Sejarah Kina dan Opsi Pengobatan Pasien Virus Corona

Sejarah Kina dan Opsi Pengobatan Pasien Virus Corona
info gambar utama

Nama Kina tiba-tiba mencuat lagi. Hal ini dikarenakan pemerintah dikabarkan telah memesan 3 juta unit chloroquine phosphate atau klorokuin sebagai bekal pengobatan bagi pasien corona. Mengapa Klorokuin dihubungkan dengan Kina?

Klorokuin awalnya adalah obat yang digunakan untuk mengatasi penyakit malaria sebagai antiplasmodium. Namun, dengan makin berkurangnya penyakit malaria dan munculnya resistensi plasmodium terhadap klorokuin, maka klorokuin tidak terlalu banyak lagi digunakan sebagai obat antimalaria.

Klorokuin juga banyak digunakan dalam terapi penyakit autoimun, seperti lupus, rheumatoid artritis, dan lainnya. Sebagai obat pada penyakit autoimun, klorokuin yang bersifat basa bekerja dengan cara menembus ke dalam sel dan terkonsentrasi di dalam rongga sitoplasma yang bersifat asam.

Pekerja menyortir kulit kina di perkebunan kina Tjinjiroean [Cinyiruan, sekarang bagian dari PPTK Gambung], Bandung selatan. Sumber: Wikimedia Commons/Troppenmuseum/Atribusi-BerbagiSerupa 3.0 Tanpa Adaptasi
info gambar

Obat ini juga disebut sebagai kandidat potensial untuk SARS-CoV-2. Di Tiongkok, pada pandemik ini, klorokuin telah digunakan dengan dosis 500 mg untuk dewasa, 2 kali sehari, lama terapi sekitar 10 hari. Klorokuin saat ini juga sedang dicoba di Malaysia dengan dosis yang sama.

Dalam makalah tiga halaman yang diterbitkan di Cell Researchdan Nature, para ilmuwan di Laboratorium Virologi Wuhan Institute of Virology menulis, chloroquine dan antivirus remdesivir, secara individual, “sangat efektif” menghambat replikasi coronavirus dalam kultur sel.

Meskipun makalah ini singkat, John Lednicky, seorang profesor di Emerging Pathogens Institute, University of Florida, mengatakan bahwa temuan ini menarik. “Sangat menarik karena meskipun tidak benar-benar memiliki banyak detail dalam makalah tersebut, namun, jika kita melihat data yang disajikan, setidaknya secara in vitro, sepertinya klorokuin dapat digunakan sebagai obat tahap awal untuk pasien Covid-19,” katanya. “Akan sangat baik jika jenis percobaan ini diulangi lebih banyak laboratorium untuk melihat apakah hasil yang sama terjadi di seluruh percobaan.”

Sementara itu, dikutip dari Liputan6.com, Guru Besar Farmasi Universitas Gadjah Mada [UGM] Zullies Ikawati menyebutkan, beberapa negara, termasuk di Tiongkok telah menggunakan Klorokuin sebagai obat untuk penanganan COVID-19. Ia menjelaskan, obat ini juga pernah digunakan ketika merebak virus SARS beberap tahun silam. Meskipun demikian, Zullies berpesan agar masyarakat tidak menggunakan Klorokuin sembarangan. Mengingat, obat ini merupakan obat keras yang penggunaannya mesti menggunakan resep dokter.

Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia [PDPI] Agus Dwi Susanto menambahkan, Klorokuin hanya cocok untuk penanganan pasien COVID-19 berat disertai komplikasi. “Protokol PDPI dalam bagian tatalaksana ada chloroquine posphate, tapi itu hanya untuk pneumonia COVID-19 berat dan komplikasi,” kata Agus seperti dikutip CNN Indonesia, Sabtu [21/3/2020]. Menurut Agus, penggunaan Klorokuin tidak bisa diterapkan pada kasus ringan. Bahkan, jika tidak hati-hati, akan mengganggu ginjal dan liver pengguna.

Juru bicara pemerintah untuk penanganan virus corona, Achmad Yurianto, juga menegaskan bahwa Klorokuin bukanlah obat untuk mencegah infeksi virus corona, sehingga masyarakat tidak perlu membeli dan menyimpan, seperti dikutip Kompas.com.

Klorokuin adalah bentuk sintetis dari kuinine, senyawa yang ditemukan di kulit pohon kina [Cinchona] yang merupakan pohon asli Amerika Latin di sepanjang pegunungan Andes, meliputi Venezuela, Colombia, Equador, Peru, hingga Bolivia.

Kulit kina banyak mengandung alkaloid-alkaloid yang penting yaitu kuinine untuk penyakit malaria dan kinidine untuk penyakit jantung. Manfaat lain dari kulit kina ini adalah untuk depuratif, influenza, disentri, diare, dan tonik.

Obat malaria

Dulunya, penduduk di kawasan pegunungan Andes menggunakan kulit pohon kina untuk mengobati malaria [yang dipercaya dibawa para pelaut Eropa ke seluruh dunia] dan penyakit demam lain. Di masa itu, saat para penjajah datang ke kawasan tersebut, proses kimiawi untuk ekstraksi kuinine dari kulit pohon kina belum dilakukan, dan teknologinya baru ditemukan berabad kemudian.

Para penjajah Eropa di Amerika Latin [terutama di negara-negara kawasan Andes] kemudian mengirim kulit pohon kina ke Eropa sekitar abad ke-17. Obat ini diharapkan menjadi penyembuh yang unggul untuk berbagai demam yang lazim di Eropa waktu itu, terutama mereka yang tinggal di rawa-rawa.

info gambar

Kulit pohon tersebut digiling halus menjadi bubuk dan kemudian dicampur dengan anggur untuk melawan rasa pahitnya. Masalah kemudian muncul saat dosis dan kesulitan mengklasifikasikan dengan tepat pohon mana yang menghasilkan kulit kayu yang benar. Akhirnya, menghambat penggunaannya sebagai obat secara luas.

Pada 1820, ilmuwan Prancis Pierre Pelletier dan Joseph Caventou menemukan proses mengekstraksi kuinine, yang kemudian meningkatkan potensi obat secara nyata. Penemuan itu bertepatan waktunya dengan makin merebaknya penyakit malaria, terutama di negara-negara tropis yang menjadi jajahan banyak bangsa Eropa. Banyak tentara kolonial Eropa, keluarganya, dan para pekerja terjangkit malaria di daerah-daerah tersebut.

Namun masalah muncul kembali, karena sekarang mereka membutuhkan suplai kulit kayu yang cukup untuk memasok kebutuhan obat malaria ke daerah-daerah koloninya. Maka dimulailah perlombaan mencari “harta karun” ini di antara kekuatan-kekuatan kolonial Eropa.

Bunga dan daun kina. Sumber: Wikimedia Commons/Coloured lithograph after M. A. Burnett, c. 1842/Iconographic Collections/ Creative Commons Atribusi 4.0 Internasional
info gambar

Ketika itu, negara-negara Amerika Latin mulai memerdekakan diri, dan mengendalikan pasokan kina. Setelah kemerdekaan mereka dari Spanyol awal abad ke-19 mereka mewarisi monopoli eksploitasi pohon kina.

Peru, Ekuador, Kolombia, dan Bolivia menjaga monopoli mereka atas pohon-pohon kina dengan memberlakukan pembatasan ekspor yang ketat pada benih dan tanaman, sambil mendapatkan keuntungan signifikan dari mengekspor kulit kayu. Prancis, Inggris, dan Belanda, membutuhkan kulit kayu dan ingin mematahkan monopoli Amerika Selatan. Jadi mereka mengirim beberapa ekspedisi untuk mendapatkan benih dan tanaman, seringkali dengan menyelundupkannya secara ilegal untuk dikembangbiakkan di perkebunan-perkebunan di tanah jajahan mereka.

Charles Ledger, seorang penjelajah dari Inggris, berhasil mendapatkan benih dari perbatasan Peru/Bolivia untuk spesies kina yang kulitnya mengandung hingga 10% kuinine. Pada 1865, benih ini dikirim ke London, namun Pemerintah Inggris kurang tertarik pada hasil ekspedisi ini. Benih-benih itu kemudian dijual ke Belanda yang membudidayakan dan meningkatkan spesies di koloni mereka di Jawa. Spesies ini disebut Cinchona ledgeriana untuk menghormati Charles Ledger, dan membangun fondasi dasar pasokan kina dunia.

Pohon Kina | https://herbaria.plants.ox.ac.uk/
info gambar

Belanda sendiri amat berkepentingan untuk segera memproduksi kina secara massal, karena merebaknya malaria di Batavia, yang membuat kota yang dulunya disebut sebagai kota ‘Eropa’ paling cantik di timur berjuluk “de koningin van het oosten” [Ratu dari Timur], menjadi kota yang dihindari banyak orang. Termasuk, para pedagang dan berbagai negara yang menjuluki “het graf van het oosten” [kuburan di negeri timur]. Begitu banyak korban tewas akibat wabah ini, dan tak juga ditemukan obatnya.

Belanda adalah negara kolonial pertama yang sukses membuat perkebunan dan memperdagangkan kina secara komersial. Mereka menciptakan perkebunan di sekitaran Bandung [Jawa Barat] yang akhirnya mendominasi produksi kina dunia. Adalah Justus Karl Hasskarl yang membawa bibit kina dari Peru ke Jawa pada 1854. Namun, karena kesehatannya memburuk, dia kembali ke Eropa untuk berobat akhir 1856.

Lalu muncul Friedrich Franz Wilhelm Junghuhn, seorang naturalis dan ahli botani kebangsaan Jerman yang bekerja untuk pemerintah kolonial Belanda, yang ditugasi memelihara pohon kina pada 1857. Junghuhn kemudian merubah prosedur penanaman percobaan yang diterapkan J.K. Hasskarl, pendahulunya, dengan memindah perkebunan kina ke daerah pegunungan yang lebih tinggi di Malabar dan menanam semaian-semaian di dalam keteduhan hutan. Kelak, spesies Cinchona ledgeriana yang memungkinkan terjadinya peningkatan penghasilan kuinine di Pulau Jawa secara signifikan.

Budidaya kina di Jawa

Budidaya tanama kina di Jawa tentu memiliki tantangan tersendiri. Sebagai tanaman bukan asli Nusantara, kina butuh perlakuan khusus, selain iklim yang cocok dengan negeri asalnya. Setelah dilakukan beberapa eksperimen, kina dapat tumbuh dengan baik di dataran tinggi Bandung, sehingga didirikanlah pabrik kina bernama “Bandoengsche Kinine Fabriek N.V” pada 28 Juli 1896. Lokasinya di batas barat Bandung, sebagai industri paling tua di Kota Kembang.

Pabrik hasil rancangan arsitek Gnelig Mijling A.W ini beroperasi mengolah kulit kina yang didatangkan dari pusat produksi di Pangalengan dan Lembang. Saat itu, Belanda betul-betul menikmati keuntungan besar perdagangan kina. Sehingga pada abad ke-20, Pulau Jawa menjadi terkenal karena menghasilkan lebih dari 90 persen produksi kina dunia.

Menjemur kulit pohon kina Jawa Barat di sekitar tahun 1850an | Wikimedia Commons (CC BY 4.0)
info gambar

Dominasi kina dari Jawa terjadi pada 1942, saat Jepang menginvasi Indonesia dan mengambil alih produksi kina di Bandung. Karena sekutu membutuhkan obat untuk pasukan mereka di daerah tropis, mereka pun mencari sumber-sumber kina dari kawasan lain. Amerika Serikat bahkan mengirim ekspedisi ke Andes. Kekurangan kina yang tiba-tiba ini memaksa para ilmuwan dunia untuk mempercepat penelitiannya membuat obat-obatan sintetis. Pada akhirnya, dunia menghasilkan obat-obatan yang akan menggantikan kina sebagai obat antimalaria, utamanya yang digunakan dunia hingga kini.

Setelah Jepang menyerah pada Sekutu 1945, pabrik kina diambil alih oleh perusahaan swasta bernama Bandoengsche Fabriek N.V. Dikutip dari Ayo Bandung, Setelah 10 tahun beroperasi, pabrik ini diserahkan ke Combinatie Voor Chemische Industrie. Pemerintah Indonesia melakukan nasionalisasi perusahan-perusahaan Belanda di Indonesia pada 1958, dan nama pabrik ini dirubah menjadi Perusahaan Negara Farmasi dan Alat Kesehatan Bhinneka Kina Farma. Pada tahun 1971, pabrik ini berubah nama lagi menjadi PT. Kimia Farma.

===

Remdesivir and chloroquine effectively inhibit the recently emerged novel coronavirus (2019-nCoV) in vitro. (2020, February 4). Retrieved from https://www.nature.com/articles/s41422-020-0282-0.pdf

Zhu, L. (2018, June 27). Products of the Empire: Cinchona: a short history. Retrieved from https://www.lib.cam.ac.uk/collections/departments/royal-commonwealth-society/projects-exhibitions/products-empire-cinchona

Goss, A. (2013, November 25). Building the world's supply of quinine: Dutch colonialism and the origins of a global pharmaceutical industry. Retrieved from https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0160932713000732

Lee, M.R. , ‘Plants against Malaria: Part 1: Cinchona or the Peruvian Bark’, Journal of the Royal college of Physicians of Edinbrugh

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

Terima kasih telah membaca sampai di sini