Tradisi Berbalas Pantun Jadi Teman Bergotong Royong di Minangkabau

Tradisi Berbalas Pantun Jadi Teman Bergotong Royong di Minangkabau
info gambar utama

Pekerjaan membangun rumah termasuk pekerjaan berat, membutuhkan fisik yang kuat pula, belum lagi cuaca yang panas. Tapi bagaimana kalau kegiatan pembangunan tersebut ditemani oleh hiburan berbalas pantun?

Ialah masyarakat Minangkabau, tepatnya masyarakat Nagarai Abai, Kabupaten Solok Selatan, Provinsi Sumatra Barat. Mereka memiliki tradisi bernama batombe yang pada awal kemunculannya untuk menyemangati para pria pencari kayu di hutan pada zaman dahulu. Kayu-kayu tersebut kemudian menjadi tonggak, tiang, dan papan rumah gadang, rumah tradisional Minangkabau.

Tradisi batombe sendiri merupakan tradisi berbalas pantun, yang diiringi dengan alat kesenian daerah seperti rebab, gandang, talempong.

Munculnya tradisi tersebut menurut cerita yang berkembang di masyarakat, ketika masyarakat bergotong royong membangun rumah gadang dan masjid. Masyarakat Minangkabau memang memmiliki tradisi gotong royong saat melakukan pembangunan nigari atau kampung, pembangunan rumah gadang, dan masjid.

Lebih tepatnya pada tahun 1933 di mana Nagari Abai belum memiliki masjid, sehingga diadakan peremuan bersama niniak mamak, alim ulama, dan tokoh masyarakat. Gotong royong kemudian dilaksanakan.

Ada yang mengatakan bahwa gotong royong untuk pembangunan masjid dan ada pula yang mengatakan bahwa gotong royong untuk pembangunan rumah gadang. Rumah gadang tersebut kelak dikenal sebagai Rumah Gadang 21 Ruang.

Rumah Gadang 21 Ruang | Sumber: Kabarsumbar.com
info gambar

Untuk keperluan tiang, warga mengambil kayu secukupnya dari hutan. Namun saat itu kayu yang sudah ditebang tidak bisa diangkat bahkan sama sekali tidak bisa digeser. Para perempuan yang bertugas menyiapkan bekal memberikan semangat dengan berpantun dan dibalas oleh pekerja pria.

Saat sedang asyik berbalas pantun itulah kayu yang tidak bisa digeser akhirnya bisa digeser dan diangkat untuk kemudian dipindahkan ke lokasi pembangunan rumah. Hal tersebut karena berbalas pantun bisa menambah semangat.

Namun dalam perkembangannya, tradisi batombe mengalami perubahan. Tradisi ini biasanya dilaksanakan ketika adanya pernikahan, karena pada tahun 60-an pembangunan rumah gadang jarang dilakukan dan batombe tetap diselenggarakan seperti pada acara pernikahan.

Selanjutnya pertunjukan batombe terus dilaksanakan dan sebelumnya diadakan duduak tuo yaitu kesepakatan seluruh raja yang berdaulat bersama ninik mamak, alim ulama, cerdik pandai, puti-puti, dan bundo kanduang. Kegiatan tersebut untuk musyawarah penyesuaian kemampuan si pangkalan atau tuan rumah yang mengadakan perhelatan.

Batombe berasal dari kata “ba” yang merupakan awalan kata dan “tombe” berarti pantun dalam bahasa Minangkabau, sedangkan dalam Bahasa Abai, “tombe” memiliki tiga makna, yakni tiang atau tegak, musyawarah atau mufakat, dan bersatu.

Adanya tombe, masyarakat menjadi bekerjasama dan menyatu manjupuik baban nan jauah, pambao baban nan barek atau menjemput beban yang jauh, pembawa beban yang berat.

Disimpulkan bahwa makna batombe adalah tradisi untuk mendirikan tiang tonggak rumah gadang dengan jalan musyawarah dan berfungsi sebagai alat pemersatu masyarakat di Nagari Abai.

Biasanya tradisi ini berlangsung selama 7 malam bersamaan dengan kegiatan baralek (pesta pernikahan atau upacara adat). Pantun dalam pertunjukan memegang peranan yang sangat penting. Tercipta secara spontan sesuai dengan permintaan penonton dan keinginan pendendang pantun sendiri. Namun ada juga yang sudah dihapalkan oleh pendendang.

Sebelum memulai pertunjukan penyembelihan kerbau atau sapi, dilaksanakan sebagai persyaratan adat dan wajib dilakukan. Kewajiban tersebut dikaitkan pula dengan cerita turun-temurun pada masyarakat Abai Sangir, ketika dahulu sebatang pohon yang akan dijadikan tiang rumah gadang tidak dapat ditarik dan dibawa. Namun ketika seekor kerbau atau sapi disembelih, pohon akan bisa ditarik oleh beberapa penduduk di Nagari Abai.

Para pemain tidak diperbolehkan orang yang berasal dari satu suku yang sama melainkan harus dengan suku berlainan, misalnya Suku Melayu dengan Suku Sikumbang. Ibu-ibu mengantarkan seserahan secara adat dalam panji maupun cawan yang terdiri atas kelapa karambia, minyak tanah satu botol, minyak manis, gula pasir, garam dan lain sebaginya.

Seserahan diberikan kepada pihak penyelenggara. Pihak penyelenggara atau si pangkalan juga memberikan balasan berupa makanan samba, pinyaram, kue talam, atau sipuluik sebagai wujud basa-basi kepada tamu yang mau datang berkunjung dan membantu.

Jalannya pertunjukan

Pertunjukan dimulai dengan pembacaan pantun oleh penghulu atau datuk. Para pemain batombe saling berdendang dengan menggunakan bahasa Minangkabau dialek setempat. Peetunjukan ini dilakukan oleh laki-laki dan disusul perempuan, juga dilakukan oleh berbagai kalangan tidak terbatas usia.

Mereka akan membentuk lingkaran dan kemudian berdiri melakukan gerakan berputar dan kemudian berbalik. Para pemain akan tetap berdendang.

Pelaksanaan Batombe | Sumber: Infartikel
info gambar

Diirngi dengan alat musik rebab, gandang, dan talempong. Para pemain musik duduk berdampingan bersama pendendang. Khususnya pemain rebab agar intonasi nada pelafalan pantun bisa disesuaikan secara baik dengan alat musik yang mengiringi pertunjukan.

Alat Musik Talempong | Sumber: Kompas.id
info gambar

Gerakan penari laki-laki sesekali memukul bagian celana yang komprang dengan kedua tangan, seolah bertepuk tangan menimbulkan suara “bug,bug,bug”. Para pemain dan warga kemudian menjadi terhanyut dengan pertunjukan. Pertunjukan ini juga digunakan sebagai media untuk menjalin cinta atau mencari jodoh.

Selain dilaksanakan untuk pahelo baban nan barek (mendirikan rumah adat), batombe juga dilaksanakan ketika batagak panghulu (penobatan gelar penghulu) dan perkawinan.

Catatan Kaki: antaranews.com | kemdikbud.go.id | fib.unand.ac.id | ejurnalbalaibahasa.id | journal.isi-padangpanjang.ac.id

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

KM
AI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini