Urang kanekes atau orang Baduy merupakan salah satu suku di Indonesia yang menutup diri dari dunia luar. Bahkan, kelompok etnis dari masyarakat adat suku Banten ini mempunyai keyakinan terhadap tabu untuk didokumentasikan, terlebih masyarakat yang tinggal di wilayah Baduy Dalam.
Meski demikian ada satu masa di mana masyarakat Baduy harus berbondong-bondong keluar dari wilayahnya dan menunjukan diri pada dunia, yakni pada saat mereka melaksanakan tradisi Seba.
Pada saat itulah ribuan orang Baduy baik itu Baduy Luar maupun Baduy Dalam, mereka semua akan melaksanakan perjalanan jauh dari desa Kanekes yang terletak di Kabupaten Lebak menuju ke Kota Serang, ibu kota Provinsi Banten.
“Lojor henteu beunang dipotong, pendek henteu beunang disambung” (Panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung).
Filosofi tersebut hinga saat ini tetap aktual bagi masyarakat Baduy dipedalaman Lebak yang merayakan tradisi upacara Sebas sebagai wujud ungkapan syukur kepada Bapak-bapak gede. Bapak-bapak gede yang dimaksud adalah Bupati dan kepala pemerintahan daerah.
Perayaan adat Seba menurut warga Baduy sendiri merupakan peninggalan leluhur tetua (kokolot) yang harus dilaksanakan satu tahun sekali. Biasanya acara tersebut digelar setelah musim panen ladang huma, tradisi ini sudah berlangsung selama ratusan tahun sejak zaman kesultanan Banten di Kabupaten Serang.
Dalam bahasa Baduy “Seba” sendiri berarti seserahan. Maka Seba Baduy merupakan tradisi seserahan hasil bumi serta melaporkan berbagai kejadian yang telah berlangsung selama satu tahun terakhir di Suku Baduy kepada Ibu gede dan Bapak gede atau pemerintah setempat yang biasa disebut dengan upeti pada kerajaan.
Itu semua merupakan ungkapan rasa syukur masyarakat Baduy Luar dan Baduy Dalam karena telah mendapatkan hasil panen yang melimpah. Kegiatan Seba ini dilakukan tanpa paksaan dari pihak manapun. Masyarakat Baduy berbondong-bondong membawa hasil taninya kepada pemerintah.
Hukum Adat Leluhur Baduy
Gunung tak diperkenankan dilebur
Lembah tak diperkenankan dirusak
Larangan tak boleh di rubah
Panjang tak boleh dipotong
Pendek tak boleh disambung
yang bukan harus ditolak yang jangan harus dilarang
yang benar haruslah dibenarkan
Sejak dahulu masyarakat Baduy memang selalu berpegang teguh pada seluruh ketentuan maupun aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Pu’un (Kepala adat). Patuhnya mereka kepada aturan tersebut menjadi pegangan mutlak untuk menjalani kehidupan bersama.
Selain itu, dorongan oleh keyakinan yang kuat, hampir seluruh masyarakat Baduy tidak pernah menentang aturan yang telah ditetapkan oleh Pu’un.
Saat Seba Baduy berlangsung, biasanya ribuan masyarakat Baduy dalam dan Baduy luar berbondong-bondong datang ke Kota Serang. Masyarakat Baduy dalam yang mengenakan pakaian serba putih datang dengan berjalan kaki, sedangkan rombongan masyarakat Baduy Luar datang dengan menggunakan truk.
Sebelumnya, masyarakat Baduy terlebih dahulu sudah melakukan ritual adat Ngawalu dan Ngalaksa. Ngawalu adalah ritual yang diadakan saat musim panen selama tiga bulan, biasanya pada saat ritual ini kawasan wisata Baduy ditutup. Nah, selesainya ritual Kawalu ditandai dengan ritual selanjutnya yakni Ngalaksa.
Pada saat inilah masyarakat Baduy mengadakan syukuran dengan saling berkunjung ke tetangga dan saudara, bersilaturahmi dan mengirimkan makanan sebagai ucapan rasa syukur.
Dalam ritual Seba Baduy ini, selain memberikan seserahan berupa hasil tani dan hasil bumi, terjadi pula dialog budaya antara masyarakat Baduy dalam, Baduy luar, dan para panggede atau pejabat daerah Banten.
Dalam dialog inilah masyarakat adat Baduy menitipkan pesan kepada Pemerintah untuk tetap menjaga kelestarian alam, hutan, dan lingkungan. Sebab, masyarakat Baduy tinggal di kawasan hutan Gunung Kendeng, di mana terdapat kelestarian lingkungan yang perlu dijaga, karena masyarakat Baduy percaya hal itu dapat menjauhkan dari bencana.
Catatan kaki: Sites | Spektakel | Blogkulo
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News