Kertas Unik Berbahan Sampah dan Sagu dari Maluku

Kertas Unik Berbahan Sampah dan Sagu dari Maluku
info gambar utama
  • Priska Birahy dan Grace Rejoly, dua perempuan asal Ambon, berusaha mengurangi sampah dengan daur ulang kertas bekas dicampur sagu dan limbahnya.
  • Setiap pekan, mereka memungut kertas-kertas yang berserakan di halaman gereja, kemudian dikelola dengan sagu mentah dan limbah sagu.
  • Untuk mencari limbah ela, ke Desa Tulehu, Kecamatan Salahutu, Maluku Tengah, Maluku, berjarak sekitar 25,8 kilometer dari pusat Kota Ambon.
  • Kertas ini pertama kali produksi Januari 2019. Per hari produksi kertas sekitar 50 lembar, hingga kini sudah bikin 700 lembar.

Priska Birahy dan Grace Rejoly, dua perempuan Ambon ini menyulap sagu, limbah sagu dan kertas bekas jadi kertas.

Mereka dari latar pendidikan berbeda, di daur ulang, ide mereka bertemu. Priska, alumni Print and Online Jurnalism Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Kristen Petra Surabaya. Sedang Grace, alumni Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Pattimura Ambon.

Semula, Priska dan Grace, hanya ingin mendaur ulang kertas bekas. Mereka anggap tak begitu rumit, lalu memilih sagu mentah dan limbahnya sebagai bahan utama pembuatan kertas. Alhasil, keterampilan itu punya seni tinggi dan bernilai.

Kertas kreasi mereka ini dari sagu, limbah dan sampah kertas yang dipungut dari salah satu gereja di Ambon. Setiap pekan, mereka memungut kertas-kertas yang berserakan di halaman gereja, kemudian dikelola dengan sagu mentah dan limbah sagu.

Rumah Priska jadi bengkel Tana Paper, nama komunitas mereka. Priska mengatakan, ide membuat ketrampilan itu muncul sejak kembali dari Jakarta pada 2017.

Saat itu, katanya, sebatas imajinasi. Untuk mengkreasi sagu mentah dan limbahnya jadi kertas memerlukan rekan yang seide dan punya daya kreatif tinggi. Dia berbagi dengan Grace, yang punya latar belakang pegiat lingkungan.

Sebelumnya, di Jakarta, Prisca sebagai jurnalis gaya hidup di salah satu media. Di Jakarta, dia juga mengambil kelas bikin kertas daur ulang dan sering ikut pameran yang dibuat anak-anak kreatif. Bahkan, sering keluar masuk museum dan datang ke berbagai galeri.

“Selain jadi jurnalis lifestyle, saya lihat pameran, datang ke museum dan galeri. Suatu ketika saat di Kemang, saya lihat produk aroma terapi dari pala maupun cengkih. Saya pikir, mereka pakai bahan dari Maluku,” katanya.

Dari situ, dia mulai ikut kelas daur ulang. Di Jawa, katanya, orang-orang kreatif membuat kertas (paper) dari serat abaka, pisang, palem dan lain lain. Dia bertekad harus bisa seperti mereka.

Saat kembali di Ambon, dia berbagi pengalaman dengan Grace. Pada September 2018, mereka membuat ketrampilan itu, yang dimulai dari mengumpulkan kertas bekas pada beberapa gereja di Ambon. Grace yang setiap pekan sering pergi beribadah, katanya, memungut kertas-kertas bekas yang sering dibuang para jemaat.

Biasanya pembersih gereja bakar warta jemaat. Grace yang sehari-hari aktif sebagai anak pecinta alam tak suka melihat itu. “Menurut dia, mengapa harus dibakar dan membuat polusi, kalau kertas itu bermanfaat bisa didaur ulang.”

Awalnya, kedua nona ini hanya ingin mendaur ulang kertas bekas. “Kebetulan saya suka bau, tapi tidak mau pakai perekat seperti lem. Saya juga tak mau hanya tempelan atau serbuk-serbuk biasa. Harus ada bahan utama dari lokal,” katanya.

Untuk mendapatkan aroma menarik, mereka memilih sagu mentah sebagai bahan utama daur ulang.

“Saya ingin ada daur ulang yang gunakan bahan utama dari Maluku. Kalau orang lain pakai bisa ingat Maluku. Kita sudah coba beberapa kali. Bukan saja kertas, juga sagu mentah sebagai bahan utama,” katanya.

Selain itu, harus ada polesan bagus agar kertas lebih menarik. Mereka pun pakai limbah ela, atau sisa-sisa pembuangan sagu mentah, yang biasa buat makanan babi.

Untuk bahan tambahan itu, mereka mencari ke Desa Tulehu, Kecamatan Salahutu, Maluku Tengah, Maluku, berjarak sekitar 25,8 kilometer dari pusat Kota Ambon.

“Kebetulan saya punya gandong (bahasa lokal Maluku yang berarti saudara-red) dengan orang Tulehu, sering ke sana untuk ambil sagu dan limbah ela,” katanya.

Dia bilang, yang paling sulit dari semua proses pembuatan kertas adalah cuaca. Kalau turun hujan, kata Priska, merupakan saat-saat menyedihkan bagi mereka. Mereka perlu matahari untuk proses pengeringan. Sebenarnya, bisa juga pakai pemanggang atau pemanas.

Grace saat eksperimen pembuatan paper di salah satu sekolah di Kota Ambon. Foto: Tana Paper
info gambar

Produksi dan pasar

Kertas ini pertama kali produksi Januari 2019. Saat itu, ada sebuah pameran dan mereka ikut. Kini, kreasi mereka sering dipajang dalam berbagai pamaren di Kota Ambon.

“Kami juga bekerjasama dengan musisi maupun seniman untuk promosi hasil kerajinan kami,” katanya.

Yang tertarik dengan kertas ini, tak hanya orang lokal tetapi sudah dibawa ke Amerika, Jerman dan lain-lain.

Dia bilang, kalau ada pameran seniman dan musisi di Ambon, sering mereka sediakan pojok kecil untuk perajin. Jadi, katanya, kalau ada yang memesan puisi, bisa langsung diketik di atas kertas itu.

Dalam sehari, mereka bikin sekitar 50 eksemplar. Sejak Januari lalu, sudah produksi sekitar 700 eksemplar.

Untuk memperkaya polesan, kata Priska, Tana Paper juga bekerja sama dengan para seniman. Seniman, katanya, biasa menorehkan keterampilan mereka hingga tampilan kertas lebih indah dan menarik.

Kearifan lokal

Sagu, merupakan tanaman lokal negeri ini. Di Maluku, jauh sebelum beras, jagung maupun gandum masuk dan menguasai pasar-pasar tradisional, sagu salah satu pangan pokok masyarakat Seribu Pulau ini.

“Di kampung saya, misal, kami baru makan beras pada Jumat. Setiap hari tersaji papeda dan sagu lempengan,” katanya.

Lempengan ini adalah sagu mentah dibakar pakai batu berbentuk petak-petak (batu porna). Untuk papeda, sagu diolah pakai air panas matang dan buah lobi-lobi (Flacourtia) atau dikenal oleh masyarakat Maluku dengan tomi-tomi.

Kini, suasana itu sulit dijumpai hingga pengaruh dan merampok nilai kearifan lokal dan budaya itu. Perlahan papeda dan sagu lempengan mulai terkikis dari sasana makan malam dan pangan Maluku.

Priska bilang, agar entitas lokal tetap eksis, orang Maluku, harus cerdas membaca roda peradaban. Sagu, katanya, merupakan sebuah kehormatan lokal yang punya nilai histori tinggi.

Kertas siap pakai bikinan Tana Paper | Foto: Tana Paper
info gambar
Priska Birahy dan Grace Rejoly | Foto: Tana Paper
info gambar


Catatan kaki: Ditulis oleh Nurdin Tubaka dan diposting ulang dari Mongabay Indonesia atas kerjasama dengan GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini