Keroncong Tugu, Salah Satu Harta Karun Jakarta

Keroncong Tugu, Salah Satu Harta Karun Jakarta
info gambar utama

Jakarta selalu identik sebagai kota metropolitan yang penuh hiruk pikuk dan perkembangan infrastruktur. Suasana tersebut sering kali membuat masyarakat lupa bahwa Jakarta juga kaya akan budaya. Umumnya Jakarta hanya dikenal dengan Monumen Nasional sebagai ikonnya atau ondel-ondel sebagai keseniannya.

Keroncong sering kali hanya identik dengan kebudayaan Jogja dan Solo, namun Jakarta juga memilikinya. Kelompok yang memainkan musik tersebut dikenal sebagai grup musik Keroncong Tugu. Sesuai dengan namanya komunitas ini tinggal di Kampung Tugu, kawasan pantai utara Jakarta disebelah timur wilayah Tanjung Priuk.

Sejarah Keroncong Tugu

Salah satu penampilan Keroncong Tugu dalam festival kampung Tugu 2010 | Foto: tempo.co
info gambar

Orang-orang Kampung Tugu adalah keturunan Portugis yang melakukan pelarian dari Banda ketika VOC menyerbu pada tahun 1620-an. Konon nama kampung tersebut juga muncul dari kata Por-tugu-ese. Dalam pelariannya kapal yang dipakai oleh mereka mengalami kerusakan dan karam di pantai Cilincing.

Mereka yang tertangkap oleh VOC akhirnya bebas setelah mengikuti perjanjian untuk berpindah agama. Walaupun bebas mereka tidak begitu saja dilepas karena terikat dengan politik permukiman. Saat itu ada 23 keluarga asal Goa dan Banda yang telah bebas dan dibuang ke lokasi itu dan akhirnya menjadi generasi pertama yang menghuni Kampung Tugu.

Sebelum berpindah warga Tugu merupakan orang-orang yang terbiasa hura-hura. Ketika dibuang oleh Belanda, mereka merasa kurang hiburan karena lokasi mereka yang saat itu masih terpencil.

Akhirnya leluhur warga Tugu membuat alat musik sendiri dari dari kayu waru dan pohon-pohon lain di sekitar. Karena bunyinya yang mengeluarkan suara “crang-carong” akhirnya pada abad 17 masyarakat setempat menyebutnya sebagai keroncong.

Orang pertama yang membentuk Keroncong Tugu ialah Joseph Quiko pada 1925. Para pemain musik Keroncong Tugu saat itu bersatu dengan nama Orkes Poesaka Krontjong Moresco Toegoe-Anno 1661.

Munculnya alat musik akhirnya menjadi sumber hiburan warga Kampung Tugu. Akhirnya muncul kebiasaan untuk bermain musik selepas bekerja yang menjadi sebuah rutinitas bersama.

Tak hanya warga Tugu, pada akhirnya orang-orang Belanda pun tertarik dan ikut bermain musik bersama mereka. Hal tersebut menyebabkan kelompok bermusik tersebut mulai terkenal dan mendapat banyak undangan.

Pada awalnya lagu-lagu yang sering dimainkan adalah lagu berbahasa Portugis. Seiring berjalannya waktu mereka membuat lagu-lagu sendiri dengan bahasa Portugis-Tugu atau biasa disebut Papia Tugu, Betawi dan Melayu.

Kelompok ini sempat vakum pada sekitar tahun 1950-an hingga 1970. Hal tersebut disebabkan oleh wilayah mereka yang dirasa tidak aman sebagai lokasi nasrani terpencil. Banyak warganya yang saat itu pindah ke Belanda, Papua atau wilayah Jakarta lain, sehingga mereka menjadi terpencar.

Melihat keadaan yang sudah kondusif pada tahun 1970 Ali Sadikin yang merupakan Gubernur DKI Jakarta saat itu, memberi instruksi agar Kampung Tugu beserta budayanya dihidupkan kembali.

Akhirnya Jacobus Quiko keturunan dari pendiri grup tersebut mengumpulkan kembali warga setempat yang masih tinggal di lokasi Tugu dan yang baru kembali dari pengungsian.

Saat ini Keroncong Tugu dipimpin oleh generasi keempatnya yaitu Guido Quiko. Hingga saat ini mereka pun masih memainkan lagu-lagu warisan leluhurnya seperti Kerontjong Moresco dan Oud Batavia.

Alat musik Keroncong Tugu

Alat musik Keroncong Tugu | Foto: kemdikbud.go.id
info gambar

Beberapa alat musik yang dibentuk di antaranya, pertama jitara yang menyerupai gitar namun hanya memiliki lima senar. Karena ukurannya yang besar dan keterbatasan bahan baku saat ini alat musik ini sudah tidak lagi dipakai oleh mereka sehingga digantikan dengan gitar biasa.

Seiring berjalannya waktu dibentuklah jitara yang dalam bentuk lebih kecil yaitu macina yang memiliki empat senar dan frunga dengan tiga senar. Saat ini kedua alat musik ini merupakan jantung dari Keroncong Tugu.

Kedua alat musik tersebut dibuat dari kayu kembang kenanga dengan senar kayu waru pula, namun karena keterbatasan bahan baku dan agar efektif senarnya kini dimodifikasi dengan senar pancing. Terkait bunyi keduanya juga memiliki perbedaan dimana Frunga memiliki chord dengan setelan internasional sedangkan macina naik empat nada.

Referensi: isi.ac.id | kompas.com | cnnindonesia.com | tempo.co

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini