Kebudayaan Keturunan Wangsa Bonokeling yang Masih Kental

Kebudayaan Keturunan Wangsa Bonokeling yang Masih Kental
info gambar utama

Suatu wangsa penganut kepercayaan Jawa kuno yang sangat menjunjung tinggi terhadap leluhurnya, sering menggelar ritual unggahan atau berziarah ke pusara makam keramat leluhurnya.

Wangsa itu sendiri berarti kelanjutan atau keturunan dari suatu kekuasaan pemerintahan yang dipegang oleh satu garis keturunan kerajaan itu sendiri. Bonokeling, yang diambil dari nama seorang Kyai yang konon mempunyai penghormatan tertinggi yang dianggap leluhur pada masanya di sebuah Desa di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.

Konon, Kyai Bonokeling yang dipercaya berasal dari daerah Pasirluhur, mempunyai pengaruh yang kuat terhadap warga sekitar. Karena hal tersebut, nama Bonokeling menjadi identitas warga sekitar.

Hal ini juga ditegaskan ketua pengikut Bonokeling, yakni barang siapa yang ingin mengetahui sosok Kyai Bonokeling secara jelas, maka dia harus mutlak menjadi pengikut setiannya.

Wangsa ini mempunnyai tradisi yang hampir serupa dengan tradisi nyadran atau unggahan unggahan yang sama-sama berkunjung ke makam leluhur yang biasa dilakukan umat muslim setempat saat menjelang bulan Ramadan tiba.

Perbedaan mencolok pada tradisi nyadran dan unggahan yakni prosesi ritus adat dari unggahan yang masih menjunjung tinggi kebudaayan lokal yang menjadikan masyarakat Bonokeling tetap melestarikan turun menurun ini.

Tradisi ini biasa di gelar di Desa Cagar Budaya Pekuncen, Kabupaten Banyumas yang ditemput sekitar 1 jam perjalanan dari pusat kota Purwokerto, Jawa Tegah.

Sumber: Mongabay
info gambar

Hal mencolok yang terlihat dari budaya adiluhung Bonokeling ini masih terwujudnya tanah agraris dan wujud kebudayaan Jawa kuno. Ritual unggahan ini masih dilaksanakan rutin oleh anak cucu dari Kyai Bonokeling setiap tahun di hari Jumat yang bertepatan sebelum bulan Ramadan tiba. Ritual ini melibatkan hingga seribu penganut kepercayaan Bonokeling dari berbagai desa di Kabupaten Cilacap dan Kabupaten Banyumas.

Dimulai dari Desa Adiraja, sebuah desa kecil yang terletak di Kabupaten Cilacap yang masyarakatnya masih banyak menganut ajaran wangsa Bonokeling. Ritual ini biasanya dilakukan pada pagi hari saat matahari baru muncul, dengan memulai dengan melakukan caos bekti atau yang berarti salam penghormatan pada para tokoh pemangku yang paling dihormati dalam rumah adat pasemuan.

Pada prosesi caos bekti, para penganut Bonokeling dari yang muda hingga yang tua, semua akan berjalan kaki puluhan kilometer menuju Desa Pekuncen yang ada di wilayah Kabupaten Banyumas.

Berjalan kaki menyimbolkan napak tilas dari perjalanan leluhur dari wangsa ini, yakni Kyai Bonokeling saat menyebarkann ajarannya. Sembari berjalan, beberapa warga akan terlihat memanggul wadah yang berisi sesaji dan uba rampe yang berisi hasil panen dari ladang dan ternak mereka sebagai persembahan dan rasa syukur.

Selama prosesi tersebut, para kelompok itu akan dipimpin oleh ketua adat selama beberapa hari ke depan. Makam keramat Kyai Bonokeling, mendadak ramai dan diserbu oleh ribuan wangsanya. Semua desa akan ramai dan meriah sebuah hajatan agung tapi tetap sakral.

Saat pertengahan malam hingga pagi tiba, suasana desa akan dipenuhi nyanyian tembang-tembang Jawa, yang berisi pujian-pujian atau perkataan baik yang dipanjatkan kepada Kyai Bonokeling.

Sumber: The Jakarta Post
info gambar

Menjelang siang, para pria dari wangsa ini akan berbondong-bondong menyembelih hewan ternak hasil mereka sebagai wujud persembahan yang dibawa dari Desa Adiraja, Kabupaten Cilacap. Hasil bumi itu akan dipersembahkan kepada sesama penganut Bonokeling dan memasaknya bersama-sama secara masal untuk dimakan bersama di sekitar area makam Kyai Bonokeling.

Ratusan perempuan dengan berbalut kemban putih akan memasuki makam Kyai Bonokeling satu per satu dengan khitmad. Para perempuan akan membasuh anggota badannya satu per satu, mulai dari kaki, tangan, wajah sambil mengucap doa atau mantra yang dipercaya akan membawa keberkahan.

Kemudian mereka akan duduk sambil mengatupkan kedua telapak tangan yang diangkat tinggi oleh mereka. Hal itu bertujuan menghaturkan kehormatan di depan makan keramat.

Sumber: media cagak budaya
info gambar

Dalam kepercayaan Bonokeling, perempuan mempunyai kedudukan yang lebih dihormati daripada pria, sedangkan saat sore hari, kaum pria akan menyusul sambil membawa hasil masakan mereka kedalam pusara makam.


Catatan kaki: maioloo.com | nationalgeographic.grid.id

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

KN
AI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini