Penghayat Kepercayaan, Bagian Dari Masyarakat Yang Harus Kita Jaga Dan Hormati

Penghayat Kepercayaan, Bagian Dari Masyarakat Yang Harus Kita Jaga Dan Hormati
info gambar utama

Adanya berbagai kepercayaan merupakan salah satu keragaman yang menjadi ciri kemajemukan masyarakat Indonesia. Hal tersebut bisa ditemukan juga pada penghayat kepercayaan sebagai salah satu kelompok yang sering terlupakan bahkan asing bagi sebagian masyarakat.

Penghayat kepercayaan sendiri adalah mereka yang menganut aliran kepercayaan diluar enam agama dominan yang dikenal masyarakat umum di Indonesia seperti Kristen, Katolik, Islam, Hindu, Buddha dan Konghucu. Adanya aliran kepercayaan tersebut merupakan warisan yang diturunkan oleh leluhur berbagai daerah yang ada di Indonesia.

Keberadaan penghayat kepercayaan di Indonesia

Sebelum masuknya agama mayoritas di Indonesia, Arkeolog Agus Widiatmoko menjelaskan pada historia.id bahwa agama atau kepercayaan terdahulu yang dipegang oleh para penghayat memiliki tiga prinsip yaitu hubungan manusia dengan Yang Maha Kuasa, dengan sesama manusia dan dengan tumbuhan, hewan dan lingkungan.

Beberapa contoh aliran yang cukup besar diantaranya seperti; Sunda Wiwitan dan Buhun yang dianut orang-orang Sunda, Kejawen yang dianut masyarakat Jawa, Marapu yang merupakan agama asli dari Pulau Sumba, Kaharingan dan Tolotang yang berasal dari Kalimantan, Ugamo Malim atau Parmalim dari suku Batak dan Madrais yang merupakan agama Jawa-Sunda.

Selain aliran-aliran tersebut masih banyak lagi aliran kecil di Indonesia yang juga merupakan bagian dari penghayat kepercayaan.

Walaupun belum ada jumlah pasti terkait jumlah penghayat kepercayaan, dilansir dari tirto.id beberapa data menunjukkan keberadaan mereka ditengah masyarakat Indonesia. Sensus penduduk 2010 misalnya, mencatat ada 299.617 penghayat kepercayaan atau sekitar 0,13% yang terhitung dari jumlah total penduduk Indonesia.

Selain itu ada juga perkiraan jumlah berkisar sepuluh hingga dua belas juta orang di seluruh Indonesia yang dikeluarkan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui Direktorat Pembinaan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi Berada.

Melihat kembali kondisi penghayat kepercayaan di Indonesia

Dalam perjalanannya aliran kepercayaan sempat mengalami kondisi yang naik turun. Pada historia.id Sudarto peneliti dari Setara Institute menjelaskan bahwa jumlah penghayat kepercayaan pernah mengalami peningkatan setelah pemilu pertama yang dilakukan pada 1955 . Saat itu ada sekitar 350 kelompok yang dikonsolidasi oleh mantan wakil perdana menteri KRT Wongsonegoro. Hal tersebut juga terakomodir lewat pasal 29 UUD 1945 yang menyebutkan

“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk utuk memeluk agama masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaan itu”

Namun Pada 1965 juga sempat keluar UU PNPS No. 1 yang berisi tentang penodaan dan perlindungan atas agama-agama yang diakui pemerintah, dari aliran-aliran lain. Hal tersebut pun berimbas pada para penghayat kepercayaan.

Berbagai kendala seringkali muncul, mulai dari sulitnya mendapatkan hak-hak seperti pendidikan atau pekerjaan hingga penerimaan di masyarakat. Hal tersebut kerap membuat beberapa dari mereka berpindah pada agama mayoritas.

Kartu Tanda Penduduk salah seorang penghayat kepercayaan | foto: tirto.id
info gambar

Setelah berbagai hal yang dilalui oleh masyarakat penghayat kepercayaan, dukungan terhadap mereka akhirnya mulai terlihat. Realisasinya dibuktikan dengan dicetaknya kolom agama penghayat kepercayaan di dalam E-ktp oleh Ditjen Dukcapil pada 2019.

Masyarakat penghayat kepercayaan yang gugatannya dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) | foto: detik.com
info gambar

Hal tersebut merupakan tindak lanjut dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada November 2017 yang mengabulkan gugatan masyarakat penghayat kepercayaan terkait kewajiban negara untuk mengakui dan menulis (tidak lagi mengosongkan) kolom agama pada KTP yang dimiliki penghayat kepercayaan.

Walaupun secara identitas keberadaannya telah diakui, dibutuhkan edukasi lebih lanjut pada masyarakat luas terkait keberadaan para penghayat kepercayaan. Hal tersebut harus dilakukan untuk mendorong sikap terbuka masyarakat terhadap mereka sehingga tak ada lagi diskriminasi yang diterima oleh para penghayat.

Sumber : detik.com|historia.id|voaindonesia.com|hukumonline.com | boombastis.com

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini