Menghayati Kembali Istilah Ngabuburit

Menghayati Kembali Istilah Ngabuburit
info gambar utama

Bulan Ramadan, bulan spesial di mana ada berbagai kegiatan yang tidak ditemukan di bulan-bulan lain. Ada berbagai kegiatan yang biasanya dilakukan di bulan suci bagi umat Islam itu, salah satunya ngabuburit.

Ya, ngabuburit. Mungkin kawan GNFI sudah familiar dengan istilah tersebut. Ngabuburit istilah yang biasa pakai ketika kita menunggu azan magrib penanda waktu berbuka puasa. Lantas, apa arti dari istilah tersebut?

“Ngabuburit atau mengabuburit, memiliki arti menunggu azan magrib menjelang berbuka puasa pada waktu bulan Ramadan. Kata dasar ngabuburit sendiri ialah burit yang berarti sore hari,” begitulah kata Wikipediawan pencinta bahasa Indonesia, Ivan Lanin, saat dihubungi GNFI pada Sabtu (18/4).

Menurut Kamus Bahasa Sunda yang diterbitkan oleh Lembaga Bahasa dan Sastra Sunda (LBSS), ngabuburit adalah lakuran (penggabungan dua kata menjadi satu) dalam bahasa Sunda dari ngalantung ngadagoan burit, yang artinya bersantai-santai sambil menunggu waktu sore. Hal ini dibenarkan oleh dosen Bahasa Indonesia Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Indonesia, Totok Suhardijanto.

''Kata ngabuburit, dari katanya saja, sudah bisa ditelusuri bahwa itu berasal dari kosakata bahasa Sunda "burit" yang artinya 'sore'. Artinya adalah 'menghabiskan waktu menunggu sore (dalam hal ini azan magrib)'. Bentukan seperti ngabuburit juga dijumpai dalam kosakata lain dalam bahasa Sunda, misalnya ngabeubeurang. Yang artinya kurang lebih sama, 'mengisi/menghabiskan waktu menunggu matahari tinggi.' Biasanya juga digunakan pada waktu bulan puasa,'' jelas Totok pada GNFI.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, kata dasarnya ialah burit yang berarti sore hari. Waktu ini biasanya antara usai salat asar hingga sebelum matahari terbenam. Akan tetapi, menurut sumber lainnya, ngabuburit berasal dari kata burit saja (bukan merupakan lakuran) yang mendapatkan imbuhan dan pengulangan suku kata pertama. Beberapa contoh kata bahasa Sunda lainnya yang memiliki unsur morfologis serupa, yakni ngabeubeurang (menunggu siang hari), ngabebetah (nyaman) dan ngadeudeket (dekat).

Istilah ngabuburit yang berasal dari bahasa Sunda itu menyebar dan populer ke daerah lainnya di Indonesia sebelum tahun 1990-an. ''Dalam konteks nasional, artinya di luar masyarakat Sunda, saya kira, sampai tahun 1980-an, saya belum pernah mendengar kata ngabuburit. Jadi, artinya kata itu menasional sekitar 1970-an atau 1980-an. Namun, tentu saja, istilah tersebut sudah lebih lama digunakan di dalam masyarakat Sunda,'' terang Totok lagi.

Istilah ngabuburit diperkirakan hanya ada di Indonesia saja. Meskipun begitu, di beberapa daerah mempunyai istilah ngabuburit-nya sendiri, salah satunya di tanah Minang.

''Jika istilahnya (hanya ada di Indonesia), saya kira iya. Namun, konsep atau fenomena menunggu maghrib pada waktu puasa dengan melakukan satu pekerjaan kemungkinan juga dikenal di tempat lain. Namun, ketika itu dileksikalkan atau direkam dalam bentuk istilah atau kata, mungkin itu ada di dalam beberapa bahasa di nusantara. Misalnya, di Minangkabau juga ada istilah malengah puaso yang kira-kira bermakna sama dengan ngabuburit," pungkas Totok.

Kegiatan ngabuburit yang pernah kita lakukan mungkin bermacam-macam, baik bersama-sama atau sendiri. Mereka yang ngabuburit sendirian dengan sederhana biasanya menyibukkan diri dengan mencari takjil, mendaras dan menandaskan kitab suci Al-quran, berolahraga, dan masih banyak lagi. Selain sendiri tentu ngabuburit paling asyik beramai-ramai, terlebih lagi jika bisa mengunjungi acara atau kegiatan yang bermanfaat bagi orang banyak, seperti uraian di bawah ini misalnya:

Ngabuburit di Festival Tukar Takir

Kegiatan ngabuburit sepertinya disadari betul manfaatnya bagi masyarakat di Indonesia. Hal itu bisa dilihat adanya berbagai kegiatan tradisi dan budaya di berbagai daerah yang diperkenalkan pada jam-jam ngabuburit. Inisiator kegiatan pada jam-jam ngabuburit datang dari pemerintah atau tokoh masyarakat setempat dengan tujuan mengajak khalayak menunggu azan magrib dengan hal yang lebih positif. Dengan adanya kegiatan tersebut ngabuburit pun menjadi lebih meriah dan bermakna.

Contoh ngabuburit dengan nuansa kemeriahan itu salah satunya dilakukan oleh warga Brebes Selatan, di Desa Taraban, Kecamatan Paguyangan, Kabupaten Brebes. Sebuah festival tradisi dengan nama Tukar Takir rutin diadakan dalam dua tahun terakhir tepat di bawah flyover Kretek Paguyangan.

Festival Tukar Takir biasanya dihelat sepekan sebelum bulan Ramadan dan sepekan sebelum hari raya Idul Fitri. Nilai filosofi yang diambil dari festival ini diambil dari takir, sajian takjil bukaan puasa berupa nasi yang biasanya disiram sayur urap dengan lauk ikan teri dan telur rebus yang kemudian ditempatkan di wadah daun pisang yang dibuat bertingkat.

Sebuah festival bernama Tukar Takir diadakan di Brebes pada 2018.
info gambar

Takir mempunyai arti sederhana, yaitu “tidak kikir”. Makna tradisi Tukar Takir pun lebih dalam yakni arif terhadap lingkungan, dan peduli pada sesama dengan menjunjung tinggi kesederhanaan. Bungkus takir yang terbuat dari daun pisang merupakan wujud kecintaan pada lingkungan. Karena setelah hidangan disantap bungkus takir yang ramah lingkungan bisa terurai di tanah. Dalam prosesnya, masyarakat yang terlibat Tukar Takir akan membawa nasi takir untuk dibagikan kepada tetangga sambil saling bermaafan.

Pada 2018, Ketua Pelaksana Festival Tukar Takir, Budi Junianto, menjelaskan bahwa tradisi ini sebenarnya sudah lama ada di masyarakat sejumlah desa di Brebes. Namun, seiring perkembangan zaman, tradisi tersebut mulai terkikis dan hilang. “Acaran ini merupakan bagian dari upaya kami (Dewan Kesenian) menghadirkan kembali tradisi tersebut,” terang Budi dicukil dari Suara Merdeka.

“Nilai dalam peristiwa pertukaran takir ini memiliki makna simbolik untuk bisa memupuk rasa kebersamaan. Jadi dalam Tukar Takir ini warga bisa saling silahturahmi, merasakan kondisi satu dengan yang lainnya sehingga terjalin solidaritas sosial yang kuat dalam masyarakat,” jelasnya lagi.

Festival Tukar Takir mengusung tema yang berbeda-beda dalam dua gelaran terakhir. Pada 2018, tema yang diusung ialah “Ramadan Berbudaya, Guyub Bermasyarakat”, sedangkan pada tahun berikutnya “Indonesia Berpancasila” karena digelar bertepatan dengan hari lahir Pancasila.

Menyusuri Sungai Kapuas Sambil Berliterasi

Ngabuburit diisi kegiatan positif juga bisa ditemukan di kota Pontianak, Kalimantan. Pada 2019 lalu sejumlah pegiat literasi yang tergabung dalam berbagai komunitas menggelar kegiatan “Ngabuburit Literasi” untuk mengisi waktu luang di bulan Ramadan.

Kegiatan berliterasi menjadi sangat spesial karena dibarengi dengan rekreasi menggunakan kapal wisata dengan menyusuri Sungai Kapuas. Para penyelenggara kegiatan ini berharap kegiatan bisa terus digalakkan untuk mengampanyekan budaya membaca bagi masyarakat di kota Pontianak.

“Mudah-mudahan kita dapat menggelar silaturahim sastra dan budaya. Yakni para penulis, sastrawan atau pegiat literasi yang muda akan mengunjungi, ‘berlebaran’ ke penulis yang lebih tua,” kata Ahmad Sofian dilansir dari Kompas.

Bersih-bersih Sungai di Banyuwangi

Jembatan Wiroguno yang terletak di antara Kecamatan Gambiran dan Kecamatan Tegalsari, Kabupaten Banyuwangi, seringkali dijadikan tempat pembuangan sampah oleh warga sekitar. Melihat itu sejumlah pemuda Desa Tegalsari tergerak untuk membersihkan sampah yang ada di tempat itu saat jam-jam ngabuburit pada 2019 lalu.

Inisiator kegiatan bersih-bersih itu ialah Krisna Gusenda, warga Desa Tegalsari yang sudah jengah melihat banyaknya sampah di area Jembatan Wiroguno. Sebelum melancarkan aksinya, Krisna melakukan survei terlebih dahulu di jembatan yang memiliki tinggi 8 meter itu. Tak sembarangan survei, guru olahraga di Madrasah Aliyah Mamba’ul Huda Tegalsari itu menggunakan perangkat rappelling untuk turun dari atas jembatan.

Saat memantau lokasi, Krisna yang awalnya mengetahui hanya ada sampah di Daerah Aliran Sungai Kalisetail dikagetkan banyaknya sampah yang tersangkut di besi jembatan. “Kurang lebih kalau tertumpuk itu sekitar 30 sentimeter. Padahal setahun lalu sempat rappelling-an di sana tapi masih bersih,” kata Krisna dikutip GNFI dari Jatimplus.id.

Wisata Sejarah di Museum Kota Moscow

Di Rusia, menunggu waktu berbuka sangatlah lama. Bagaimana tidak? Umat muslim harus berpuasa pada pukul 02.00 pagi sampai waktu berbuka pada pukul 21.000 malam. Hampir 19 jam lamanya mereka harus berpuasa!

Istilah ngabuburit jelas tidak dipakai di Negeri Tirai Besi tersebut. Namun, kegiatan menunggu waktu berbuka puasa tetap dijalankan mereka yang berpuasa.

Pada 2019 misalnya, mahasiswa muslim di Skolkovo Institute of Science and Technology (Skoltech), Moskow, Rusia, berkumpul bersama sebelum azan magrib berkumandang. Tak sekadar berkumpul, mereka sudah menyiapkan menu takjil untuk disantap.

Perhimpunan Pelajar Indonesia (Permira) juga mengadakan ngabuburit bersama. Pada tahun tersebut mereka mempunyai agenda berkunjung ke The Pushkin State Museum of Fine Arts. Merupakan museum dengan koleksi benda seni dan bersejarah, Pushkin State Museum of Fine Arts – yang namanya diambil dari penyair termahsyur Rusia, Alexander Pushkin – adalah salah satu museum yang terbesar di Eropa yang dibangun sejak 1898.

Sama seperti di Indonesia, beberapa masjid juga diramaikan para pemburu takjil gratis. Masjid Memorialnaya di Poklonnaya Gora (Bukit Poklonnaya) menjadi salah satu masjid yang diserbu. Pada tahun lalu, dalam sebuah kesempatan, masjid tersebut menyediakan sajian kuliner ala Asia yakni nasi goreng. Setiap harinya pada bulan Ramadan, Masjid Memorialnaya bisa menyediakan takjil 500 hingga 1.000 orang setiap akhir pekannya.

Referensi: Panturanews.com | Panturapost.com | Suaramerdeka.com | Kompas.com | Detik.com | Jatimplus.id

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Dimas Wahyu Indrajaya lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Dimas Wahyu Indrajaya.

Terima kasih telah membaca sampai di sini