Cara Baru Berwisata di Kota Tahu

Cara Baru Berwisata di Kota Tahu
info gambar utama

Apa yang Anda ingat ketika mendengar kata Sumedang? Hampir setiap orang pasti menjawab tahu. Ya, tidak salah kalau kemudian kota tersebut dijuluki tahu karena memang kekhasan tahunya yang melegenda. Namun Anda salah kalau menyangka Sumedang hanya tahu. Ada banyak yang bisa dinikmati selain kuliner berbahan dasar kacang kedelai itu. Kini mulai masyhur Ubi Cilembu yang sudah menembus pasar internasional.

Itu hanya satu sisi dari bidang kuliner semata. Mari kita coba tengok di bidang lain seperti seni tradisi yang tidak kalah menarik. Ada tari umbul yang sempat menyedot perhatian saat dihelat kolosal di momen pergantian tahun lalu. Dari sisi alat musik, tarawangsa sudah sangat kental dengan budaya masyarakat Sumedang. Atau pertunjukan kuda renggong yang menjadi atraksi kebanggaan dan masih tetap lestari hingga kini.

Objek wisata alam pun kini semakin gencar dibenahi, dipugar, direvitalisasi sehingga dapat menjadi destinasi bagi para pelancong. Pesisir di sekeliling Waduk Jatigede terus bersolek, diberi sentuhan kreativitas untuk menarik para pemburu wisata. Batu Dua dikembangkan sampai-sampai event kelas internasional dapat digelar di eks kawasan yang dulunya tempat penggembalaan hewan ternak itu. Mata air, air terjun, hingga sungai banyak menjadi tempat yang sangat nyaman untuk dieksplorasi.

Di samping itu, wisata sejarah masih menjadi daya tarik tersendiri dari kota yang mulai menahbiskan diri sebagai kota pariwisata itu. Hal ini tidak terlepas dari keberadaan Mahkota Binokasih yang menandakan bahwa Kerajaan Sumedang Larang pada masa lalu merupakan penerus sah trah Kerajaan Sunda. Pusaka Pajajaran itu tersimpan aman di Museum Prabu Geusan Ulun yang kemudian dibuatkan Tugu Binokasih sebagai penanda keberadaannya.

Ada banyak lagi yang dapat dieksplorasi di Sumedang dengan segala keunikannya. Namun dalam tulisan ini, saya akan membahas cara yang mungkin tergolong baru untuk menikmati wisata di kota tahu. Apa itu? Saya menyebutnya dengan istilah wisata tematik sejarah. Ya, wisata yang menggunakan pendekatan cerita sejarah di masa lalu. Paling tidak saya tuliskan tiga tematik sejarah yang dapat dieksplorasi di Sumedang.

1. Prabu Geusan Ulun

Seperti diketahui, Prabu Geusan Ulun merupakan raja Sumedang Larang yang memproklamasikan diri sebagai penerus kerajaan Sunda-Pajajaran yang berakhir kala itu. Beliau memperoleh dukungan yang sangat kuat dari para pembesar Kerajaan Sunda-Pajajaran, antara lain dari Jayaperkosa, Nangganan, Kondang Hapa, dan Sayang Hawu yang ditandai dengan penyerahan Mahkota Binokasih. Legitimasi tersebut diperkuat dengan diserahkannya mahkota kerajaan Binokasih yang sekarang disimpan di museum di Sumedang. Peristiwa lain yang tidak kalah penting adalah pemindahan pusat pemerintahan kerajaan dari Kutamaya ke Dayeuh Luhur. Pemindahan ini salah satunya disebabkan adanya konflik antara Kerajaan Sumedanglarang dengan Kesultanan Cirebon.

Apa saja destinasi wisata yang dapat dieksplorasi kaitan dengan sejarah ini?

a. Museum Prabu Geusan Ulun

Museum ini terletak di jantung kota Sumedang. Persis berada di kompleks Gedung Negara, kediaman bupati Sumedang di Jalan Prabu Geusan Ulun. Dilansir disparbud.jabarprov.go.id, kompleks yang didalamnya terdapat bangunan-bangunan tersebut berukuran seluas 1,8 ha dan dikelilingi dengan tembok setinggi tiga meter. Di dalam kompleks terdapat bangunan-bangunan yang cukup tua, yaitu Gedung Srimangati yang dibangun pada tahun 1706, Gedung Bumi Kaler (1850), dan Gedung Gendeng (1850). Selain itu, terdapat tiga gedung lainnya yang relatif baru, yaitu Gedung Gamelan (1973), Gedung Pusaka (1990), dan Gedung Kereta Naga Paksi (1996).

Museum menempati Gedung Srimanganti. Gedung ini dibangun tahun 1706 oleh Bupati Dalem Adipati Tanumaja yang memindahkan pusat kota kabupaten dari Tegal Kalong ke tempat ini. Gedung Srimanganti merupakan bangunan permanen berdinding tembok. Berlantai tinggi dengan permukaan tegel dan pada bagian teras belakang bangunan dijumpai adanya tiang-tiang penyangga lantai kayu. Jendela-jendela berukuran cukup besar dengan bentuk segi empat dan melengkung atau kurva. Pintu-pintu berukuran cukup besar serta pada bagian atas daun pintu terdapat ventilasi yang dipenuhi hiasan floral. Juga dilengkapi tiang-tiang bangunan kokoh.

Gedung Srimanganti pada awalnya berfungsi sebagai kediaman resmi bupati dan keluarganya. Pada tahun 1950 samapai dengan 1982 dipergunakan sebagai Kantor Pemerintah Daerah Kabupaten Sumedang. Pada tahun 1982 dipugar dan setelah dipugar difungsikan sebagai museum dengan nama Museum Prabu Geusan Ulun. Di dalam museum terdapat koleksi antara lain warisan pusaka peninggalan para raja dan pangeran Kerajaan Sumedang Larang yang memiliki nilai historis yang sangat tinggi termasuk di dalamnya Mahkota Binokasih, Pedang Ki Mastak, Kereta Kencana Naga Paksi, gamelan Panglipur peninggalan Pangeran Rangga Gede (1625 – 1633), gamelan Pangasih peninggalan Pangeran Kornel (1791 – 1828), dan gamelan Sari Arum peninggalan Pangeran Sugih (1836 – 1882).

Untuk sampai ke Museum Prabu Geusan Ulun relatif sangat mudah karena lokasinya yang sangat strategis. Dari arah Bandung, Anda tinggal menyusuri jalanan Sumedang melewati Jatinangor, Tanjungsari, Cadas Pangeran menyusuri jalan nasional hingga ke pusat kota. Setelah menemui Tugu Mahkota Binokasih, ambil jalan menuju Alun-alun Sumedang. Dan Museum Prabu Geusan Ulun berada persis di seberang Selatannya.

Bagi Anda yang bepergian dari arah Timur atau melalui Bandara Kertajati Majalengka bisa mengambil jalur melalui Ujungjaya, Tomo, Cimalaka, hingga ke pusat kota. Kalau sempat, atau sempatkanlah ambil jalur ke kiri menuju Jatigede. Saat ini banyak sekali destinasi wisata di pesisirnya seperti melihat kokohnya Bendungan Jatigede, menikmati wisata swafoto di Puncak Damar atau Panenjoan, kawasan pemukiman Kampung Buricak Burinong, wisata alam kawasan hutan Curug Mas, dan lain sebagainya sebelum akhirnya Anda sampai ke pusat kota Sumedang.

b. Makam Prabu Geusan Ulun

Prabu Geusan Ulun dimakamkan di Dayeuh Luhur, Ganeas, sekitar 7 km dari pusat kota Sumedang. Sesuai dengan namanya, dalam bahasa Sunda, dayeuh berarti kota dan luhur berarti tinggi; Dayeuh Luhur terletak di daerah yang cukup tinggi. Desa Dayeuh Luhur terletak di bagian puncak Gunung Rengganis. Meskipun begitu, Anda jangan khawatir karena daerahnya dapat dengan mudah dilewati baik menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat. Perjalanan Anda ke sana akan ditemani jalanan beraspal menanjak dan berliku serta disuguhi pemandangan khas alam pegunungan yang menyejukkan mata.

Untuk sampai di Desa Dayeuh Luhur, susuri jalanan kota Sumedang menuju Ganeas. Sesampainya di sana, ambil jalur ke Selatan menyusuri jalanan menanjak sambil menikmati suasana khas alam. Makam Prabu Geusan Ulun berada di tengah kompleks makam yang secara umum dibagi menjadi 3 bagian. Makam dikelilingi oleh jalan desa di sebelah timur, lapang parkir di sebelah selatan, hutan di sebelah utara dan barat. Gerbang makam terletak di bagian selatan.

Sebagaimana makam pada umumnya, ada juru kunci yang sekaligus dapat menjadi pemandu bagi Anda yang berziarah ke makam yang sangat bersejarah tersebut. Juru kunci berada di bagian pertama yang terletak di dekat pintu gerbang makam. Dari situ kita akan diarahkan sambil menyusuri komplekas makam yang di sisi Barat ruas jalan menuju makam Prabu Geusan Ulun terdapat makam istrinya, yaitu Ratu Harisbaya. Terakhir, bagian paling belakang dan paling Utara serta tertinggi di kompleks makam tersebut terdapat makam Prabu Geusan Ulun.

Makam dikelilingi tembok keliling dan pintu gerbang di sebelah Selatan. Selain berisi makam Prabu Geusan Ulun terdapat juga beberapa makam salah satu di antaranya adalah makam Rangga Gempol yang meninggal dan dimakamkan di daerah Yogyakarta kemudian dipindah ke Dayeuh Luhur. Makam Prabu Geusan Ulun berorientasi utara-selatan ditandai adanya jirat 3 teras dari keramik dan nisan pada bagian kepala dan kaki. Makam dinaungi cungkup berupa bangunan terbuka. Pada bagian barat makam terdapat ruangan yang dipakai sebagai tempat beribadah dan menginap para peziarah. Makam ini telah mengalami beberapa kali pemugaran.

Selain itu, di kompleks pemakaman tersebut juga terdapat areal parkir yang cukup luas dilengkapi dengan pos penjagaan dan kios-kios pedagang di sisi Selatannya. Tidak jauh dari kompleks makam tersebut juga terdapat pemukiman warga setempat.

c. Tugu Mahkota Binokasih

Diresmikan sejak awal September 2016 lalu, Tugu Mahkota Binokasih kini berdiri gagah di kawasan perempatan jalan perlintasan antarkota di jalan Sumedang yang menghubungkan antara Bandung-Cirebon. Lokasinya tidak jauh dari Alun-alun Sumedang, hanya sekitar 150 meter.

Keberadaan tugu ini melengkapi ikon yang sebelumnya ada di Sumedang yakni Tugu Endog di Taman Endog yang berada di tengah-tengah kota Sumedang. Tugu berdiameter 15 meter dengan ketinggian sekitar 12 meter itu menjadi simbol kekayaan warisan sejarah Sumedang. Sebagaimana namanya, di atas tugu itu bertengger replika Mahkota Binokasih yang menjadi penanda keabsahan Sumedang sebagai pewaris sah kerajaan Sunda-Pajajaran.

2. Pangeran Kornel

a. Cadas Pangeran

Cadas Pangeran terlintas seperti jalanan pada umumnya kalau hanya diperhatikan secara sekilas. Bahkan mungkin malah terkesan berbahaya dan mengerikan. Jalanan raya berkelok dengan tebing tinggi di satu sisi dan jurang curam ke bawah di sisi lainnya. Di kedua sisi penuh dengan hutan. Jalan ini tidak terpisahkan dari kisah pilu di masa lalu ketika pembangunan jalan pos dari Anyer ke Panarukan yang diprakarsai Gubernur Jendral Hindia Belanda (1808-1811), HW Daendels.

Di situ terdapat patung Pangeran Kornel, Bupati Sumedang awal abad 19 yang dengan gagah berani menentang perbudakan yang dilakukan Daendels. Patung itu menggambarkan satu sosok meneer Belanda yang bersalaman dengan sang pangeran yang berpakaian khas Sunda: beskap dan penutup kepala. Yang menarik, tangan kanan sang meneer yang mengajak salaman dibalas dengan tangan kiri Pangeran Kornel sembari tangan kanannya memegang keris yang siap dihunus.

Patung yang didirikan sekitar tahun 1980an itu berdiri kokoh di jalanan yang masuk ke wilayah Kecamatan Pamulihan. Kalau dari arah Bandung, lokasinya berada tepat sebelum jalan Cadas Pangeran. Anda bisa menyengaja berwisata ke sana sembari menikmati ubi Cilembu yang khas yang dijajakan di banyak kios di sekitarnya.

b. Kereta Nagapaksi

Jika sedang menyengaja menelusuri wisata sejarah Pangeran Kornel, maka jangan lupa untuk mampir ke Museum Prabu Geusan Ulun. Salah satu koleksi di dalamnya adalah sebuah kereta kencana yang disebut Kereta Nagapaksi. Memiliki panjang 7 meter, lebar 2,5 meter dan tinggi 3,1 meter, kereta ini berwujud seekor ular naga yang bermahkota. Pada bagian leher melingkar kalung berukir. Di bagian ekor menempel sebuah gelang. Semuanya terbuat dari emas.

Kereta Nagapaksi yang merupakan tunggangan Pangeran Kornel pada masanya ini dilengkapi empat buah roda dengan tempat duduk di bagian atasnya. Di balik penampilannya yang unik itu, tersembunyi simbol-simbol yang melambangkan keagungan dan ketinggian derajat.

c. Makam Pasarean Gede

Makam Pangeran Kornel berada di Pasarean Gede atau dikenal juga dengan nama Gunung Ciung terletak di Kampung Pesarean. Letaknya di tengah kota, tepatnya sebelah Barat Jalan Pangeran Geusan Ulun yang merupakan jalan utama di kota Sumedang. Kompleks makam Pasarean Gede bisa dijangkau melalui dua akses yakni melalui Jalan Prabu Geusan Ulun dan Jalan Kutamaya.

Kompleks makam terletak di tengah pemukiman sekitar 300 m ke arah utara dari alun-alun Kota Sumedang. Kompleks makam menempati areal seluas sekitar 1 ha. Areal makam secara umum relatif datar, kecuali makam Ratu Pucuk Umun dan Pangeran Santri serta beberpa makam lainnya yang terletak di areal sekitar 3 m lebih tinggi dari areal lainnya.

3. Cut Nyak Dien

a. Rumah Patilasan

Siapa yang tidak kenal Cut Nyak Dien? Sosok perempuan pahlawan nasional asal Aceh yang pernah diasingkan ke Sumedang. Ketika diasingkan, sang srikandi Indonesia ditempatkan di sebuah rumah oleh bupati Sumedang kala itu, Pangeran Aria Soeria Atmadja di sebuah rumah panggung. Lokasinya berada di daerah kaum, belakang Masjid Agung Sumedang, Kelurahan Regol Wetan.

Rumah patilasan ini sekarang masih tegak berdiri setelah mengalami sejumlah renovasi menggunakan bahan sebagaimana asalnya. Bahkan tampak mencolok sebab hampir dipastikan hanya ada satu bangunan rumah panggung di daerah kaum yang masih berdindingkan bilik bambu. Saat ini rumah tersebut ditinggali oleh Juru Pelihara Rumah Cut Nyak Dien, Nenden Dewi Rosita bersama keluarganya.

b. Makam Gunung Puyuh

Cut Nyak Dien wafat tanggal 6 Nopember 1908 dan dimakamkan di Gunung Puyuh, Desa Sukajaya Kecamatan Sumedang Selatan, tidak jauh dari Alun-Alun Sumedang. Dari sebelum tahun 1950, masyarakat tidak ada yang mengetahui bahwa itu makam Pahlawan nasional. Baru pada tahun 1959 ketika Gubernur Aceh pada waktu itu, Ali Hasan melakukan pencarian berdasarkan data yang ditemukan di Belanda. Akhirnya ditemukan bahwa makam tersebut adalah makam Cut Nyak Dien.


Sumber: disparbud.jabarprov.go.id, disparbudpora.sumedang.go.id, goodnewsfromindonesia.id, nasionalisme.co, sumedangtandang.com

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

FG
AI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini