Inilah Pertanian Padi Paling Efisien di Nusantara, dan Tantangannya Kini

Inilah Pertanian Padi Paling Efisien di Nusantara, dan Tantangannya Kini
info gambar utama

Apa yang paling dikenal orang jika kita menyebut Bali? Selain pantainya yang indah, maka kultur budayanya yang kaya. Itu pula yang membuat Bali menjadi daerah tujuan wisata paling banyak dikunjungi di Indonesia, bahkan masuk 20 destinasi wisata terfavorit di dunia.

Dunia pun turut mengakuinya. Google Doodle dalam edisi 29 Juni 2020 menampilkan gambar seorang petani tengah duduk di sebuah pondok, matanya mengarah ke hamparan sawah yang hijau. Disertai tagline “Merayakan Warisan Budaya, Subak”.

Sumber : Google.co.id
info gambar

Mengapa Subak dianggap menjadi warisan yang diakui oleh dunia?

Sebagai sistem tradisional pengairan sawah yang digunakan dalam bercocok tanam padi di Bali, Subak mengakomodasikan dinamika sosio-teknis masyarakat setempat. Sistem irigasi ini mencakup lahan-lahan di teras pegunungan untuk mengatur pengairan lahan persawahan.

Kontur tanah pegunungan di Bali memang membuat irigasi sangat sulit, ditambah lagi dengan populasi yang padat. Maka sumber daya air harus dikelola dengan prinsip-prinsip keadilan, keterbukaan, harmoni dan kebersamaan, didistribusikan sesuai dengan kepentingan masyarakat.

Dengan penggabungan semua unsur-unsur tersebut, petani Bali berhasil mengelola pertanian padi paling efisien di nusantara.

Dilansir dari Historia, keterangan tertulis mengenai praktik bertani masyarakat Bali kali pertama ditemukan dalam Prasasti Sukawarna yang bertarikh 882 Çaka (Era Çaka dimulai pada tahun 78 Masehi).

Di dalam prasasti itu ada kata ‘huma’, yang mana kala itu lazim digunakan untuk menyebut ladang berpindah. Kemudian pada Prasasti Trunyan yang bertarikh 891 Çaka, tertulis kata “serdanu” yang berarti kepala urusan air danau.

Sejarah Subak Bali juga tercatat dalam Prasasti Bebetin (896 Çaka) dan Prasasti Batuan (1022 Çaka). Pada dua prasasti itu dijelaskan ada kelompok pekerja khusus sawah di Bali, keahlian mereka adalah membuat terowongan air. Bukti-bukti arkeologis tersebut menunjukkan masyarakat Bali telah mengenal sebentuk cara mengelola irigasi pada sekitar abad ke-10.

Dalam penyelenggaraan Sistem Subak, Pengurus Subak berpedoman pada hukum adat yang diwariskan oleh leluhur mereka. Hukum Adat Subak disusun berdasarkan ajaran Tri Hita Karana, diartikan sebagai “Tiga hal yang sebabkan kesejahteraan”.

Ketiga penyebab kesejahteraan tersebut adalah hubungan harmonis manusia dengan Tuhan, hubungan harmonis dengan sesama manusia, dan hubungan harmonis antara manusia dengan alam dan lingkungannya.

Bagaimana Sistem Subak Bekerja

Sistem Subak Bali bekerja dengan memakai metode irigasi kontinyu dan bergilir. Dalam Sistem Subak, para petani diorganisir dan dibagi dalam dua atau tiga kelompok persawahan. Setiap kelompok persawahan menerima distribusi air irigasi yang adil.

Apabila wilayah subak di bagi dalam dua kelompok persawahan (Kelompok I dan Kelompok II misalnya), maka pada musim hujan (musim tanam pertama/MT I) kedua kelompok menerima air irigasi. Sedangkan pada musim kemarau (MT II), untuk kelompok I menanam padi dan kelompok II menanam palawija.

Kemudian pada MT III, kelompok I menanam palawija dan kelompok II menanam padi. Itulah contoh praktik dari metode bergilir (dalam bahasa setempat disebut nugel bumbung).

Subak di Bali menghadapi banyak ancaman termasuk alih fungsi lahan dan rusaknya saluran irigasi. Foto: Anton Muhajir
info gambar

Apabila persawahan dibagi dalam tiga kelompok maka pada musim hujan semua kelompok menerima air irigasi, tetapi pada musim kemarau kelompok hulu (persawahan di bagian hulu) berhak menerima air yang pertama, kemudian pada musim tanam selanjutnya digeser ke kelompok di bagian tengah, dan terakhir digeser kekelompok hilir.

Secara total Bali memiliki sekitar 1.200 penampung air dan antara 50 dan 400 petani mengelola persediaan air dari satu sumber air. Petani masih menanam padi tradisional Bali tanpa bantuan pupuk atau pestisida, di mana lansekap secara keseluruhan dianggap memiliki konotasi suci.

Di dalam alam kosmos masyarakat Bali terdapat lima situs yang menampilkan komponen utama alam, agama, dan budaya yang saling berhubungan dari sistem tradisional, di mana sistem subak masih berfungsi penuh.

Situs-situs tersebut adalah Kuil Air Tertinggi Pura Ulun Danu Batur di tepi Danau Batur yang danau kawahnya dianggap sebagai asal mula dari setiap mata air dan sungai. Kemudian Bentang Alam Subak di Daerah Aliran Sungai Pakerisan, sistem irigasi tertua yang diketahui di Bali.

Ada pula Lanskap Catur Angga Batukaru dengan teras yang disebutkan dalam prasasti abad ke-10 menjadikannya salah satu yang tertua di Bali dan contoh utama arsitektur candi Bali klasik. Dan selanjutnya, Kuil Air Pura Taman Ayun, ini yang paling besar dan memiliki bentuk arsitektural yang unik.

Properti ini sepenuhnya mencakup atribut-atribut utama dari sistem Subak dan dampak mendalam yang dimilikinya terhadap lanskap Bali. Proses-proses yang membentuk bentang alam, dalam bentuk pertanian irigasi bertingkat yang dikelola oleh sistem Subak, masih bertahan selama ribuan tahun.

Daerah pertanian ditanami secara berkelanjutan oleh masyarakat setempat dan persediaan air mereka dikelola secara demokratis. Tak ayal, UNESCO sendiri telah memasukkan Subak sebagai salah satu warisan budaya dunia.

Tantangan Pelestarian Subak

Subak dewasa ini memiliki tantangan yang berat. Sebagaimana masalah konservasi pada umumnya, yaitu pertumbuhan penduduk yang begitu pesat. Berdasarkan sensus penduduk tahun 1980, julam penduduk Bali masih 2.469.724 jiwa.

Pada tahun 2000, penduduk Bali telah bertambah menjadi 3.146.999 jiwa. Sensus terakhir di tahu 2010 menunjukkan penduduk bali telah mencapai 3.890.757 jiwa. Dari pertumbuhan penduduk yang meningkat tajam ini tentu lahan per kapita kian menyempit.

Selain itu masalah terkini dari keberlanjutan Warisan Budaya Dunia itu ialah adanya hal-hal baru yang lebih menjanjikan di mata masyarakat dibanting mengolah lahan pertanian, sehingga terjadilah alih fungsi lahan.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik terlihat bahwa luas lahan sawah di Bali sedikit demi sedikit kemudian mulai beralih fungsi dan menyusut. Pada tahun 2003, luas lahan sawah di Bali ada 81.870 hektar menjadi 78.626 hektar di tahun 2017.

Warisan Ribuan tahun | Photo oleh Geio Tischler on Unsplash

Luas lahan sawah banyak yang bertransformasi menjadi pemukiman, bangunan industri, dan tempat wisata, serta fungsi lain yang dianggap oleh masyarakat lebih menjanjikan dari sisi pendapatan

Masih menurut data Badan Pusat Statistik, produksi padi di Bali pada 2019 diperkirakan sebesar 579.321 ton Gabah Kering Giling (GKG) atau mengalami penurunan sebanyak 87.749 ton sekitar 13,15 persen dibandingkan tahun 2018.

Jika produksi padi pada tahun 2019 dikonversikan, produksi beras di Bali pada 2019 sebesar 325.028 ton atau mengalami penurunan sebanyak 49.231 ton atau 13,15 persen dibandingkan tahun 2018.

Ketika lahan beralih fungsi, apalagi dengan penggunaan di luar pertanian, penggunaan sistem subak lambat-laun akan terkikis. Pemerintah harusnya mewujudkan kedaulatan pangan bukan sekedar visi dan misi belaka.

Misi itu harus diaplikasikan dalam kebijakan yang pro terhadap petani, terutama yang menghasilkan bahan pangan kita ini. Petani harus sejahtera hidupnya, sehingga generasi-generasi muda tidak merasa malu untuk bercita-cita menjadi petani.

Tri Wahyuni,penulis adalah pemerhati masalah lingkungan hidup; Peneliti di Institute for Population and National Security. Artikel ini adalah opini penulis

==

Artikel ini republished dari Mongabay.co.id atas MoU GNFI dengan Mongabat Indonesia

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

Terima kasih telah membaca sampai di sini