Meniru Suara Bung Karno dan Mengenang RRI Surabaya dalam Perjuangan

Meniru Suara Bung Karno dan Mengenang RRI Surabaya dalam Perjuangan
info gambar utama

Tahun-tahun 1950an itu Ibu saya memiliki radio tua yang kerangkanya dibuat dari ebonite (plastik belum populer), dan para tetangga saya juga memiliki radio seperti itu. Radio itu dipakai warga untuk mendengarkan berbagai berita negara, pengajian maupun acara-acara hiburan seperti drama, kesenian dan musik. Itu semua melalui Radio Republik Indonesia atau RRI.

Warga juga sebagian besar menikmati hiburan dari RRI ini, misalkan ludruk – saking seringnya warga (termasuk saya) mendengar penampilan ludruk Surabaya ini sampai hafal nama-nama pemain ludruk legendaris antara lain Cak Markuat, Neng Umi dsb. Untuk musik, bagi warga yang tidak punya alat pemutar piringan hitam (kaset apalagi DVD belum ada waktu itu), maka tentu RRI sebagai media andalan agar bisa menikmati suara merdu Titik Puspa, Bing Slamet, Koes Plus, Tuti Subardjo, Erni Johan dll.

Radio Republik Indonesia atau RRI adalah lembaga penyiaran resmi milik negara, dan RRI ini adalah satu-satunya saluran siaran radio, karena pada saat itu tidak ada saluran radio yang dimiliki swasta. Warga sebenarnya selain mendengarkan siaran RRI, juga bisa memilih channel siaran luar negeri seperti BBC dari Inggris dan ABC dari Australia. Namun seingat saya pada tahun-tahun 1960 an ketika hubungan Indonesia dengan negara-negara barat utamanya Amerika Serikat, Inggris dan Australia lagi tegang mengingat presiden Sukarno sangat anti pada negara-negara yang tergolong imperalisme, kolonialisme itu – ada peraturan larangan dari pemerintah bagi warga agar tidak mendengarkan siaran radio dari negara-negara tersebut. Warga tentu takut untuk melanggar aturan tersebut, sebab takut dituduh antek asing, atau anti revolusi dan bisa-bisa ditangkap aparat keamanan negara.

Waktu saya kecil, orang-orang tua di kampung saya menjelaskan bahwa di Surabaya RRI itu awal-awalnya – pada jaman Belanda studionya di daerah jalan Embong Malang (sekarang menjadi hotel bintang lima) namanya NIROM atau Nederlandsch Indische Radio Omroep Masstchapyj dan kemudian pindah ke Jalan Pemuda (sampai sekarang).

RRI Surabaya sangat berperan dalam memobilisasi rakyat untuk melawan pasukan sekutu pada pertempuran Surabaya. Waktu itu Bung Tomo dengan suara takbir berkali-kali menggelorakan perlawanan rakyat Surabaya yang tidak sudi menyerah pada pasukan sekutu. Kalau dalam masa modern ini, rakyat bergerak menumbangkan pemerintahannya yang korup lewat sosial media di handphone seperti yang terjadi pada pergolakan Arab Spring di Tunisia dan Mesir, maka RRI itu juga berhasil menyatukan berbagai latar belakang suku dan agama rakyat Indonesia untuk lebih baik mati daripada dijajah bangsa asing.

Lewat RRI Surabaya-lah, kakak sepupu saya namanya Cak Abas–ketua Ansor NU ranting Kapasari yang rumahnya pas disebelah rumah saya selalu berlatih pidato meniru gaya pidato Bung Karno. Maklum rakyat Indonesia termasuk di kampung saya, selalu mendengar dan menyimak pidato Bung Karno yang menggelegar itu. Pada awal pidato, suara Bung Karno pelan namun berwibawa misalnya ketika menyebut “Saudara-saudara sebangsa dan setanah air”, kemudian suaranya keras meninggi ketika menyebutkan potensi bangsa atau ketika melawan asing. Gaya nada suara Bung Karno yang rendah – meninggi – rendah lagi dst membuat rakyat terpana mendengarnya, tak terkecuali kakak sepupu saya itu. Saya intip dari celah kayu dinding rumah saya, terlihat Cak Abas hanya mengenakan sarung dan singlet didepan cermin berpidato meniru gaya pidato Bung Karno dengan suara tinggi ”Saudara-Saudara !!!”, dan itu dilakukan karena dia sering mendengarkan suara Bung Karno di RRI Surabaya.

Biasanya orang itu shock atau terkejut ketika terjadi perubahan yang mendadak, misalkan pergantian pemimpin negara, perusahaan atau perubahan politik atau perubahan peraturan dsb, karena kita sudah lama terbiasa dengan sesuatu yang sudah berjalan. Hal itu juga terjadi pada perubahan siaran radio yang sebelumnya RRI menjadi satu-satunya media elektronik, lalu setelah peristiwa G-30 S PKI tahun 1965, terjadi perubahan sistim pemerintahan Orde Lama ke Orde Baru dimana ijin untuk membuka usaha siaran radio dibuka lebar, akibatnya muncul lusinan studio penyiaran swasta yang lebih bebas dalam mengatur program siarannya, termasuk menyiarkan musik-musik barat. Warga kaget belum terbiasa ketika mendengar musik barat di radio yang dikelola swasta, apalagi beberapa penyiar radionya menggunakan bahasa yang lebih bebas, diluar pakem bahasa resmi yang digunakan RRI; dan sejak itu RRI pernah tenggelam ditelan jaman.

Oleh: Ahmad Cholis Hamzah

Penulis senior GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Ahmad Cholis Hamzah lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Ahmad Cholis Hamzah.

Terima kasih telah membaca sampai di sini