Buah Pala dari Banda dan Wabah Paling Mematikan di Dunia

Buah Pala dari Banda dan Wabah Paling Mematikan di Dunia
info gambar utama

Sepuluh pulau-pulau di gugusan kepulauan Banda memang jauh dari mana-mana. Pulau terdekatnya adalah Seram atau Ambon di utara yang bisa tempuh dengan kapal Pelni 14 jam perjalanan. Penduduknya tersebar di pulau-pulau vulkanis tersebut yang seolah mengambang di lautan Banda sedalam 7.000 meter. Angin barat dan timur bergantian menerjang pohon-pohon kelapa di tepi pantai, dan juga ratusan ribu pohon pala dan kenari di daerah yang lebih tinggi.

Inilah kepulauan Banda di Maluku. Jika bukan karena buah Pala, bisa jadi pulau ini takkan pernah terdengar namanya. Pala adalah jiwa, sejarah, dan ekonomi kepulauan Banda. Selama berabad lamanya, inilah satu-satunya tempat di dunia yang menghasilkan buah Pala, dan dikirim jauh sekali ke berbagai belahan dunia.
Dulunya, buah pala adalah rempah-rempah paling langka. Myristica fragans nama latinnya. Tanaman pala merupakan pohon hutan yang kecil, tinggi sekitar 18 m dan termasuk dalam family Myristicaceae yang mempunyai sekitar 200 spesies. Tanaman ini tumbuh baik di bawah keteduhan pohon tinggi lainnya.
Kulit kayunya berwarna abu-abu tua, tipis, dan apabila digores menghasilkan cairan merah yang ketika kering berwarna gelap sampai warna darah kering. Sementara daun pala berbentuk bulat telur, pangkal dan pucuknya meruncing. Warna bagian bawah daun hijau kebiru-biruan muda dan bagian atasnya hijau tua.

Buah Pala | Akhyari Hananto
info gambar

Sejarah pala begitu panjang dan mengesankan. Menjelang abad ke-6, rempah-rempah ini sudah mencapai Byzantium, 12 ribu kilometer jauhnya dari Banda. Pada tahun 1000 M, seorang dokter dari Persia, Ibnu Sina menulis tentang "jansi ban", atau "kacang dari Banda" . Para pedagang Arab sudah begitu lama memperdagangkannya dan mengirimnya ke Venesia untuk kemudian dikirim dan dihidangkan di meja-meja para bangsawan Eropa. Harganya fantastis. Dalam sebuah tayangan BBC yang dibawakan oleh Kate Humble, di masa itu, sekarung buah pala dapat membeli sebuah rumah di London, Inggris. Dalam daftar harga pasar di Jerman, ditulis bahwa 1 pon (kira-kira 1/2 kg buah pala) seharga dengan “Seven Fat Oxen” atau Tujuh Sapi Jantan Dewasa yang Gemuk. Inilah komoditas yang lebih berharga dibanding emas.

Buah Pala di tangkai pohon | Themaulana.com
info gambar

Pertanyaan yang selalu menggelitik adalah, mengapa buah pala begitu mahal?
Tentu saja ini adalah komoditas yang ‘mahal’ mendapatkannya dari sumbernya, sehingga ketika dijual mahal sekali. Namun, pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa begitu banyak orang yang tetap mencari dan memburunya meski harganya selangit?

Di masa awal, sebelum kedatangan para penjajah Eropa, para pedagang dari Arab menjual pala terutama ke Eropa sebagai bahan wewangian, aphrodisiac, dan obat-obatan. Selain itu, pala dianggap mampu menghindarkan dari kematian.

Di pertengahan abad ke-14, Eropa diserang wabah penyakit misterius yang sangat mematikan, yang dalam waktu singkat membunuh sekitar 60% penduduknya (para pakar sejarah menyebut angka 75 juta hingga 200 juta orang). Peristiwa ini kemudian dikenal sebagai "Black Death" atau Maut Hitam. Istilah Maut Hitam sendiri diyakini berasal dari gejala khas dari penyakit ini, yang disebut Acral necrosis, di mana kulit penderita menjadi menghitam karena pendarahan subdermal. Sebagian besar ilmuwan meyakini bahwa Maut Hitam adalah suatu serangan wabah bubonik yang disebabkan bakteri Yersinia pestis dan disebarkan oleh kutu Xenopsylla cheopis yang biasa ada di tikus rumahan.

Bubuk Pala | Foodal.com
info gambar

Di masa Maut Hitam ini, banyak orang meyakini bahwa buah pala dapat menyelamatkan mereka dari wabah mematikan ini. Para pendeta, para keluarga kaya menggantungkan bubuk pala di lehernya. Mereka percaya. kutu yang membawa baktera Yersinia pestis ini tidak menyukai aroma keras buah (atau bubuk) pala ini, dan membuat mereka terhindar dari gigitannya. Kepercayaan inilah yang membuat pala diburu banyak orang, dan menjadikannya sangat mahal, bahkan ketika dijual dengan markup 6000% pun, masih habis dibeli.

Tapi, benarkah bubuk pala bisa menghindarkan orang-orang Eropa waktu itu dari wabah Maut Hitam?

Bisa jadi. Menurut buku How Flavor Works (2015:132) , kemungkinan molekul Isoeugenol dalam pala mampu menjauhkan kutu-kutu penyebab wabah mematikan tersebut. Pala juga mengandung bahan kimia insektisida seperti myristicin dan elemicin. Banyak cerita-cerita yang dari masa itu yang menyatakan bahwa pala memang efektif ‘menyelamatkan’ nyawa orang-orang yang menggunakannya.

Meski begitu. efektivitas pala untuk menahan penyebaran wabah Maut Hitam memang belum dibuktikan lewat sains. Bubuk pala yang digantungkan di leher, mungkin memang menghalangi kutu untuk mendekat, tetapi melakukan kontak dengan orang yang sudah terinfeksi akan membawa risiko yang sama dengan atau tanpa kantung pala. Menurut buku Meyler's side effects of herbal medicines , penggunaan bubuk pala seperti itu mungkin efektif untuk mencegah infeksi melalui tetesan.

Wabah Maut Hitam terakhir di London | Wikimedia Commons
info gambar

Nathaniel Hodges, seorang dokter di Inggris yang hidup pada 1629–1688 (tiga abad setelah Maut Hitam), pengarang buku terkenal Loimologia, or, an historical Account of the Plague in London in 1665, With precautionary Directions against the like Contagion (1672) menulis bahwa di satu sisi, dia percaya pada pengobatan-pengobatan modern, namun di sisi lain, dia juga tak bisa meninggalkan begitu saja kepercayaan-kepercayaan masa lalu terkait pengobatan. Salah satunya adalah tentang khasiat pala ini. Dan dia kemudian mencobanya. "Saya pikir tidak salah untuk menggunakan cara-cara orang di masa lalu saat saya memeriksa orang-orang yang sakit.

Bangun pagi-pagi sekali, Hodges meletakkan pala di mulutnya sebagai tindakan pencegahan, dan dalam waktu dua atau tiga jam ke depan, dia memeriksa semua pasien yang berkerumun di ruang tunggu rumah prakteknya. Dia juga menempatkan rempah tersebut di pintu masuk, dekat jendela, di kolong tempat tidur, dan beberapa sudut ruangannya. Tujuannya hanya satu, mencegak penularan infeksi dari wabah yang sama yang kembali menyerang Londong di masa itu. Entah karena Pala atau sebab lain, Hodges memang selamat.

Sekali lagi, kepercayaan tersebut sayangnya belum teruji secara sains, sehingga tidak diketahui efektifitas pala menangkal wabah Maut Hitam. Meski begitu, perlu digarisbawahi bahwa pala memang memiliki aroma yang begitu kuat.

Pala mengandung sejumlah senyawa, di antaranya banyak jenis minyak esensial seperti terpene safrole dan lain-lain. Mereka semua menunjukkan efek tertentu dalam menghalangi hewan-hewan atau serangga mendekat, sampai batas tertentu. Mereka juga secara in vitro, ini antimikroba yang cukup efektif efektif melawan kutu-kutu dari Yersinia pestis.

Namun begitu, perlu diingat bahwa dalam catatan sejarah, Maut Hitam membunuh begitu banyak orang. Bisa jadi, pala memang tak begitu ‘berguna’ melawan wabah ini, ataupun mungkin, tak banyak orang yang mampu mendapatkan/membeli pala, sehingga yang selamat pun tak banyak. Dari berbagai sumber yang kami, semua sependapat bahwa hanya dengan menggantungkan sekantung kecil pala di leher, takkan dapat menyelamatkan seseorang dari amukan Maut Hitam.

Jadi?

==

Choi, Nak-Eon, and Jung H. Han. How Flavor Works: The Science of Taste and Aroma. John Wiley & Sons, 2015.

Browne, Joseph. A Practical Treatise of the Plague, and All Pestilential Infections that Have Happen'd in this Island for the Last Century.... With a Prefatory Epistle Address'd to Dr. Mead,... By Joseph Browne, LLMD. Vol. 5. J. Wilcox; and sold, 1720.

Aronson, Jeffrey K., ed. Meyler's side effects of herbal medicines. Elsevier, 2009.

Samid, Samid. (1968, September 01). Did nutmeg really prevent infections during the Bubonic Plague? Retrieved April 06, 2020, from https://history.stackexchange.com/questions/49362/did-nutmeg-really-prevent-infections-during-the-bubonic-plague?rq=1

Copper engraving of Doctor Schnabel (i.e., Dr. Beak), a plague doctor in seventeenth-century Rome, circa 1656

Hodges, Nathaniel. Loimologia, or, An historical account of the plague in London in 1665: with precautionary directions against the like contagion. E. Bell, 1720.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

Terima kasih telah membaca sampai di sini