Agustinus Adisucipto, Sekolah Kedokteran Dulu Jadi Pahlawan Penerbang Kemudian

Agustinus Adisucipto, Sekolah Kedokteran Dulu Jadi Pahlawan Penerbang Kemudian
info gambar utama

Adisucipto (ejaan lama: Adisutjipto), nama itu tampak terdengar familier bukan? Bagi Kawan GNFI yang berdomisili di Yogyakarta dan sekitarnya pasti langsung ngeh kalau nama itu dipakai untuk bandar udara (bandara).

Bandara Internasional Adisucipto, itulah namanya, letaknya berada di daerah Maguwoharjo, sebelah timur dari pusat kota Yogyakarta. Nama tokoh Adisucipto yang dipakai untuk bandara tersebut menyimpan kisah sejarah pada masa awal kemerdekaan Republik Indonesia. Adisucipto, ia adalah pahlawan kedirgantaraan tanah air ketika agresi militer pertama Belanda berkecamuk di bumi Jawa.

Adisucipto bergelar pahlawan nasional yang kemudian kerap kali dijuluki Bapak Penerbang Indonesia. Peranannya vital ketika kesatuan militer angkatan udara saat Indonesia baru terbentuk. Lika-liku kehidupan dan kepribadiannya menarik, sehingga namanya disegani di kesatuannya. Hanya saja sayang, Adisucipto wafat pada usia muda saat melakoni misi kemanusiaan dari atas udara.

Pertanda Takdir dari Eyang

Adisucipto lahir di Salatiga, Jawa Tengah, dari pasangan Pius Roewidodarmo dan R. Ng. Latifatun Pada 4 Juli 1916 (sumber lain menyebut 3 Juli 1916). Sang ayah, Roewidodarmo, adalah seorang terpelajar yang merupakan lulusan Kolese Xaverius yang kemudian menjadi guru di Salatiga. Selain menjadi guru, ayah Adisucipto juga berprofesi sebagai school opzienier (penilik sekolah) yang harus berkeliling ke kota-kota pendidikan.

Bak kisah wayang Pandawa, Roewidodarmo dan Lafitatun dikaruniai lima orang putra. Adisucipto merupakan anak tertua disusul Yohanes Sugondo, Ignatius Adisuyoso, Aloysius Sudaryono, dan si bontot ialah Yohanes Sadewo Sarwondo.

Roewidodarmo memberinya nama Adisucipto karena berharap kelak sang anak akan menjadi orang baik, luhur, dan berguna bagi nusa dan bangsa. Ketika dibaptis di Gereja Katolik Santo Paulus Miki, Salatiga, Adisucipto mendapat nama baptis, Agustinus. Jadilah namanya Agustinus Adisucipto.

Adisucipto juga mendapatkan nama dari sang eyang dari pihak ayahnya, Mbah Wirjo, yang berasal dari Wonosari, Magelang. Mbah Wirjo yang sudah sepuh saat itu adalah seorang keturunan empu sakti dan pengikut Pangeran Diponegoro dari Manoreh. Setelah bertanya siapa nama bayi itu, Mbah Wirjo memberikan tambahan nama bagi si kecil Adisucipto.

Adisucipto (paling kiri) bersama keluarganya Sugondo, Adisuyoso, Sudaryono. Duduk: ibu (Latifatun), Sadewo, ayah (Ruwidodarmo), dan salah seorang keponakan Adisucipto.
info gambar

''Setelah bertanya siapa nama bayi itu, Mbah Wirjo memberi tambahan nama paraban (julukan) Palgunadi,'' terang adik kandung Adisucipto, Sudaryono, pada acara misa syukur Hari Bhakti AURI ke-54 tahun 2001, dikutip GNFI dari Fly to Fight: Biografi Komodor Muda Agustinus Adisutjipto karya Yos Bintoro, Pr. Nama itu diambil dari kisah pewayangan yang menggambarkan tokoh Palgunadi tidak mengikuti perang Bharatayuda, tetapi meninggal dan raganya moksa (lepas beban ikatan duniawi).

''Arti dari ramalan itu ialah bahwa bayi (Adisucipto) tidak berumur panjang. Dan bila Mas Adisucipto sewaktu-waktu dipanggil oleh Yang Maha Kuasa, hendaknya diikhlaskan,'' tutur Sudaryono. Percaya tidak percaya, tampaknya pemberian nama itu menjadi pertanda takdir Adisucipto. Ia meninggal dunia pada usia muda ketika sedang menjalankan misinya di udara.

Sulung Pendiam, Penyabar, dan Penuh Pesona

Dilahirkan sebagai anak tertua membuat sifat kepemimpinan Adisucipto teruji dari waktu ke waktu. Adisucipto dikenal sebagai pribadi yang kalem, pendiam, humoris dan ngemong pada adik-adik dan saudaranya yang usianya lebih muda.

Ada sebuah kutipan bijak, ''Jangan macam-macam dengan orang pendiam, jika marah ia akan mengkagetkan dirimu''. Ya, si pendiam Adisucipto juga bisa marah dan siap gelut ketika merasa harga dirinya terinjak.

Pernah suatu kali ketika ia ikut dalam pertandingan sepak bola, terjadi insiden kecil menjurus tawuran massal. Adisucipto kecil memilih menghindar, dipilihnya hari yang tepat dan ditantangnya jagoan lawan duel satu lawan satu di sebuah lokasi yang ditentukan. Tidak jelas siapa yang menang dan kalah dalam pergelutan itu, tetapi konon keduanya menjadi akrab.

Adisucipto berzodiak Cancer yang biasanya diidentikkan dengan orang yang cinta damai dan benci konflik. Ya, percaya nggak percaya sih kalau soal ini. Namun, terkait sifat itu memang bisa dilihat dari kesabarannya ketika menghadapi berbagai persoalan, salah satunya konflik kecil berupa rengekan adiknya, Sadewo.

Seiring waktu, Adisucipto menjadi lebih dewasa dan penyabar. Putra Adisucipto, Franciscus Xaverius Adisusanto atau biasa disapa Todi, menceritakan kembali pengalaman sopir ayahnya, Yadi, yang mengaku tidak pernah melihat sang tokoh marah bahkan ketika mobilnya ditimpuk adik kecilnya.

Kala itu, Sadewo ngambek karena tak diajak pergi naik mobil keliling Salatiga seperti biasa. Maklum, Adisucipto saat itu mendapatkan panggilan tugas di Yogyakarta sehingga harus absen membawa adik-adiknya berkeliling. Begitu mobil berjalan, Sadewo mengambil batu dan melemparkannya ke mobil Adisucipto.

Tidak marah, apalagi membalas. Dengan penuh kesabaran Adisucipto keluar dari mobil dan menghampiri sang adik. ''Dik, tak baik cara begitu. Kalau mobil ini rusak, yang susah kita semua. Kita tak bisa lagi pergi menggunakan mobil ini,'' kata Adisucipto sambil berjongkok dan mengusap kepala Sadewo. Setelah Sadewo tenang, barulah ia melanjutkan perjalanan.

Infografik Adisucipto.
info gambar

Sikap Adisucipto yang gentleman itu tampaknya yang menjadi daya pikatnya pada kaum hawa. ''Pak Adi (Adisucipto) itu fans-nya banyak. Orangnya ganteng, tinggi, pendiam, tapi suka bercanda juga,'' terang adik ipar Adisucipto, Sugih Astuti.

Sebagai seorang penerbang militer yang merupakan status yang sangat tinggi pada zamannya, Adisucipto jadi "buruan" orang tua yang ingin menjadikannya menantu. Menurut cerita Sadewo, kakaknya pernah ingin dijodohkan dengan perempuan muda Indo (keturunan Indonesia-Eropa) yang tertarik dengannya.

Adisucipto sendiri lebih memilih Rahayu yang dipinangnya menjelang Indonesia meraih kemerdekaan. Rahayu adalah putri pertama dan merupakan anak kedua R. Soerojo, seorang wartawan koran De Locomotief. Sifat Rahayu sebelas dua belas dengan Adisucipto, pendiam dan penuh kasih sayang.

Adik Rahayu yang terpaut 16 tahun, Rohanna, merasakan betul perhatian dari keduanya. Rohanna sangatlah manja dengan kakak kandungnya yang dianggapnya sebagai ibu kedua sampai-sampai tidak mau tidur kalau tidak dikeloni. Ujian kesabaran bagi Adisucipto, karena ketika ngapel Rahayu harus menidurkan Rohanna terlebih dahulu.

Kebiasaan itu terbawa saat Rahayu menjadi pengantin baru. Rahayu bahkan masih menidurkan Rohanna yang usianya sudah 10 tahunan di kamar pengantin. ''Awalnya saya tidur bersama Bu Cip dan Pak Cip, tapi waktu bangun tiba-tiba saya sudah di kamar lain bersama ibunya Pak Cip dan Sadewo,'' kenang Rohanna.

Cita-cita Terbang Sempat Terganjal Tuntutan Orang Tua

Adisucipto mulai sekolah Hollandsche Inlandsche School (HIS, setara Sekolah Dasar) Katolik Muntilan pada pertengahan tahun 1920-an. Setelah lulus pada 1929, ia melanjutkan sekolah ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO, setara Sekolah Menengah Pertama) Katolik St. Louis Ambarawa.

Uniknya di sana ia satu kelas dengan adiknya, Yohanes Sugondo. Hal ini terjadi karena berkat kepintarannya Sugondo bisa sekolah di Europeesche Lagere School (ELS) yang biasa diisi anak-anak Eropa, keturunan, dan bangsawan pribumi. Siswa lulusan ELS bisa langsung masuk MULO tanpa kelas penduhuluan. Akibatnya kakak-beradik ini bisa satu kelas dan tinggal di asrama yang sama.

Menonjol berkat kepandaiannya, direktur sekolah MULO kemudian menyarankan pada ayah Adisucipto agar memasukkan si sulung ke sekolah kedokteran. Saat itu masuk sekolah kedokteran dari MULO diperbolehkan. Namun, Adisucipto ngebet banget masuk ke Militaire Luchtvaart Opleidings School (MLOS), Sekolah Pendidikan Penerbang Militer Hindia Belanda di Kalijati, Jawa Barat. Sayangnya, sang ayah menolak keinginannya karena merasa tenang melihat anaknya menjadi dokter ketimbang penerbang. Jalan tengahnya Adisucipto lalu dimasukkan ke Algemene Middelbare School (AMS, setara Sekolah Menengah Atas) di Semarang.

Melahap banyak buku menjadi kebiasaan tokoh kemerdekaan Indonesia, tak terkecuali Adisucipto pada masa remajanya. Intelektualitasnya terasah karena kegemarannya membaca buku filsafat dan kemiliteran. Selain membaca buku ia juga senang berolahraga salah satunya olahraga catur. Kabarnya, Adisucipto pernah mengalahkan jago catur Salatiga karena kemahirannya itu.

Adisucipto bercita-cita menjadi penerbang maka dari itu ia membekali dirinya dengan membaca buku kemiliteran dan olahraga yang membuat badannya atletis. Angan-angannya menjadi penerbang kian liar sejak saat itu.

Setelah menamatkan AMS pada 1936, Adisucipto ingin sekali melanjutkan pendidikannya di Koninklijke Militaire Academi, Breda, Belanda. Pemerintah Hindia Belanda memang memberikan kesempatan bagi pemuda-pemuda Indonesia untuk mengikuti pendidikan penerbangan, tetapi dengan syarat yang sangat berat. Calon siswanya harus keluaran Akademi Militer di Breda, kemudian dididik selama kurang lebih satu setengah tahun. Oleh sebab itulah, mengapa Adisucipto bersikeras ingin melanjutkan sekolahnya ke Breda setelah lulus pendidikannya dari AMS.

Akan tetapi ayah dan ibunya tetap teguh dengan keputusannya. Adisucipto harus jadi dokter!

Ayahnya membujuk, ''Jadilah seorang dokter, Cip. Berilah contoh yang baik kepada adik-adikmu.''. Karena jalan buntu, maka Adisucipto mengikuti saran ayahnya dan kuliah di Genneskundige Hooge School (GHS, Sekolah Tinggi Kedokteran) di Batavia (Jakarta) pada 1939.

Pangkalan udara Kalijati, Jawa Barat.
info gambar

Karena tidak menaruh minat di bidang kedokteran, maka selama dua tahun mengikuti kuliah Adisucipto merasakan tidak ada kemajuan. Sepintar-pintarnya orang kalau bukan passion-nya pasti sulit menjalankannya, seperti itulah Adisucipto. Ketika menjalani perkuliahan, Adisucipto selalu ada mata kuliah yang harus ia ulang.

Suatu kebetulan baginya, ketika mengikuti kuliah di GHS itu, yang menjadi asisten dokter dalam mata kuliah ilmu faal (fisiologi) adalah Prof. Dr. Abdurrachman Saleh. Kemudian antara keduanya terjalinlah hubungan yang akrab.

Lewat Dr. Abdurrachman Saleh, Adisucipto mendapat informasi yang penting untuk memasuki Sekolah Penerbangan. Segera ia mengikuti latihan tes dan psikotes yang diberikan sendiri oleh Dr. Abdurrachman Saleh di lapangan terbang Cililitan yang sekarang dikenal dengan nama Lapangan Udara Halim Perdanakusuma.

Ketika kota Semarang dan Bandung dibuka Sekolah Penerbangan Militaire Luchtvaart School, Adisucipto segera mengajukan lamarannya tanpa setahu orang tuanya. Hanya saja karena lamarannya tidak disertai surat persetujuan dari orang tua, terpaksalah ia ditolak walaupun dalam ujian masuknya dinyatakan lulus.

Didorong oleh ketabahan, keuletan, serta sikap pantang menyerah dalam setiap cita-cita yang diinginkannya, maka Adisucipto mengajukan lamaran kembali pada tahun berikutnya. Kali ini ia dibantu teman-teman kampusnya mengirimkan tembusan kepada Residen di Semarang dan Asisten Residen di Salatiga. Seterimanya surat tembusan itu, Asisten Residen yang dikenal baik oleh ayahnya tadi, segera memanggil Roewido. Dalam pertemuan itu barulah sang ayah menyakini, bahwa putranya benar-benar tidak mau mundur dari cita-citanya itu.

Atas permintaan Asisten Residen dan demi kebahagiaan serta kemajuan putra sulungnya itu, akhirnya sang ayah mengizinkan juga. Segera ditandatanganilah surat pernyataan setuju, untuk melengkapi surat lamaran Adisutjipto ke Sekolah Penerbangan di Bandung.

Terbangkan Cureng di Langit Yogya

Cita-cita sekolah penerbangan tercapai, pendidikan yang semestinya dijalani tiga tahun mampu diselesaikan Adisucipto dalam tempo dua tahun saja dengan nilai yang memuaskan. Pada 1941, sosok yang fasih berbahasa Belanda, Jerman, dan Inggris ini diwisuda sebagai calon penerbang (vaandrigpilot) dengan kualifikasi Groot Militaire Brevet (GMB) atau penerbang kelas satu.

Setelah menamatkan pendidikannya, Adisucipto kemudian diberi kebebasan untuk memilih tempat di mana ia mau bertugas. Demikianlah untuk pertama kalinya ia bertugas di Skadron Pengintai di Jawa, dengan pangkat Letnan Muda Penerbang.

Adisucipto satu frame dengan pesawat cureng buatan Jepang.
info gambar

Beberapa bulan setelah Indonesia meraih kemerdekaan, Pangkalan Udara Maguwo memiliki sejumlah unit pesawat Cureng bekas kepemilikan Jepang. Pada Oktober 1945, Adisucipto diminta oleh Suryadi Suryadarma—kenalan Adisucipto di Kalijati yang kemudian menjadi sahabat—menerbangkan pesawat tersebut untuk merayakan Hari Sumpah Pemuda dan memompa semangat kemerdekaan rakyat Yogyakarta.

Ditemani oleh eks kadet Angkatan Udara Kalijati, Tarsono Rujito, sebagai penumpang, Adisucipto menunjukkan kebolehannya menerbangkan pesawat Cureng di langit Yogyakarta pada 27 Oktober 1945. Penduduk Yogyakarta tampak bangga menyaksikan pesawat berbendera merah putih itu terbang beberapa menit.

Pesawat Cureng dengan corak merah putih terbang mengelilingi langit Yogyakarta.
info gambar

Namun, hampir terjadi musibah. Karena terbangnya terlalu rendah, bagian belakang pesawat tersangkut kawat listrik. Beruntung, mereka bisa selamat.

Mencetuskan Sekolah Penerbangan

Kepedulian Adisucipto pada dunia kedirgantaraan Indonesia terlihat dengan dibukanya Sekolah Penerbangan Maguwo pada 15 November 1945. Adisucipto menjadi kepala sekolahnya dan merangkap sebagai chiefinstructor. Selain Adisucipto, juga terdapat dua infrastruktur lain yaitu Iswahyudi dan Imam Suwongso Wiryosaputro.

Sebelum sekolah itu diresmikan, Adisucipto sudah melakukan beberapa langkah agar menjaring calon penerbang muda Indonesia. Caranya ialah dengan menyiarkan pengumuman lewat radio dan surat kabar.

Salah satu pengumuman pembukaan sekolah penerbang tersebut tersiar dalam surat kabar Warta Indonesia terbitan 6 November 1945. Dalam surat kabar itu para calon peserta didik wajib lulusan MULO, Sekolah Menengah Tinggi (SMT), Sekolah Menengah, atau setara dengan kedua lembaga pendidikan tersebut. Untuk lulusan MULO dan SMT yang dites yakni bahasa Inggris, kimia, ilmu pasti dan pengetahuan umum, sementara untuk lulusan Sekolah Menengah yang dites yakni ilmu pasti (sains), pengetahuan umum, dan sejarah.

Adisucipto sedang melakukan instruksi.
info gambar

Sebanyak 28 orang diterima di Sekolah Penerbang Maguwo, 10 di antaranya telah mendapat pendidikan penerbangan. Sekolah ini belum memiliki gedung, sehingga pada awal-awal pendidikan pengajaran dilakukan di bawah pohon ceri atau kersen di bawah menara Pangkalan Udara Maguwo. Bahkan, seringkali praktik penerbangan merupakan percobaan-percobaan yang berisiko tinggi.

Berbekal kemauan keras dan semangat tinggi akhirnya proses pendidikan berjalan lancar. Pesawat Cureng bikinan tahun 1933 yang seharusnya tidak layak jalan itu mampu diterbangkan pilot pemula tempaan Adisucipto dan instruktur lainnya. Penerbang Inggris dari Royal Air Force (RAF) bahkan memuji keberanian menjurus kenekatan mereka dengan kalimat: ''You are flying a coffin (Kamu sedang menerbangkan peti mati)''.

Mendengar kalimat itu Adisucipto cuek saja. Kadet-kadet sekolah penerbang itu mencatat prestasi membanggakan. Bukan hanya mencatat zero accident, Suharnoko, Harbani, Sutarjo Sigit dan Mulyono bahkan berhasil mengebom tangsi-tangsi Belanda di Salatiga, Ambarawa dan Semarang.

Korban Insiden Pesawat Jatuh Dakota VT-CLA

Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI)—sekarang menjadi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI-AU)—berduka. Pesawat Dakota dengan nomor registrasi VT-CLA jatuh di Sewon, Bantul, pada 29 April 1947. Tiga putra terbaik AURI ikut menjadi korban insiden itu, salah satunya ialah Adisucipto.

Dakota VT-CLA yang ditumpangi Adisucipto bukanlah pesawat tempur. Pesawat ini merupakan milik pengusaha India, Bijyananda Patnaik, teman dekat politisi India, Jawaharlal Nehru, yang saat itu menjabat Menteri Luar Negeri. Pemerintah Indonesia mencarter pesawat ini untuk misi kemanusiaan yaitu membawa obat-obatan dari Palang Merah Malaya di Singapura yang kemudian diserahkan kepada Palang Merah Indonesia (PMI). Obat-obatan itu rencananya akan didistribusikan untuk rakyat Indonesia yang terluka akibat agresi militer Belanda yang dimulai sejak 21 Juli 1947.

Surat kabara harian tertua Belanda, Leeuwarder Courant, memberitakan jatuhnya pesawat Dakota VT-CLA.
info gambar

Angkatan udara Belanda gelap mata saat mengetahui ada pesawat akan mendarat di Pangkalan Udara Maguwo. Dua pesawat Kitty Hawk milik Belanda kemudian menyerang pesawat Dakota sampai terjatuh di daerah persawahan di perbatasan Desa Ngoto dan Wojo. Tidak ada bagian pesawat yang utuh kecuali ekor pesawat.

"Pesawat itu kemudian meledak dan patah menjadi dua. Semua penumpang tewas termasuk Pak Karbol (Adisucipto), Pak Abdulrahman Saleh, wing commander dari India dan Australia. Satu-satunya yang selamat adalah Pak Gani," kenang salah seorang saksi mata musibah itu pada harian Kompas pada 1979.

Dari sembilan orang, terdapat delapan orang yang tewas dan satu orang saja yang selamat. Daftar kru korban tragedi ini adalah pilot asal Australia, Alexander Noel Constantine, kopilot asal Inggris Roy Lance Hazelhurst, juru mesin asal India, Bhida Ram, dan operator radio telekomunikasi Opsir Muda Udara II Adisumarmo Wiryokusumo, perwira AURI yang diperbantukan dalam penerbangan ini.

Sedangkan daftar korban penumpang meliputi dua orang perwira tinggi AURI, Komodor Muda Udara Agustinus Adisucipto dan Komodor Muda Udara Dr. Abdulrahman Saleh, dan Zainal Arifin dari perwakilan perdagangan Republik Indonesia.

"Saya hanya menemukan tas milik Mas Cip," tutur penerbang AURI generasi pertama, Sudaryono. Masih menurutnya, keadaan jenazah Adisucipto utuh dan gampang dikenali. "Hanya pergelangan kakinya yang patah, sepertinya bagian dalamnya yang kena," jelasnya.

Alexander Noel Constantine sebenarnya masih hidup, tetapi karena lukanya teramat berat ia tidak tertolong lagi. Sementara itu Abdul Gani Handoko Cokro dari GKBI (Gabungan Koperasi Batik Indonesia) bisa selamat karena hanya menderita luka ringan.

Pihak Belanda kemudian disalahkan atas kejadian itu oleh dunia internasional. Sebagai gantinya, Belanda memberikan pesawat KLM (Koninklijke Luchtvaart Maatschappij) kepada Patnaik selaku pemilik pesawat dan satu pesawat Dakota beregistrasi T-482 sebagai kompensasi kepada AURI setelah Indonesia diakui kedaulatannya sebagai negara. Walau menunjukkan itikad baik Belanda, pemberian ini tentu tidak dapat membayar nyawa pahlawan Adisucipto, Abdulrahman Saleh, dan Adisumarmo.

Replika Dakota VT-CLA.
info gambar
Monumen pengingat insiden pesawat Dakota VT-CLA yang jatuh di Bantul pada 1947.
info gambar

Setelah kejadian memilukan itu, tanggal 29 Juli selalu diperingati sebagai Hari Bakti TNI AU setiap tahunnya, baik oleh personil TNI AU yang aktif maupun yang sudah pensiun, bahkan oleh para pecinta penerbangan Indonesia.

Diorama pesawat Dakota jatuh di Benteng Vredeburg, Yogyakarta.
info gambar

Demi mengingat jasa Adisucipto dan para korban lainnya, pemerintah Indonesia membuat Monumen Perjuangan TNI AU di Ngoto, Bantul, pada 14 Juli 2000. Tak hanya itu, juga terdapat diorama untuk mengenang kejadian tersebut di Museum Benteng Vredeburg, Yogyakarta.

Namanya Dikenang sebagai Bandar Udara

Agustinus Adisucipto mencapai kariernya dalam dunia kedirgantaraan dengan jabatan Marsekal Muda Anumerta. Usia Adisucipto saat itu masih 31 tahun. Setelah dinyatakan wafat, jenazahnya disemayamkan di pemakaman umum Kuncen I dan II.

Makam Adisucipto dan istrinya, Rahayu.
info gambar

Pada 17 Agustus 1952, berdasarkan Surat Keputusan KSAU No.76/48/Pen.2/KS/52, dua personil AURI yang tewas di insiden pesawat Dakota, Agustinus Adisucipto dan Abdulrahman Saleh, diabadikan namanya untuk Pangkalan Udara di Maguwo dan Malang. Keduanya juga dianugerahi tanda jasa Bintang Garuda No. 000001 pada 17 April 1959 dan Bintang Mahaputra kelas IV pada 17 Agustus 1960.

Pangkalan Udara Maguwo dinamai pahlawan AURI, Agustinus Adisucipto.
info gambar
Pengumuman mengenai nama tokoh angkatan udara yang dijadikan nama sejumlah bandar udara di Indonesia, salah satunya Agustinus Adisucipto.
info gambar

Selain itu, keduanya juga ditetapkan sebagai pahlawan nasional berdasarkan Keppres No. 071/TK/TH/1974 pada 9 November 1974. Khusus untuk Adisucipto, ia kemudian dijuluki Bapak Penerbangan Indonesia.

Bandara Internasional Adisucipto, Maguwoharjo, Yogyakarta.
info gambar

Nama Adisucipto—yang memakai ejaan lama "Adisutjipto"—masih dipakai untuk bandara internasional di daerah Maguwo yang melayani penerbangan komersil domestik dan internasional. Namun per tanggal 29 Maret 2020, Bandara Internasional Yogyakarta (YIA) di Temon, Kulon Progo, mengambil peranannya. Setelah pindah, Bandara Adisucipto hanya digunakan keberangkatan dan kedatangan pesawat baling-baling.

--

Referensi: TNI-AU.mil.id | Arahfajar.com | Jogja.Tribunnews.com | Aviahistoria.com | Warta Budaya | Warta Indonesia | Leeuwarder Courant | De Locomotief | Java Bode | Anne Marie The, "Komodor Udara Agustinus Adisutjipto: Bapak Penerbang Indonesia" | Yos Bintoro, Pr, "Fly to Fight: Biografi Komodor Muda Agustinus Adisutjipto" | M. Sunjata Kardarmadja, "Adisucipto, Bapak Penerbang Indonesia" | Irna Hanny Nastoeti Hadi Soewito, Nana Nurliana Suyono, Soedarini Suhartono, "Awal Kedirgantaraan di Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1950"

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini