Jamasan Pusaka, dan Nilai-nilai Keris bagi Kehidupan Manusia

Jamasan Pusaka, dan Nilai-nilai Keris bagi Kehidupan Manusia
info gambar utama

Sebagai cara merawat serta menghargai peninggalan yang diturunkan oleh nenek moyang kepada para penerusnya, masyarakat Jawa umumnya melakukan tradisi Jamasan Pusaka.

Jamasan Pusaka ialah prosesi memandikan pusaka-pusaka keraton, yang biasa dilaksanakan setiap hari Selasa Kliwon pada bulan Sura (Muharram). Apabila pada bulan Sura tahun itu tidak ada hari Selasa Kliwon , maka pelaksanaannya dilakukan pada hari Jumat Kliwon. Hal ini dikarenakan, Selasa Kliwon ialah hari turunnya wahyu keraton. Sedangkan Jumat Kliwon ialah hari baik bagi umat Muslim. Anggapan ini sudah ada sejak Sultan Agung menciptakan kalender Jawa yang merupakan penggabungan kalender Saka dan kalender Islam.

Jamasan Pusaka merupakan suatu upacara yang dinilai sakral. Karena dalam persiapannya tidak hanya mempersiapkan fisik saja tetapi juga rohani. Jamasan Pusaka diambil dari bahasa Krama Inggil atau dalam segi kedudukan bahasa Jawa Krama Inggil menempati kedudukan yang tertinggi. ‘Jamas’ yang berarti cuci, membersihkan atau mandi. Sedangkan kata ‘Pusaka’ berarti benda-benda yang dikeramatkan sebagai peninggalan nenek moyang.

Dalam ritual Jamasan Pusaka benda-benda peninggalan salah satunya keris akan dicuci menggunakan warangan. Warangan ialah larutan kimia yang berasal dari perpaduan jeruk nipis dengan serbuk batu warang. Kandungan zat asam dalam bahan tersebut berfungsi untuk melarutkan kotoran-kotoran yang menempel pada permukaan bilah keris atau benda peninggalan lainnya hal ini juga berguna agar benda pusaka tersebut tidak cepat rusak dan berkarat.

Orang Jawa mempercayai bahwa memandikan keris tak hanya sekedar untuk mengawetkan atau mempercantik keris. Memandikan keris berarti melakukan ritual membersihkan diri. Orang yang memandikan keris merefleksi dirinya bahwa membuat keris tidaklah mudah. Dalam hal ini membutuhkan doa, spirit yang kuat, kesabaran, ketelitian dan pantang menyerah. Nilai-nilai inilah yang diilhami bagi orang yang memandikannya. Terlebih juga, peninggalan pusaka dari nenek moyang memiliki kekuatan magis yang akan mendatangkan perlindungan jika dirawat dengan baik dan apabila tidak dirawat, maka ‘kekuatan’yang dimiliki pusaka akan pudar atau hilang.

Keris pun juga memiliki filosofi kehidupan. Bagian-bagiannya seperti pesi (pegangan keris), gonjo, tikel alis, pijetan, dan greneng, menceritakan tentang kehidupan manusia. Diantaranya yaitu manusia perlu memiliki pegangan dalam hidupnya, manusia perlu mempertimbangkan segala perbuatan, manusia perlu adanya musyawarah bersama, manusia perlu memiliki jiwa yang bersih.

Jamasan Pusaka Peninggalan Kyai Landoh I @radarjogja.co

Di Jogjakarta dan Solo jamasan pusaka tidak mesti dilakukan secara tertutup, pihak keraton akan memberikan ruang bagi publik untuk melihat prosesi jamasan pusaka. Setelah dicuci, benda pusaka tidak serta merta disimpan ke dalam tempatnya seperti pemula. Tetapi akan dilanjutkan lagi dengan melakukan kirab dengan cara beriringan bersama warga setempat. Kirab menjadi simbol sugesti bahwa benda-benda pusaka yang dijamasi akan memberikan keberuntungan bagi rakyat disekitarnya.

Maka dari itu dapat ditarik kesimpulan bahwa, tradisi dan juga ritual jamasan pusaka memiliki nilai sosial sikap kekeluargaan yang tinggi, terlihat dari masyarakat yang berkumpul dan saling membantu mempersiapkan tradisi jamasan pusaka dengan sangat detail. Begitu juga nilai religius yang terpancar dari jamasan pusaka yaitu meminta perlindungan, keselamatan, kesejahteraan dalam kehidupan yang dialami.

*Diambil dari berbagai sumber

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

PM
AH
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini