Si Hitam Pekat Warisan Petani Kudus

Si Hitam Pekat Warisan Petani Kudus
info gambar utama

Siapa yang tidak pernah meminum kopi? Tentu saja Kawan GNFI pernah mencicipinya, bukan?

Si hitam pekat atau yang dikenal dengan kopi ini memang merupakan salah satu jenis minuman hasil seduh yang sudah dikonsumsi sejak zaman dahulu kala.

Tak hanya itu, kopi pun menjadi salah satu komoditas dunia yang dibudidayakan lebih dari 50 negara, Indonesia salah satunya.

Menurut data dari International Coffee Organization (ICO), Indonesia menempati urutan keempat sebagai negara penghasil kopi terbesar di dunia setelah Brasil, Vietnam, dan Kolombia, dengan jumlah produksi sebanyak 600 ribu ton kopi.

Indonesia yang melimpah dengan kekayaan alamnya ini memiliki banyak sekali jenis kopi. Dari yang sudah dikenal dan belum dikenal banyak khalayak, sebut saja kopi muria.

Potret kopi Muria jenis robusta | Foto: Agro Jowo
info gambar

Kopi Muria adalah kopi berkualitas asal Kudus, Jawa Tengah, dengan memiliki rasa yang unik dan berbeda, serta hasil warisan turun-temurun dari petani lokal yang terus dibudidayakan dengan baik, hingga berhasil dipasarkan ke luar negeri.

Komoditas unggulan Kabupaten Kudus ini bisa dibilang sebagai harta karun yang tersembunyi dari Gunung Muria. Pasalnya, kopi tersebut memang tumbuh pada 452 hektare hamparan kebun kopi di lereng Gunung Muria.

Lahan seluas 452 hektare tersebut berada di Desa Colo, Lau, dan Japan Kecamatan Dawe Kudus. Mayoritas lahan kopi ditanami dengan bibit jenis robusta dan jenis arabika. Pada tahun 2015, satu hektare dari lahan kopi ini mampu menghasilkan kopi dengan kisaran 1,5 sampai 2 ton.

Kopi Muria yang sudah mulai dipasarkan hingga mancanegara ini selalu melakukan inovasi, salah satu caranya ialah dengan melakukan branding kopi Muria ke khalayak luas.

Petani melakukan panen kopi dengan benar-benar sudah matang dari pohon atau petik merah agar rasa kopi lebih nikmat.

Ada sejarah panjang di balik nikmatnya kopi Muria. Diawali ketika tahun 1825 saat Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Johannes Graaf Van Den Bosch, yang merupakan Gubernur-Jenderal Hindia Belanda yang ke-43, menerapkan peraturan tanam paksa di seluruh Jawa.

Potret wajah Johannes Graaf Van Den Bosch | Foto: wikipedia.com
info gambar

Tahun 1830-1834, masa pemerintahan Johannes menerapkan sistem tanam paksa (cultuurstelsel) untuk mulai direalisasikan, setelah sebelumnya hanya merupakan konsep kajian yang dibuat untuk menambah kas pemerintah kolonial maupun negara induk Belanda.

Dana mereka saat itu sangat terbatas, karena peperangan di Eropa, daerah koloni di Jawa, dan Pulau Sumatera.

Kemudian tahun 1860, Johannes membagi seluruh hutan di Pulau Jawa menjadi 13 daerah hutan. Lalu jauh ke tahun 1910 setelah sistem tanam paksa berlangsung, pemerintah kolonial menghapuskan program tanam paksa dan menetapkan bagian hutan di Lereng Muria sebagai kawasan hutan.

Setelah terbit keputusan tersebut, mulai tahun 1920 setiap petani yang memiliki lahan kopi di tanah milik negara diberi hak memungut hasil selama 5 tahun yang dikenal dengan Koffie Met Plukrecht (KMP).

Selanjutnya pada tahun 1925 KMP seharusnya dihapus, namun faktanya di Colo dan Japan masih ada. Bahkan mulai 1942 lahan tanaman kopi makin luas sehingga muncul sengketa tanah hutan di dua desa itu.

Pada era kemerdekaan, tahun 1972 terbit surat keputusan Gubernur Jateng untuk menetapkan fungsi baru kawasan itu. Keputusan Gubernur menyebutkan bahwa hutan di Colo dan Japan berfungsi sebagai hutan lindung.

Penggarap lahan kopi setelah 10 tahun terhitung sejak SK itu diberlakukan pun harus meninggalkan hutan. Padahal di masa itu tanaman kopi sudah menjadi napas kehidupan warga Colo dan desa sekitarnya.

Namun kini, meskipun banyaknya gejolak yang terjadi pada hutan tersebut, kopi Muria tetap ada dan menjadi minuman favorit yang ditanam pada ketinggian sekitar 800 mdpl.

Petani sedang memanen kopi Muria di Lereng Gunung Muria | Foto: Akrom Hazami/detik.com
info gambar

Kopi Muria yang memiliki aroma wangi dan ada rasa rempah-rempah, serta akar-akaran tersebut dapat diolah dengan dua cara, yaitu cara tradisional dan semi digital.

Pengolahan kopi Muria semi digital menggunakan alat yang melalui 18 proses, sementara kopi yang diolah secara tradisional menggunakan cara yang diwariskan turun-menurun.

Tak hanya biji kopinya saja yang diolah, daun dari kopi Muria pun dapat diolah yang dipercaya bisa mencegah penyakit jantung dan memperlancar peredaran darah.

Referensi: Kudusnews.com | TribunJateng

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Dessy Astuti lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Dessy Astuti.

Terima kasih telah membaca sampai di sini