Mitos Dua Desa Yang Tak Bisa Bersatu di Ponorogo

Mitos Dua Desa Yang Tak Bisa Bersatu di Ponorogo
info gambar utama

Siapa tidak mengenal kota sekaligus provinsi yang menjadi salah satu pusat kebudayaan asli Indonesia, serta memiliki beragam keindahan yang menarik di dalamnya? Ya, Ponorogo. Daerah yang terletak di Provinsi Jawa Timur ini dikenal dengan kesenian tari berupa Reog Ponorogo oleh masyarakat Indonesia, bahkan para wisatawan mancanegara.

Namun, apakah Kawan GNFI tahu bahwa Ponorogo juga memiliki mitos dan kepercayaan yang masih sangat kental? Mitos tersebut adalah tentang desa yang tak pernah bisa bersatu.

Kalau William Shakespeare memiliki cerita kisah cinta sejati Romeo dan Juliet. Maka Ponorogo, Jawa Timur juga memiliki hal yang sama. Tepatnya di desa Golan dan desa Mirah.

Mitos Penduduk Dua Desa di Ponorogo | Foto: boombastis.com
info gambar

Konon, dahulu kala ada sepasang kekasih yang saling mencintai dan ingin segera menikah, yaitu Joko Lancur dan Mirah Putri Ayu. Keduanya berasal dari desa yang saling berbatasan. Joko Lancur ialah putra dari Ki Ageng Honggolono, penguasa Desa Golan. Sedangkan Mirah Putri Ayu adalah putri dari Ki Ageng Honggojoyo, penguasa Desa Mirah. Ki Honggolono dan Ki Honggojoyo masih saudara dan sama-sama memiliki kesaktian, tetapi mereka saling bertolak belakang.

Menurut hasil wawancara dengan sesepuh di Desa Golan, yang berada dalam penelitian salah satu mahasiswa kampus negeri di Malang dijelaskan bahwa awalnya kira-kira tahun 1440 silam kisah cinta mereka bermula dari Joko Lancur yang menyukai sabung ayam akan pergi ke Batoro Katong untuk adu ayam jago.

Namun, bersamaan dengan itu, sesaat sampai di dapur Mirah, ayam jagonya lepas dan dicari sampai beberapa minggu tidak ketemu. Hingga pada akhirnya, ayam jago tersebut datang diantarkan oleh Mirah putri Ki Ageng Honggojoyo yang cantiknya se-Nambangrejo.

Sejak peristiwa itu, Joko Lancur yang juga merupakan pria yang gantengnya se-Desa Golan jatuh cinta pada Mirah dan bertekad untuk menikahinya.

Mendengar berita itu, tentunya Ki Ageng Honggojoyo atau Ki Ageng Mirah tidak setuju jika putri kesayangannya menjadi menantu Ki Ageng Honggolono yang dinilai berperilaku buruk. Namun, Ki Honggojoyo juga tidak bisa serta merta menolak dengan alasan yang diplomasi.

Sehingga, Ki Ageng Honggojoyo mengajukan persyaratan atau pemenuhan seserahan yang ia pikir mereka tidak bisa melakukannya. Pertama, Ki Honggojoyo meminta untuk dibuatkan bendungan. Ki Honggoloyo menyetujuinya dan dibuatlah suatu bendungan dengan bantuan kekuatannya, yaitu mengutus para Bajul Kowor (buaya putih) untuk membuat bendungan tersebut. Setelah persyaratan pertama terpenuhi, Ki Honggojoyo masih tidak rela.

Dengan begitu, ia membuat seserahan kedua, yaitu padi satu lumbung yang bisa berjalan sendiri menuju tempat pernikahan. Mendengar permintaan itu, Ki Honggolono masih bisa melakukannya dan lumbung tersebut bisa berjalan sendiri menuju tempat pernikahan.

Sementara itu, Ki Honggojoyo yang juga sakti pun membuat isi lumbung tersebut menjadi separuh jerami dan separuhnya lagi kulit kedelai. Tidak terima dengan kejadian tersebut, terjadilah perselisihan antara Ki Honggolono dan Ki Honggojoyo, hingga Ki Honggolono tidak ingin bersaudara lagi dengan Ki Honggojoyo.

Situs Cinta Terlarang Sukorejo | Foto: ponorogo.go.id
info gambar

Tidak mendapat restu dari kedua orang tuanya, Joko Lancur dan Mirah Putri Ayu memutuskan untuk bunuh diri. Melihat putra kesayangannya mati, Ki Agung Honggolono bersabda untuk Desa Golan dan Mirah, yaitu:

  1. Warga Desa Golan dan Mirah tidak akan bisa bersatu dalam pelaminan,
  2. Segala jenis benda yang terdapat di Desa Mirah tidak bisa dipindahkan ke Desa Golan, dan sebaliknya,
  3. Segala jenis benda dari kedua desa tidak bisa disatukan,
  4. Warga Desa Golan tak diijinkan membuat atap rumah dari bahan jerami,
  5. Warga Desa Mirah tak akan bisa menanam kedelai.

Kelima pantangan tersebut tetap terjadi hingga kini dan para warga pun mengamininya. Bahkan ada dari beberapa warga juga menceritakan jika pernikahan terjadi antara warga Desa Golan dan Desa Mirah walaupun pernikahannya dilaksanakan di luar kota, maka akan berakhir malapetaka.

Percaya atau tidak, demikian cerita yang terjadi di daerah Desa Golan dan Desa Mirah. Apapun sukunya, sekiranya kita tetap harus saling menghargai dan menghormati peninggalan para leluhur yang pernah ada di Nusantara. Semoga, bisa menambah wawasan Kawan GNFI, ya.*

Sumber etheses.uin-malang.ac.id | jitunews.com

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini