Success Story Pembebasan Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) di Indonesia

Success Story Pembebasan Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) di Indonesia
info gambar utama

Dalam dunia kesehatan hewan, Indonesia pernah memiliki kisah yang berakhir baik atau success story. Sejak tahun 1986 Indonesia sudah bebas dari penyakit mulut dan kuku, penyakit hewan menular yang paling ditakuti di dunia. Penyakit mulut dan kuku atau yang biasa disingkat PMK secara internasional dikenal sebagai foot and mouth disease atau disingkat FMD yang merupakan penyakit hewan menular yang menyebabkan luka di bagian mulut dan kuku pada hewan berkuku genap, terutama sapi dan babi.

Ada tujuh tiper virus PMK yang ada di dunia, namun yang ada di Indonesia hanya ada satu jenis yaitu tipe O. Daya tular penyakit tersebu sangat tinggi dan dapat menulari rusa, kambing, domba serta hewan berkuku genap lainnya. Sehingga, penyakit PMK sangat ditakuti di seluruh negara di dunia.

Pada tahun 2001, wabah PMK di Inggris menyebabkan 6 miliar sapi dan babi dimusnahkan. Kemudian, kerugian akibat wabah PMK di suatu negara dapat mencapai 6 hingga 25 miliar dolar Amerika. Sedangkan wabah PMK pertama kali diketahui di Indonesia pada tahun 1887 di daerah Malang Jawa Timur. Penyakit tersebut kemudian menyebar ke berbagai daerah seperti pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara Timur, Sumatra, Sulawesi dan Kalimantan.

pusvetma | Foto : khazanah dunia pustaka
info gambar

Status Indonesia bebas PMK yang diakui secara internasional merupakan success story penyakit hewan di Indonesia yang patut dibanggakan. Keberhasilan tersebut tidak lepas dari peran Balai Penyelidikan Penyakit Mulut dan Kuku atau BPPMK yang didirikan di Wonocolo Surabaya pada 12 September 1952. Institusi tersebut berubah nama dari BPPMK menjadi LPMK atau Lembaga Penyakit Mulut dan Kuku pada tahun 1959. Peresmian tersebut dilakukan oleh Menteri Pertanian pada masa itu dan didampingi direktur LPMK.

Vaksin PMK pertama kali diproduksi sebanyak 58.300 dosis pada tahun 1964. Pada 1967 lembaga tersebut berganti nama menjadi Lembaga Virologi Kehewanan atau LVK di bawah Direktorat Jenderal Peternakan Kementerian Pertanian. Lembaga tersebut diresmikan oleh Menteri Pertanian Mayor Jenderal Sucipto, S.H. dan didampingi Direktur LVK Profesor Doktor M. Tanjung.

LVK dijadikan sebagai Regional Refference Laboratory untuk penelitian dan diagnosis PMK Di Asia Tenggara. Sejak tahun 1976 dilakukan perubahan metoda produksi menggunakan metoda pembiakan sel sehingga kapasitas produksi dapat meningkat 20 kali lipat menjadi 5 juta dosis per tahun. Sejak saat itum program vaksinasi massal mulai dilaksanakan. Sejak 22 September 1978 LVK berubah nama menjadi Pusat Veterinaria Farma atau disingkat PUSVETMA dengan tupoksi tidak hanya memproduksi vaksin virus tetapi mulai meningkatkan kemampuannya sebagai produsen vaksin dan bahan biologi lainnya.

Pada tahun 1978, pulau Bali dinyatakan bebas PMK, menyusul Jawa Timur pada tahun 1981 dan Sulawesi Selatan pada tahun 1983. Wabah PMK terakhir terjadi di daerah Blora di Jawa Tengah pada tahun 1983 yang kemudian dapat diberantas dengan stamping out, pengendalian lalu lintas ternak dan desinfeksi secara ketat. Sejak saat itu, kasus PMK tidak pernah muncul kembali. Program vaksinasi PMK terakhir dilakukan pada tahun 1985.

Pertahankan Indonesia Bebas Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), Pusvetma adakan Surveilans | Foto : pusvetma
info gambar

Indonesia menyatakan bebas dari PMK tanpa vaksinasi pada tahun 1986 melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 260/1986. Status tersebut diakui di lingkungan ASEAN sejak tahun 1987 dan kemudian diakui oleh Organisasi Dunia Untuk Kesehatan Hewan atau OIE pada tahun 1990 sebagaimana tertuang dalam Resolusi No. XI Tahun 1990. Sampai saat ini, status bebas dari PMK tanpa vaksinasi masih dapat dipertahankan dengan melalui resolusi OIE yang diterbitkan secara berkala setiap tahun, yang terbaru adalah Resolusi OIE No. XV yang terbit tahun 2019.

Status bebas PMK tanpa vaksinasi merupakan keuntungan bagi Indonesia sehingga dapat membendung serbuan impor hewan dan produk hewan karena hanya dapat berasal dari tempat bebas PMK tanpa vaksinasi seperti Autralia, Selandia Baru dan Amerika Serikat. Status Indonesia bebas PMK dapat dimanfaatkan juga untuk meingkatkan dan mendorong posisi tawar ekspor hewan dan produk hewan dalam rangka mendukung gerakan tiga kali ekspor. Menginat beberapa negara di Asia masih belum bebas PMK maka Indonesia perlu mewaspadai masuknya virus PMK yang dibawa melalui lalu lintas hewan dan produk hewan. Untuk itu melalui SK Menteri Pertanian Nomor 39 Tahun 2012 Pusat Veterania Farma dirubah menjadi Pusat Veteriner Farma atau PUSVETMA dengan tupoksi salah satunya ditetapkannya kembali sebagai laboratorium rujukan penyakit mulut dan kuku di Indonesia.

Peternakan Sapi | Foto : Medium
info gambar

Diharapkan upaya pendeteksi masuknya virus PMK, PUSVETMA bersama dengan Balai Besar dan Balai Veteriner bersama dinas yang membidangi fungsi peternakan kabupaten/kota melaksanakan kegiatan surveilans serta penanganan yang cepat apabila ditemukan suspect PMK yang muncul di lapangan. Kerjasama dengan Balai Karantina Pertanian juga terus dilakuakn untuk mengawasi penggunaan swill feeding kantong-kantong peternakan babi. Hasil surveilans PMK dilaporkan kepada Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan sebagai bahan laporan tahunan kepada OIE. Hasil laporan tersbut menjadi salah satu dasar OIE menetapkan status Indonesia sebagai negara abebas PMK tanpa vaksinasi.

Pengalaman tersebu bisa menjadi pelajaran dalamm pengendalian wabah penyakit, baik penyakit di hewan yang mempunyai dampak ekonomi besar, seperti PMK, dsn ASF, maupun penyakit hewan yg menular ke manusia yang bersumber dari hewan yg disebut penyakit zoonosis, seperti flu burung, rabies, anthrax maupun corona virus.


Catatan kaki: PUSVETMA

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Widhi Luthfi lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Widhi Luthfi.

Terima kasih telah membaca sampai di sini