Cuti Tahunan: Dapatkah Diuangkan? Bagaimana Perhitungannya?

Cuti Tahunan: Dapatkah Diuangkan? Bagaimana Perhitungannya?
info gambar utama

Seorang pekerja berhak mendapatkan cuti. Cuti tahunan merupakan salah satu bentuk dari hak konstitusional yang wajib dipenuhi dan dihormati. Hak konstitusional tersebut ada pada Pasal 27 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan layak bagi kemanusiaan. Hak konstitusional ini ingin mengimplikasikan di samping pekerjaan yang dimiliki setiap orang, manusia juga butuh waktu untuk istirahat dari pekerjaan. Tidak akan tercipta penghidupan yang layak yang menjunjung tinggi kemanusiaan apabila warga tidak diberikan waktu untuk istirahat sejenak dari pekerjaan, melainkan terciptanya kerja rodi yang menyengsarakan. Salah satu jenis cuti yang diberikan kepada pekerja adalah cuti tahunan.

Dalam peraturan perundang-undangan, orang yang berhak untuk mendapat cuti adalah pekerja/buruh maupun aparatur sipil negara (selanjutnya disebut ASN). Pemberian cuti tahunan terhadap pekerja/buruh diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut dengan UU Ketenagakerjaan). Pemberian cuti tahunan terhadap ASN tidak diatur secara rinci dalam Undang-Undang 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, melainkan diatur dalam Pasal 311 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil (selanjutnya disebut PP Manajemen PNS).

Dalam peraturan perundang-undangan, cuti tahunan memuat persyaratan. Persyaratan tersebut adalah pekerja/buruh atau ASN harus bekerja selama dua belas bulan secara terus menerus terlebih dahulu. Persyaratan ini tercantum baik dalam Pasal 79 ayat (2) huruf b UU Ketenagakerjaan maupun dalam Pasal 311 ayat (1) PP Manajemen PNS. Melalui penafsiran secara gramatikal, kewajiban pengusaha kepada pekerja/buruh baru untuk memberikan cuti tahunan muncul setelah pekerja/buruh telah bekerja selama satu tahun secara terus menerus, sebelum itu, pengusaha tidak memiliki kewajiban dari undang-undang untuk memberikan cuti tahunan. Hal yang serupa berlaku pada instansi pemerintah terhadap ASN.

  1. Dapatkah cuti tahunan diuangkan?

Ada kalanya hak cuti tahunan buruh/pekerja maupun ASN tidak digunakan dalam tahun tersebut karena berbagai macam alasan. Dalam pemikiran logis, maka hal ini akan menjadi kerugian tersendiri bagi buruh/pekerja maupun ASN, karena tidak menggunakan haknya semaksimal mungkin. Setiap orang perlu diberikan sesuatu yang memang menjadi hakya. Jika hak tersebut tidak diberikan, maka akan terjadi ketidakadilan. Sehingga, logis apabila muncul pemikiran hak cuti tahunan tersebut dapat dikonversi menjadi uang atau tidak.

Dalam lingkup ASN, melalui Pasal 313-314 PP Manajemen PNS dapat diketahui jika hak cuti tahunan tidak digunakan oleh ASN, maka cuti tersebut dapat digunakan pada tahun berikutnya atau dapat ditangguhkan apabila ada kepentingan dinas mendesak. PP Manajemen PNS tidak memberikan pembenaran mengenai cuti tahunan yang dapat diuangkan. Sedangkan, dalam lingkup pekerja/buruh, pelaksanaan hak cuti semacam ini tidak diatur dalam UU Ketenagakerjaan, namun dapat diatur melalui perjanjian.

Pasal 156 ayat (4) UU Ketenagakerjaan mengatur mengenai uang penggantian hak. Dalam pasal tersebut, uang penggantian hak yang seharusnya diberikan pengusaha ketika terjadi pemutusan kerja meliputi salah satunya adalah cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur. Sehingga, apabila pekerja/buruh yang ingin mengundurkan diri dan memiliki jatah cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur dapat diuangkan dalam bentuk uang penggantian hak. Inilah yang diatur oleh UU Ketenagakerjaan dalam rangka melindungi pekerja. Namun, Pasal 79 ayat (3) UU Ketenagakerjaan juga memberikan ruang bagi para pihak untuk menentukan pelaksanaan cuti tahunan tersebut. Sehingga, perlu diingat pelaksanaan atau pengaturan mengenai cuti tahunan yang tidak diatur oleh peraturan perundang-undangan harus diteliti kembali dalam perjanjian (baik itu dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama).

  1. Perhitungan cuti tahunan yang dapat diuangkan

Perhitungan cuti tahunan yang dikonversi menjadi uang penggantian hak adalah sebagai berikut:

  1. Tentukan terlebih dahulu hak cuti pekerja/buruh!

Perhitungan hak cuti pekerja/buruh adalah total bulan aktif bekerja dalam satu tahun dibagi 12 bulan dikali hak cuti satu tahun. Contoh: seorang buruh pabrik mengundurkan diri pada 14 Juni di tahun 2019, buruh tersebut memiliki hak cuti sebanyak 12 hari dengan upah kotornya dua puluh juta rupiah, sehingga hak cutinya adalah:

Hak cuti = (6 bulan/ 12 bulan) x 12 hari = 6 hari kerja.

  1. Hitung sisa cuti yang dapat diuangkan!

Cuti yang diuangkan = (Hak Cuti Prorata/ total hari kerja di bulan pengunduran diri) x upah kotor.

Menyambung dari permisalan nomor satu, misalkan hak cuti selama satu tahun belum diambil sama sekali, berarti hak cuti masih penuh (6 hari kerja). Maka, perhitungannya adalah:

Cuti yang dapat diuangkan = (6 hari/24 hari) x 20.000.000 = 5.000.000.

Sehingga, buruh tersebut mendapat lima juta rupiah sebagai pengganti hak cuti tahunan yang tidak dia ambil.

Demikian, cuti tahunan dapat diuangkan menjadi uang penggantian hak bagi pekerja/buruh bila terjadi pemutusan hubungan kerja. Baik pengusaha atau pekerja perlu mengetahui hak cuti yang dikonversikan sebagai uang pengganti hak tersebut beserta penghitungannya agar masing-masing pihak mengetahui hak dan kewajiban yang harus dipenuhi mengenai hal ini, terutama apabila terjadi pemutusan hubungan kerja.


Referensi: Hukum Ketenagakerjaan Indonesia

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini