat adat Seberuang Riam Batu bermatapencaharian sebagai petani ladang dan karet | Foto: Andi Fachrizal/Mongabay Indonesia
info gambar

Azis menegaskan, nilai ekonomi itu lebih punya arti lagi, bila nilai budaya, adat istiadat dan kearifan lokal mereka, ditimbang masuk valuasi. Bahkan bisa melampaui entitas korporasi besar. Terlebih, jika pemerintah cukup konsisten dengan tujuan pembangunan, orientasi menyejahterakan masyarakat.

Artinya, nilai ekonomi yang dihasilkan dalam penelitian dengan segala implikasi praktisnya perlu menjadi catatan baru bagi pemerintah. Terutama saat mengerangka target-target investasi, peningkatan PAD, dan lain semacamnya atas nama visi dan misi pembangunan.

Hasil kajian di atas memiliki implikasi yang luas dan coba menata ulang masyarakat adat Seberuang ke depan. Terutama dalam konteks penguatan dan perlindungan masyarakat adat. Seperti agendanya kini, telah memiliki kekuatan legal di balik keluarnya Perda Kabupaten Sintang No. 12/2015 tentang Pengakuan dan Perlindungan Kelembagaan Adat dan Masyarakat Hukum Adat.

“Maka menjadi keniscayaan untuk menebar luas nilai keberartian ini agar sampai kepada para pihak. Utamanya untuk pembuat kebijakan, yang selama ini seolah luput dari informasi empiris,” ucap Azis.

Kini, masyarakat adat Seberuang Riam Batu menanti SK Bupati Sintang tentang Hutan Adat sebagai produk turunan dari Perda No 12/2015. Regulasi itu diperlukan atas nama keadilan akses bagi masyarakat adat. Agar mereka tidak hanya jadi penonton, di tengah kekayaan sumber daya alamnya.


Catatan kaki: Ditulis oleh Andi Fachrizal dan diposting ulang dari Mongabay Indonesia atas kerjasama dengan GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini