Sisi Positif 'New Normal' dengan Kosmologi Tri Hita Karana

Sisi Positif 'New Normal' dengan Kosmologi Tri Hita Karana
info gambar utama

Ternyata banyak terminologi baru di masa pandemi Covid-19 ini. Mulai dari lockdown, kemudian orang dan pasien dalam pengawasan, social distancing, hingga pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang membuat banyak pegawai dan siswa melakukan kegiatannya di rumah. Adapula yang paling baru dan membuat kontroversi, yakni konsep New Normal.

New Normal atau menurut Presiden Republik Indonesia adalah hidup berdamai dengan Covid-19 yang merupakan perubahan perilaku untuk tetap menjalankan aktivitas normal. Namun, perubahan ini ditambah dengan menerapkan protokol kesehatan guna mencegah penyebaran Covid-19.

New Normal ini ditandai dengan pembatasan jumlah kerumunan, batasan jarak, keharusan memakai masker di mana pun, sampai melakukan skrining suhu badan di ruang publik. Siapa pun yang sakit batuk atau flu dilarang masuk ke ruang publik.

Di transportasi umum juga, diatur jumlah penumpang per kendaraan. Hal demikian akan terus diberlakukan hingga vaksin dari Covid-19 benar-benar ditemukan dan dimasalkan.

Kosmologi Tri Hita Karana

Tri Hita Karana | Foto: Hindumy
info gambar

Kosmologi Tri Hita Karana adalah sebuah perspektif yang berawal dari umat beragama Hindu yang ingin semakin teguh melakukan darma baktinya. Konsep ini terbentuk dari tiga kata, Tri yang berarti tiga, Hita yang memiliki makna kebahagiaan atau sejahtera, Karana yang artinya sebab atau penyebab. Bila dikatikan satu dengan yang lain adalah tiga penyebab kebahagiaan.

Tiga penyebab kebahagiaan tersebut bisa mengarah kehidupan manusia yang harus memperhatikan unsur-unsur lainnya di dunia ini seperti manusia dengan Tuhan (Parhyangan), manusia dengan alam lingkungan (Palemahan) dan manusia juga dengan manusia sendiri (Pawongan). Konsep sekuler dari kosmologi ini bisa ditemui dalam ilmu Sosiologi, yakni hidup manusia secara seimbang dengan vertikal dan horizontalnya.

Korelasi dari adanya konsep New Normal yang digaungkan oleh pemerintah dengan kosmologi Tri Hita Karana bisa dilihat dari pola hidup manusia yang harus berdamai bahkan lebih berdamai lagi dengan Tuhan, lingkungan ciptaan-Nya dan manusia sekitar.

Pertama adalah lebih mantap hidup dengan Tuhan di dalam New Normal. Mungkin, sekarang manusia akan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, seperti kerja, belajar, beribadah atau berinteraksi sosial lainnya.

Tidak ada alasan mengatakan kehabisan waktu untuk beribadah kepada Tuhan sedangkan waktu kita di jalan telah tergantikan di rumah. Di samping itu, lebih rendah hati kepada Tuhan ketika kita sadar bahwa kita adalah manusia biasa yang meskipun kaya raya, tinggi jabatannya pun juga rentan terkena Covid-19.

Kedua, yakni lebih mantap dengan alam lingkungan. Ketika manusia dengan bangganya membuat peradaban yang mengarah ke antroposentris (supremasi manusia sebagai penguasa tunggal alam), peradaban yang mengesampingkan lingkungan.

Hasil dari ego manusia ini bisa kita lihat dari keadaan bumi yang bukan lagi climate change melainkan climate crisis yang telah dideklarasikan oleh 11.000 ilmuwan dunia pada penghujung tahun 2019.

WHO melalui Kompas.com mengatakan jika pola transmisi penyakit menular sangat dipengaruhi perubahan iklim. Contohnya, penyebaran penyakit yang ditularkan melalui vektor, yang secara bersama-sama dipengaruhi oleh kondisi iklim, pembukaan hutan dan pola penggunaan lahan, hilangnya keanekaragaman hayati, dan sebagainya.

Maka dari itu, konsep New Normal setidaknya bisa menstimulus manusia untuk mengkaji pola hidup yang terlalu mengesampingkan alam. Semakin memantapkan arah ekosentris yang merupakan lawan dari antroposentris yakni hidup secara berdampingan dengan alam. Seperti halnya dimulai dari pengurangan polusi asap kendaraan bermotor, mengevaluasi deforestasi dan perdagangan satwa liar, serta pariwisata komersil yang sering mengancam alam sekitarnya.

Ketiga, ialah lebih memantapkan hidup berdampingan dengan manusia lain. Ketika pandemi ini belum muncul, manusia di Indonesia pada umumnya acuh dengan kesehatan manusia lainnya. Merokok di ruang publik, membuang ludah di sembarang tempat, jika sakit batuk atau flu terbiasa bersin tanpa menutup mulut bahkan tidak menggunakan masker, tidak higienis dalam menyajikan makanan bagi pelanggan, dan sebagainya.

Salah satu dampak positif dari New Normal ini mungkin adanya penguatan dari segi protokol kesehatan. Manusia diajak secara paksa oleh pemerintah bukan hanya peduli terhadap kesehatan pribadi namun juga manusia lainnya. Implementasi yang bisa kita lihat sekarang antara lain tidak keluar jika terkena flu atau batuk, menggunakan masker, lebih higienis dalam penyajian makanan dengan menggunakan hand sanitizer, diimbau untuk tidak meludah sembarangan, dan sebagainya.

Damai di Hati & Optimal di Akal Budi

Kendati New Normal ini masih berupa konsep dan banyak menimbulkan kontroversi. Bukan pasrah menghadapi tapi berdamailah secara hati. Berdamai yang lebih mengarah ke mempertahankan eksistensi hidup, namun tidak bertindak secara egois. Kembali ke kosmologi Tri Hita Karana di atas lebih tepatnya.

Meskipun berdamai, kita sebagai manusia harus tetap mengoptimalkan akal budi kita. Jadi ingat pernyataan dalam buku Yuva Noah Harari (2011) jika manusia sapiens bisa mengalahkan Neandertal karena memiliki kemampuan akal budi yang baik untuk bisa survive atau bertahan.

Sedikit sarkas mungkin bahwa kita hidup layaknya seorang gladiator di arena tempur Coloseum, yang unggul menang dan yang lemah tentu saja kalah. Terserah boleh setuju atau tidak.

Mengoptimalkan akal budi yang dimaksud lebih mengarah ke kita harus taat pada protokol yang berlaku apabila New Normal ini diterapkan. Lebih matang menggunakan rational choice dalam setiap tindakan kita khususnya yang berhubungan dengan kesehatan. Ingat, ya, ini bukan pasrah dalam menghadapi Covid-19.

Maksud rational choice di atas ialah kalau ada jalan alternatif yang jauh lebih aman dalam melakukan sesuatu lantas mengapa harus menempuh jalan yang beresiko. Contohnya ketika bisa melakukan video call dengan saudara untuk bertegur sapa, lantas mengapa harus berkunjung kerumahnya?

Kemudian, jika dapat membeli baju secara daring tentu mengapa harus pergi ke mall secara beramai-ramai. Meskipun mall nantinya akan dibuka, tapi pemerintah sadar pembatasan fisik atau kerumunan akan tetap ada.

Menutup opini ini, sebenarnya jika sadar bahwasannya kita ini manusia biasa milik Tuhan, hidup dengan alam yang sangat amat luas, dan hand in hand dengan sesama manusia pasti kita bisa bertahan (survive) dalam konsep New Normal sejauh vaksin masih dikembangkan. Atau bukan saja bisa survive tapi hidup dalam bahagia dan sejahtera.*

Sumber: Harari, Noah Yuval. 2011. “Sapiens Riwayat Singkat Umat Manusia.” Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia | Kompas

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini