Pelecehan Seksual dan Urgensi Pengesahan RUU PKS

Pelecehan Seksual dan Urgensi Pengesahan RUU PKS
info gambar utama

Akhir-akhir ini semakin marak ditemukanya pelecehan seksual, terutama pada remaja SMA yang sering menjadi korban. Hal tersebut dapat dijumpai pada berbagai liputan media baik elektronik maupun cetak, yang melaporkan pelaku kekerasan seksual kini banyak dilakukan di sekitar kita.

Ironisnya, korban bukan hanya remaja tapi juga anak di bawah umur. Pelaku tidak segan melakukan tindak kekerasan seksual saja, bahkan ada yang sampai menghilangkan nyawanya demi kepuasan nafsu semata.

Pemberitaan kasus kekerasan seksual disertai pembunuhan yang terjadi pada seorang remaja putri di Bengkulu dan Lampung Timur baru-baru ini, serta beberapa kasus lainnya yang ada di Indonesia, merupakan contoh konkret.

Banyak orang percaya bahwa perlakuan salah tersebut bertambah nyata, dan selalu mengintai anak, remaja, maupun orang dewasa.

Pelaku kekerasan seksual berasal dari remaja dengan dipengaruhi beberapa faktor, salah satunya adalah berkembangnya teknologi informasi, sehingga tidak hanya anak-anak bahkan remaja dengan begitu mudah mengakses situs pornografi melalui jaringan internet, dan media sosial lain.

Dampak yang ditimbulkan yaitu pelaku melampiaskan hasrat seksualnya kepada orang lain, terutama pada remaja sebayanya.

Konflik yang berkaitan dengan dorongan seksual tentunya tidak mudah diekspresikan bagi seorang remaja. Perasaan tidak nyaman yang dialami membuat konflik tersebut harus diselesaikan, baik cepat ataupun lambat.

Kematangan diri yang masih berkembang, sikap keluarga dan lingkungan yang tidak mendukung hal yang positif bagi remaja, membuat mereka sering kali menyelesaikan konflik tersebut dengan tergesa-gesa dan tidak memikirkan dampak kedepannya akan seperti apa.

Hal penting yang menyebabkan pelaku dapat berbuat tindakan tersebut karena mengalami kelemahan moral, sering kali menganggap seks pranikah atau ‘one night stand’ adalah sesuatu yang wajar, sehingga menganggap hal tersebut bukanlah pelecehan seksual. Padahal, pelecehan seksual itu masuk kejahatan yang luar biasa.

Koordinator Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan (JKP3), Ratna Bantara Munti, mengatakan Indonesia jelas membutuhkan regulasi khusus untuk pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual.

Sebab, peraturan yang ada seperti Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP masih lemah secara implementasi dan substansi, sehingga aturan itu tidak menyasar pada akar permasalahan kasus kekerasan seksual dan minim perlindungan pada korban.

Pada RUU PKS yang belum disahkan, memuat sembilan bentuk kekerasan seksual, di antaranya pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.

Dalam RUU PKS, kekerasan seksual didefinisikan sebagai “setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang atau fungsi reproduksi secara paksa bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa atau relasi gender yang berakibat pada penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya atau politik."

Korban kekerasan seksual secara data bukan hanya karena paksaan secara fisik, namun karena relasi kuasa yang timpang, manipulasi, bujuk rayu, dan lain sebagainya.

Pentingnya sahkan RUU PKS ini adalah salah satu upaya untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual. Setidaknya ada tiga alasan kenapa RUU ini harus disahkan.

Pertama, di Indonesia sendiri angka kekerasan seksual terhadap perempuan terus meningkat. Hal ini bisa dilihat dari data Komnas Perempuan, jumlah kekerasan seksual terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani selama tahun 2017 berjumlah 335.062 kasus. Jumlah tersebut naik drastis dari tahun sebelumnya yang berjumlah 259.150 kasus.

Kedua, yaitu kasus kekerasan seksual banyak merugikan perempuan yang sering kali menjadi korban. Contohnya kasus yang dialami wanita penjaga toko hijab di daerah Mojokerto, di kasus tersebut tampak seorang pria yang melakukan pelecehan dengan menyentuh bagian tubuh terlarang si wanita.

Kejadian tersebut membuat wanita penjaga toko itu menjadi tak sadarkan diri dan syok dengan apa yang dialaminya. Lebih parahnya, pelaku meninggalkan tempat kejadian tersebut dan melarikan dirinya.

Hal ini membuat wanita itu merasa dirugikan karena secara tidak langsung harga dirinya hilang, dan mengalami gangguan pada psikisnya,

Ketiga, tidak adanya penindakan yang tegas untuk beberapa jenis pelecehan seksual. Biasanya pelaku pelecehan seksual hanya diberi hukuman yang tidak setimpal dengan apa yang telah dilakukan.

Tidak menutup kemungkinan bahwa kasus pelecehan seksual tidak ditindaklanjuti atau tidak dilaporkan, disebabkan karena lemahnya sistem dan penegakan hukum.

Pelecehan dan kekerasan seksual menjadi lebih sulit untuk diungkap dan ditangani, karena sering dikaitkan dengan konsep moralitas masyarakat.

Perempuan dianggap sebagai simbol kesucian dan simbol kehormatan, karenanya ia kemudian dipandang menjadi aib, sehingga pelecehan seksual yang dialaminya tidak perlu untuk disebarluaskan ataupun harus ditindaklanjuti di meja hukum.

Korban juga sering disalahkan sebagai penyebab terjadinya kekerasan seksual. Hal ini membuat perempuan atau korban sering kali bungkam dan memilih tidak menjelaskan apapun.

Pasalnya, sebagian dari korban pasti mengalami trauma yang cukup besar, sehingga untuk bersaksi tentang pelecehan yang dialaminya pun tak sanggup.

Banyaknya kasus yang tidak mendapatkan keadilan, baik karena cakupan hukum yang tidak komprehensif, termasuk definisi dari kekerasan seksual itu sendiri maupun persoalan relasi kuasa dan cara pandang, menjadikan pentingnya kebijakan nasional untuk Penghapusan Kekerasan Seksual.

RUU PKS bertujuan mencegah segala bentuk kekerasan seksual, menangani, melindungi dan memulihkan korban, menindak pelaku dan menjamin berjalannya kewajiban negara, peran keluarga, partisipasi masyarakat, hingga tanggung jawab korporasi dalam mewujudkan lingkungan bebas kekerasan seksual.

Artinya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual mengatur sektor dan ruang lingkup yang lebih luas dari sebelumnya. Selain itu RUU PKS diharapkan dapat memunculkan terobosan dalam sistem peradilan pidana terkait Kekerasan Seksual yang di dalamnya juga merumuskan alat bukti selain yang diatur dalam hukum acara pidana umum.

Dengan adanya aturan yang lebih komprehensif, bukan hanya aspek sanksi bagi pelaku, namun keluasan cakupan, upaya pencegahan, rehabilitasi dan pemulihan korban, sehingga memberikan akses keadilan bagi korban.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

FA
AI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini