Sakai, Suku Nomaden Asal Riau yang Bergantung Pada Hutan

Sakai, Suku Nomaden Asal Riau yang Bergantung Pada Hutan
info gambar utama

Tak seperti suku pedalaman lain, nama Suku Sakai terbilang cukup jarang terdengar. Suku tersebut merupakan salah satu suku asli Riau yang dulu dipercaya memiliki pola hidup berpindah-pindah. Kehidupannya suku tersebut pun dikenal selalu dekat dan bergantung pada hutan.

Nama Sakai sendiri konon memiliki kepanjangan Sungai, Kampung, Anak, dan Ikan. Nama tersebut mengacu pada cara hidup Suku Sakai yang selalu berpindah ke berbagai tepian sungai atau sumber air. Awal migrasi mereka dipercaya dimulai pada abad ke-14, dengan masuknya Suku Sakai ke kawasan Tepian Sugai Gasib, Hulu Sungai Rokan yang berada di pedalaman Riau.

Walaupun perpindahan yang dillakukan hanya di kawasan Riau, Suku Sakai diyakini memiliki darah keturunan minang dan Ras Weddoid. Campuran tersebut berasal dari leluhur mereka yang merupakan keturunan Pagaruyung, sebuah kerajaan melayu kuno yang berasal dari Sumatra Barat dan orang-orang yang berasal dari Hindia Selatan.

Karena sering berpindah, Suku Sakai umumnya tinggal di suatu pondokan yang mudah dibongkar. Di dalamnya tinggal beberapa keluarga dan seorang pemimpin yang biasanya disebut dengan batin. Beberapa lokasi yang sering ditinggali Suku Sakai di antaranya seperti daerah Kandis, Balai Pungut, Kota Kapur, Minas, Duri, sekitar Sungai Siak hingga bagian hulu Sungai apit.

Hubungan Suku Sakai dengan hutan

Suku Sakai sangat menghormati hutan adat mereka. Kawasan yang biasa mereka sebut sebagai ulayat tersebut memiliki peraturan tertentu yang tak boleh dilanggar, salah satunya adalah larangan penebangan pohon.

Jika melanggar peraturan tersebut masyarakat Suku Sakai akan dikenakan denda uang yang jumlahnya setara dengan emas dalam ukuran tertentu, yang telah ditentukan dalam rapat adat. Denda itu biasanya disesuaikan dengan usia pohon yang ditebang.

Pohon yang sudah berumur akan memiliki nilai denda yang semakin tinggi. Larangan tersebut juga diberlakukan bagi orang dari luar suku sakai. Mereka yang melanggar peraturan bisa diusir dari kawasan hingga dibunuh.

Ragam alat penunjang kehidupan

Pemegang kayu (kiri) yang mengenakan baju Suku Sakai berbahan dasar kulit kayu | Foto: humasbengkalis.go.id
info gambar

Tak hanya peraturan, beragam hal yang diproduksi dan dikenakan Suku Sakai pun berkaitan erat dengan alam sekitarnya. Kedekatan masyarakatnya dengan hutan pun dapat dilihat lewat pakaian asli mereka yang terbuat dari kulit pohon.

Mereka pun memiliki satu wadah yang sering dimanfaatkan untuk menampung madu hutan. Wadah yang sering disebut timo tersebut terbuat dari kulit kerbau yang dikeringkan. Wadah yang sudah terbentuk lingkaran kemudian diberi batas dari rotan dan kemudian diberi tali.

Walaupun berpindah-pindah, Suku Sakai juga tetap melakukan aktivitas agraris seperti berkebun. Hal tersebut ditunjukan lewat alat gegalung galo yang dimiliki. Alat itu berguna untuk menjepit ubi manggalo yang kemudian dikumpulkan saripatinya untuk dimakan.

Mulai sulit ditemukan

Ilustrasi lahan hutan sebagai tempat hidup Suku Sakai yang semakin berkurang | Foto: bethita.id
info gambar

Kawasan hutan yang semakin berkurang karena dimanfaatkan oleh perusahan dan pihak lain mendorong Suku Sakai untuk meninggalkan cara hidup mereka yang lama. Ilmu mereka dalam mengolah alam sekitar pun semakin terbatas untuk digunakan.

Pemandangan Suku Sakai dengan baju kulit kayu yang mungkin umum dilihat 30 yang lalu sudah tak terlihat. Masyarakat Suku Sakai kini sudah banyak berbaur dengan warga Riau lain. Kebanyakan dari mereka pun berpindah kepercayaan dari animisme menjadi muslim.

Sumber: boombastis.com | Gatra.com |detik.com | indonesiakaya.com | rimbakita.com

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AH
AI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini