Merekam Alam dan Kehidupan Lewat Festival Film Lingkungan Borneo

Merekam Alam dan Kehidupan Lewat Festival Film Lingkungan Borneo
info gambar utama
  • Sineas muda melakukan gerakan kolaboratif dengan penggemar videografer, aktivis lingkungan dan komunitas lain di Pangkalan Bun melahirkan Festival Film Lingkungan Borneo (Borneo Environmental Film Festival/BEFF).
  • Tahun ini, kali kedua gelar BEFF dengan tema air. Air syarat kehidupan. Sumber air banyak rusak karena berbagai sebab. Sekitar 40% penduduk di Indonesia juga kesulitan memperoleh air bersih.
  • Menariknya, penghargaan yang diberikan kepada pemenang dalam BEFF pakai nama-nama satwa langka di Kalimantan. Bekantan Award untuk film dokumenter panjang, Orangutan Award untuk film dokumenter pendek, Enggang Award untuk kategori fiksi, dan Owa-owa Award untuk film promosi pariwisata daerah.
  • BEFF membuka kompetisi tahun ini, dengan kategori berbeda dibanding tahun lalu. Kali ini, ada kategori umum dan pelajar, masing-masing untuk jenis film dokumenter pendek, film fiksi, dan film promosi pariwisata Kotawaringin Barat.

Gusti Arsyad, pria paruh baya yang bermukim di bantaran Sungai Arut, Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah. Dia menggantungkan mata pencaharian pada sungai sejak muda. Bedanya, dulu warga Kelurahan Raja ini pengemudi speedboat, kini hanya menakhodai getek, perahu kecil bermesin tempel.

Speedboat sebagai sarana transportasi umum sudah tak laku. Dulu, ketika hubungan antardaerah di tepi Sungai Arut dan Sungai Lamandau, masih bergantung pada sungai, speedboat jadi andalan angkutan cepat. Setelah jalan darat menguhubungkan berbagai daerah pada dua aliran sungai besar itu, taksi air ini tak lagi laku.

Sebagai tukang getek, pasar pengguna jasa pun kecil. Hanya warga pinggir sungai di Kota Pangkalan Bun, yang enggan memutar jalan darat lewat jembatan pakai jasa ini. Penghasilan, pun jelas berbeda. Saat membawa speedboat, pria yang biasa disapa Julak Arsyad ini bisa mengantongi penghasilan Rp300.000 perhari. Dari getek, dia hanya memperoleh Rp70.000–Rp80.000 perhari.

Arsyad tetap setia dengan Sungai Arut walau lingkungan di sekitar telah berubah. Betapapun kepentingan banyak orang dan pemerintah beragam di sana. Pawai kelotok hias, yang belakangan dikemas jadi Festival Batang Arut, dengan gembira dia ikuti.

Belakangan wisatawan yang datang hendak menyusuri sungai pun dia layani. Arsyad tetap hidup bersahaja. Kalau soal lapar, sejauh seiris gulai ikan sungai bisa tersaji di atas piring, cukup sudah.

Kisah Gusti Arsyad itu tersaji dalam sebuah film dokumenter pendek berjudul Aliran Asa di Sungai Arut, yang disutradarai Afif Riadi, diproduksi Yayasan Borneo Documentary. Kemunculan film ini salah satu tanda mulai gerakan kolaboratif antara para sineas muda, penggemar videografer, aktivis lingkungan dan komunitas lain di Pangkalan Bun. Gerakan ini melahirkan Festival Film Lingkungan Borneo (Borneo Environmental Film Festival/BEFF).

Para perintis BEFF antara lain, Afif Riadi, alumnus Eagle Institute yang sekarang bekerja pada sebuah BUMN; DW Nugroho, pemuda Pangkalan Bun yang banyak menimba ilmu dari Equator Cinema, Malang; Fajar Dewanto dan Bagas Dwi Nugrahanto, aktivis lingkungan dan konservasi orangutan. Lalu, Mardani, aktivis masyarakat adat di Pangkalan Bun, dan masih banyak nama dari berbagai komunitas lain. Gawe ini pertama kali digelar 2018 di Pangkalan Bun.

Sukses BEFF 2018

Kendati minim publikasi di media massa, BEFF 2018 tergolong sukses. Mengusung tema human and nature, BEFF 2018 menerima sebanyak 83 karya dari berbagai daerah di Indonesia. Ada pula partisipasi film tamu dari luar negeri. Film-film itu berjudul Glass Flaring, The Green Heart of Sabah, Wild Australia, dan Mantarays and Microplastic.

Pada BEFF edisi perdana ini ada empat kategori film yang dikompetisikan, yakni, film dokumenter pendek, dokumenter panjang, film fiksi, dan film promo pariwisata. Film berjudul Belantara Leuser (Bukan) Tanah Haram karya Indra Wahyudi, yang berasal dari Aceh, tampil sebagai pemenang kategori film dokumenter pendek.

Untuk kategori film dokumenter panjang, yang tampil sebagai pemenang adalah Lakardowo Mencari Keadilan. Film yang disutradarai Linda Nursanti ini sebelumnya juga tercatat sebagai nominator di Festival Film Indonesia (FFI) 2018.

Lalu, ada Madewi, pemenang dari kategori film fiksi. Madewi merupakan buah karya Alan Budi Kusuma, yang masih tercatat sebagai mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Sedangkan film Pesan dari Banua karya Rizwan Azwar, terpilih sebagai pemenang dalam kategori film promosi daerah. Film ini menjadi satu-satunya dari Pulau Kalimantan yang memenangi penghargaan BEFF 2018.

Malam penganugerahan pemenang Borneo Environmental Film Festival 2018 | Foto: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia
info gambar

BEFF pun mendapat dukungan dari para filmaker senior. Lianto Luseno, salah satu figur di balik hadirnya Eagle Award di Metro TV pun hadir di acara ini. Lalu, ada Wisnu Surya Pratama, direktor film Songbird yang belum lama ini memenangi festival di Muskat, Oman. Ada pula Taufan Agustiyan dari Equator Cinema, Malang.

Bukan hanya sebagai ajang kompetisi. BEFF juga menyelenggarakan beberapa workshop dan dikusi film. Hal unik dari BEFF 2018, selama proses penjurian, film-film nominator penganugrahan diputar di berbagai kantong berkumpulnya masyarakat. Mulai dari tepi Sungai Arut, Rumah Betang, Taman Kota, hingga kedai kopi.

Pada penutup rangkaian festival, para nominator dan juri diaja tur ke Taman Nasional Tanjung Puting, dalam kegiatan bertajuk Film Goes to Forest. Di sana mereka dilibatkan dengan kegiatan penanaman pohon di hutan rusak karena kebakaran besar pada 2015. Mereka juga diajak nonton bareng film di Sekonyer, desa pinggir hutan yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Tanjung Puting.

Menariknya, penghargaan yang diberikan kepada pemenang dalam BEFF pakai nama-nama satwa langka di Kalimantan. Bekantan Award untuk film dokumenter panjang, Orangutan Award untuk film dokumenter pendek, Enggang Award untuk kategori fiksi, dan Owa-owa Award untuk film promosi pariwisata daerah.

Presiden Festival BEFF, DW Nugroho, menjelaskan, meski pusat kegiatan berada di Pangkalan Bun, dan festival ini mengusung nama Borneo, BEFF akan selalu terbuka untuk partisipasi secara nasional. “Kenapa submission nasional, intinya kita mengajak teman-teman se-Indonesia. Paling tidak mereka memproduksi film bertema lingkungan. BEFF sebagai naungan,” katanya, di Pangkalan Bun, pekan lalu.

Air, tema BEFF 2019

Pada 2019, BEFF yang penyelenggaraan berada di bawah naungan Yayasan Borneo Documentary, BEFF kembali digelar. Kali ini tema yang diusung adalah air. DW Nugroho membeberkan data bahwa 1,7 juta anak di dunia meninggal karena pencemaran lingkungan, 361.000 balita mati karena diare. Juga, penurunan permukaan tanah tiap tahun, 82% daerah aliran sungai rusak tak terawat, pencemaran laut karena limbah plastik, menjadi latar belakang tema air dianggap mendesak.

“Biodivesiti air terancam. Ikan, terumbu karang, rusak.”

Ahox menyebut, di Kalimantan, sungai masih menjadi sumber utama untuk mendapatkan pasokan air bersih, untuk kehidupan sehari-hari. Sekitar 40% penduduk di Indonesia juga kesulitan memperoleh air bersih.

“Bagaimana masyarakat mulai tersadar melihat keadaan, kisah-kisah yang diangkat oleh teman (filmaker) bisa berdampak besar pada kehidupan kita semua.”

Tahun ini, BEFF membuka kompetisi dengan kategori berbeda dibanding tahun lalu. Kali ini, ada kategori umum dan pelajar, masing-masing untuk jenis film dokumenter pendek, film fiksi, dan film promosi pariwisata Kotawaringin Barat. Kategori khusus film promosi Kotawaringin Barat sengaja dibuat agar BEFF dan film dokumenter bisa lebih dekat dengan masyarakat di daerah yang memang menjadi pusat aktivitas BEFF.

BEFF 2019, tidak membuka kategori film dokumenter panjang. “Dari beberapa riset, memang dokumenter panjang itu produksinya bisa sampai lebih dari satu tahun. Maka, dokumenter panjang kita skip dulu. Dokumenter panjang kira-kira tahun depan akan kita open submission lagi,” katanya.

Kegiatan non-kompetisi pun lebih banyak. Selain pemutaran film di perkampungan masyarakat, seperti yang dihelat tahun lalu, kali ini BEFF punya program Bahaum Film. Bahaum, adalah bahasa lokal Pangkalan Bun berarti musyawarah atau berdiskusi. Bahaum Film adalah fasilitasi pembuatan film yang ditujukan khusus pada siswa SMA/SMK, mulai dari proses praproduksi, produksi, hingga pascaproduksi.

Terdapat 16 siswa SMA/SMK yang mengikuti Bahaum Film edisi perdana. Kegiatan mulai 7-8 Juli 2019 di Aula Perpustakaan Daerah Kotawaringin Barat, dengan materi praproduksi. Dalam kegiatan ini para siswa itu dibekali materi mulai dari menggali ide cerita, penulisan cerita, dan bagaimana cara produksi film.

BEFF juga roadshow di sejumlah kota di Indonesia. Kegiatan ini dihelat bekerja sama dengan jejaring BEFF di berbagai kota itu. Roadshow sudah digelar di Palangka Raya, Yogyakarta, dan Aceh Juni lalu.

Rangkaian pemutaran film nominasi dan penghargaan BEFF 2019 akan dilaksanakan September mendatang. Kegiatan tetap digelar di kampung-kampung dan ruang publik, dan ditutup dengan sesi film goes to forest seperti tahun lalu.

Keterangan foto utama: Warga gunakan Sungai Mantangai, Kabupaten Kapuas, sebagai jalur transportasi. Air sungai juga untuk keperluan sehari-hari. Foto: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia

Film Goes to Forest. Panitia, nominator pemenang dan juri BEFF 2018 berkunjung ke Taman Nasional Tanjung Puting. Di sana, mereka juga menanam pohon di lokasi bekas kebakaran hutan 2015 | Foto: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia
info gambar


Catatan kaki: Ditulis oleh Budi Baskoro dan diposting ulang dari Mongabay Indonesia atas kerjasama dengan GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini