Diam-Diam Indonesia Punya Penerus BJ. Habibie

Diam-Diam Indonesia Punya Penerus BJ. Habibie
info gambar utama

Kalau mau bicara soal pesawat terbang, orang Indonesia selalu mengaitkannya dengan sosok (alm) BJ Habibie. Satu-satunya sosok yang bisa dibilang paling getol memperjuangkan pembangunan industri kedirgantaraan nasional bagi Indonesia hingga akhir hayatnya.

Setelah beliau meninggal dunia, tentu anaknya, Ilham Akbar Habibie adalah sosok yang paling dijagokan untuk meneruskan wasiat ilmu yang berharga itu. Tapi apakah kita punya sosok lain yang berpotensi menjadi BJ Habibie selanjutnya?

--

Pada awal September lalu, saya menemukan seorang bocah bernama Ignatius Genta Banyu Adjie (17) dalam sebuah video yang tersebar di laman Facebook. Di dalamnya dia berperan sebagai pencerita atau storyteller berbahasa Inggris untuk membahas soal dunia sains. Dan Genta memilih untuk bercerita soal pesawat.

Tak disangka, dari 29 anak di seluruh dunia yang masuk sebagai Semi Finalists Global Science Video Competition yang diselenggarakan oleh Breakthrough Junior Challenge 2020, hanya nama Genta yang menjadi satu-satunya anak dari Indonesia.

Pada kesempatannya kali ini Genta menjelaskan soal Bernoulli’s Principle of Flight dalam teknik penerbangan pesawat terbang. Dalam waktu tiga menit Genta harus menjelaskan prinsip sains ini dengan cara yang menarik dan mudah dipahami.

Bahkan di tengah-tengah penjelasannya, Genta dengan apik menyisipkan beberapa gimik lucu sehingga siapa pun yang menontonnya tetap merasa terhibur dengan tingkahnya. Padahal topik penjelasannya tidak mudah.

Kesukaannya kepada pesawat membuat saya bertanya-tanya—atau mungkin lebih tepat dikatakan sebagai sebuah pengharapan , "Apakah ini penerus BJ. Habibie?"

Untuk memastikannya, pada akhirnya saya menghubungi bocah siswa Global Sevilla, Pulomas, Jakarta Barat, yang kini masih duduk di kelas 3 SMA ini. Perbincangan melalui sambungan telepon pada Kamis, 24 September 2020 itu memakan waktu 43 menit.

Mengawali percakapan kami, Genta mengemukakan alasannya mengapa memilih pesawat sebagai bahan ceritanya pada kompetisi ini. Ini karena dia mengenang masa kecilnya kala harus tinggal di Amerika Serikat sekitar tahun 2010 dan harus bolak-balik ke Indonesia.

Punya agenda rutin untuk pulang sedikitnya dua sampai tiga kali dan kerap harus dihadapkan pada kondisi mabuk pascaterbang atau jet lag tak membuat Genta mengurangi kesukaannya kepada pesawat terbang.

Tak disangka, sepuluh tahun kemudian, hal itulah yang membuat dia berhasil mencapai satu titik untuk membawa nama Indonesia di ajang kompetisi internasional sekelas Breakthrough Junior Challenge 2020.

Sebagai seorang anak yang baru menginjak 17 tahun, saya justru banyak belajar dari Genta. Bahkan Genta memberikan pandangan baru soal potensi Indonesia terkait dunia atau industri pesawat terbang. Menariknya, Genta mengaku kepada saya bahwa dia tengah mempersiapkan desain pesawat sendiri yang akan ia buat kelak jika saatnya sudah tiba.

Pengharapan saya semakin menjadi, "Apakah Genta benar-benar bisa menjadi BJ. Habibie selanjutnya?"

Breakthrough Prize, Hadiah yang Menggiurkan

Breakthrough Prize
info gambar

Breakthrough Junior Challenge adalah kompetisi video sains global yang bertujuan untuk mengembangkan dan menunjukkan pengetahuan generasi muda tentang sains, matematika, dan prinsip-prinsip ilmiah lainnya. Tak hanya sekadar sebuah kompetisi global, ajang ini juga menjadi tempat bagi anak-anak untuk berekspresi akan kesenangannya tentang sains.

Ajang kompetisi global ini sebenarnya sudah ada sejak tahun 2015. Hal yang membuat ajang ini bergengsi adalah hadiah kompetisi atau yang disebut dengan Breakthrough Prize ini sering dikenal juga sebagai ‘’Oscar of Science’’.

Layaknya perhelatan piala Oscar, Breakthrough Junior Challenge ini seolah khusus bergerak di bidang "film" sains sederhana yang dibuat oleh anak-anak di seluruh dunia. Ini adalah ajang pengakuan dan tempat apresiasi para ilmuwan muda top dunia.

"Prize-nya (hadiahnya) memang lumayan besar. Total 400 ribu dolar AS. Itu berarti Rp5 miliar. Itu menurut aku gila banget sih," ungkap Genta

Dia menjelaskan bahwa hadiah ini diberikan dalam bentuk beasiswa. Itulah alasan mengapa kompetisi ini menyasar kepada anak sekolah dalam rentang usia 13-18 tahun. Ketika mereka sudah lulus dari SMA, para pemenang boleh memilih kampus di manapun di dunia ini dengan menggunakan hadiah ini.

Sponsor Breakthrough Prize
info gambar

Breakthrough Prize ternyata disponsori oleh beberapa yayasan dari para pesohor dunia. Sebut saja Sergey Brin, pendiri Google. Lalu ada Priscilla Chan dan Mark Zuckerberg, pasangan pemilik media sosial terbesar dunia, Facebook. Ada Ma Huateng, pendiri perusahaan Tencent.

Lalu ternyata Jack Ma, orang terkaya di China karena Alibabanya juga tercatat sebagai sponsor. Yuri dan Julia Milner, filantropis dan pengusung Breakthrough Junior Challenge, serta ada Anne Wojcicki—saudara kandung CEO Youtube, Susan Wojcicki—yang juga merupakan pengusaha besar Amerika Serikat dan CEO 23andME.

Mitra lainnya yang menjadi penyokong ajang ini antara lain, Khan Academy, National Geographic Partners LLC, dan Laboratoriun Cold Spring Harbor.

Alih-alih tergiur dengan hadiah yang besar itu, Genta mengaku bahwa dia punya mimpi besar.

"Aku ingin banget kuliah ke Kanada. Ambil (jurusan) Teknik Penerbangan, Aeronautika, di University of Toronto," ungkapnya.

Rasa penasarannya kepada pesawat pada akhirnya membuat Genta ingin meraih mimpi itu dengan caranya sendiri. Kondisi pandemi, serta kondisi ayahnya yang sedang tidak bekerja akibat pandemi, membuat Genta justru semakin terpacu untuk membantu meringankan beban orang tuanya.

"Aku membantu meringankan beban Papa dengan mencoba cari beasiswa atau mencari suatu pemasukan gitu kan bisa membantu banget."

Dia sadar kalau untuk sampai kuliah di Toronto butuh dana yang sangat besar. Meski begitu, akan selalu ada rencana kedua. Jika memang tidak bisa pergi sampai ke Toronto, maka bukan berarti keingintahuannya kepada pesawat terbang berkurang. Dia akan mengejar ilmu itu ke Institut Teknologi Bandung.

Semua Proses Dilakukan Sendiri

Kepada GNFI, Genta mengaku bahwa dirinya cukup lama untuk mengumpulkan motivasi mengikuti kompetisi ini. Ia padahal sudah mengetahui kompetisi Breakthrough Junior Challenge sejak tahun 2019 dan baru tertarik mengikuti kompetisi satu tahun setelahnya.

Pada kompetisi tahun ini pun dia masih menunggu informasi yang disampaikan oleh gurunya. Sampai pada akhirnya Genta baru mengetahui tenggat waktu pengumpulan video ini pada bulan Juni. Padahal, ternyata sejak April panitia sudah membuka pendaftarannya.

"Tapi masalahnya begini, aku sudah tahu kompetisi ini dan ada banyak partisipan yang ikut. Kalau nggak salah ada sampai 8.000 murid dari seluruh dunia. Jadi kompetisi ini sangat ketat. Aku berpikir, worth it (setimpal) nggak sih untuk mengikuti kompetisi ini?"

Tenggat waktu sudah di depan mata, Genta mengaku kalau dia cukup terlambat untuk membangun motivasi mengikuti kompetisi ini. Meski begitu ia pun memilih untuk mencoba.

‘’Aku mulai (menggarap). Membuat skrip itu dua minggu sebelum deadline. Benar-benar waktu upload itu sudah di hari deadline-nya,’’ ujarnya.

Genta Adjie
info gambar

Genta mengaku tidak pernah membuat video animasi sebelumnya. Untuk menyunting video seperti video blog (vlog), dia cukup percaya diri. Tapi kalau untuk membuat video animasi, Genta mengaku memerlukan waktu untuk mempelajarinya dengan sangat intens dalam kurun waktu dua minggu.

"Aku dulu punya hobi membuat slide review yang dibuat dalam bentuk video dan di-post di Youtube. Kalau nggak salah video pertamaku tahun 2012. Jadi aku sudah lumayan ada experience dalam bidang video editing. Tapi yang membuat ini sangat berbeda, aku belum pernah bikin video animasi,’’ ungkapnya.

Ditambah lagi untuk membuat semua itu, Genta juga mengaku tidak didukung oleh beberapa perangkat lunak (software) yang canggih. Ia benar-benar memaksimalkan apa yang ada dan apa yang ia punya. Jika kontestan lain, terlihat menggunakan layar hijau dalam studio kecilnya, Genta justru terlihat menggunakan tempat terbuka yang diduga adalah lantai teratas rumahnya. Jika kontestan lain menggunakan perangkat lunak yang berbayar, Genta justru lebih memilih untuk menggunakan yang gratis.

Meski begitu, dengan segala keterbatasan kemampuan dan fasilitas yang ia miliki, ayahnya memberikan satu motivasi yang akhirnya menggerakkan Genta untuk tidak berhenti.

Genta Adjie
info gambar

"Aku selalu diajarkan Papa, 'Genta, daripada kamu beli software yang baru, yang mahal, mending kamu mempergunakan fasilitas yang sudah diberikan, yang sudah ada. Dan coba untuk membuat sesuatu dan sebuah produk yang bagus.'" kisah Genta kepada GNFI.

"Dari situ aku belajar. Memang intensif belajarnya soalnya cuman sisa dua minggu. Aku belajar, sudah mulai mengerti basic-nya, dan dari situ aku buat videonya," tuturnya.

Sebagai anak yang senang dengan hal baru, Genta mengaku menikmati setiap prosesnya. Meski dia tahu kalau itu memang tidak mudah. Dia pun kerap disebut oleh teman-teman dan gurunya sebagai siswa yang cepat memahami pelajaran baru.

"Aku memang tipe orang yang self-motivated. Jadi setiap kali aku dapat konten baru atau diskusi di kelas, terus dikasih topik atau dikasih tugas, dapat proyek, aku sangat tertarik. Aku melihatnya itu sebagai motivasi untuk masa depan aku dan buat experience," katanya.

Tidak Sampai ke Final, Genta Butuh Pengalaman Bukan Hanya Ilmu

Proses seleksi menuju semifinal sudah Genta lewati. Seleksi selanjutnya dilakukan dengan cara mengumpulkan likes kepada warganet. Nantinya video yang mendapatkan jumlah likes tertinggi, maka akan lolos ke babak final dan semakin dekat dengan Breakthrough Prize.

Sayang, pada batas akhir pengumpulan jumlah likes 20 September 2020 lalu, Genta ternyata belum mampu lolos sampai ke babak final. Video Genta kalah jumlah likes. Langkahnya harus terhenti menjadi semifinalis dalam ajang Breakthrough Junior Challenge 2020.

Apa Genta kecewa?

"Mix emotion. Ada yang membuat aku merasa kesal bahwa kriteria untuk menjadi finalis itu berdasarkan likes. Menurut aku itu judging yang subjektif banget," ungkapnya.

Genta juga sebenarnya tak menafikan bahwa ada beberapa semifinalis yang menurutnya sangat bagus secara konten dan penyampaiannya, namun nasibnya harus sama dengan Genta. Tidak bisa lolos karena kalah jumlah likes.

"Tapi pada akhirnya aku biasa saja karena ternyata ini bukan cuman sekadar menang atau nggak menang. Yang penting kontribusi. At least you do something untuk membangun dunia sains, membuat progress. Itu yang paling penting!"

Rancangan Pesawat Genta
info gambar

Dengan mengikuti kompetisi ini ada satu hal yang ia ketahui tentang Indonesia.

"Aku tahu masyarakat Indonesia itu sangat pintar, apalagi dalam bidang IPA. Pada ujian apapun dalam bidang IPA, Indonesia itu pasti juara. Tapi kenapa Indonesia kurang dapat apresiasi dari dunia internasional? Itu karena kurang exposure," paparnya mantap

"Kedua, kita cuman diajarkan [ilmunya saja]. Apalagi di sekolah [dituntut] untuk pintar saja. Mindset orang tipikal memang begitu, ya. Tapi aku ingin ingatkan bahwa sains merupakan sesuatu yang harus dibuktikan. Bukan sekadar konsep yang kamu bisa rancang dan setelah itu kamu mengharapkan orang-orang untuk percaya. Kamu harus mempraktikannya," tutur Genta.

Mendengar kata-kata Genta, saya teringat pernyataan Ilham Akbar Habibie saat berkesempatan mewawancarai beliau soal Pesawat R80. Dalam penggarapan Pesawat R80, Ilham mengaku tidak terlalu banyak melibatkan anak muda. Ia justru menitikberatkan bahwa penggarapan pesawat buatan Indonesia ini jadi ajang mencari pengalaman bagi mereka.

"Pengalaman itu sangat menentukan. Hanya tahu teorinya saja tapi belum pernah membuat satu proyek sampai tuntas, ya percuma juga. Jadi dalam tim kita selalu ada anak muda, tapi tidak bisa menjadi penentu, lebih ke pengalaman," papar Ilham.

"Mereka harus belajar. Mereka bekerja sambil belajar. Suatu waktu mereka akan mampu. Kemudian habis itu dia [dihadapi] dengan yang tidak punya pengalaman, nanti mereka mendidik lagi yang muda. Mereka harus ada proyek, kalau tanpa proyek ya nggak berjalan,’’ jelas Ilham kepada GNFI, 25 Mei 2020 lalu.

Penggarapan Pesawat R80 ataupun pesawat jenis lainnya, asalkan itu asli buatan Indonesia dipandang Ilham memang harus segera dilakukan. Apalagi ia melihat bahwa yang terlibat dalam pembuatan Pesawat R80 ini masih didominasi oleh orang-orang yang dulu menggarap Pesawat N-250.

"Jadi kalau kita tidak mulai sekarang, baru 20 tahun lagi ya orangnya sudah mati semua..., jelas Ilham sambil tertawa kecil.

"Orang yang mampu buat pesawat terbang bukan jatuh dari langit. Itu hasil dari didikan. Dan untuk mendidik orang itu perlu puluhan tahun. Jadi itu alasannya Bapak [Habibie] melihat dirinya harus mengambil inisiatif sebelum tidak ada yang mengambil.’’

"Nanti lama-lama orang yang punya kemampuan untuk mendesain [pesawat] hilang. Kita sudah puluhan tahun berinvestasi dibidang itu hilang. Jadi percuma semuanya dan sangat disayangkan," ungkap Ilham.

--

Mengejar mimpi untuk bisa membuat pesawat sendiri, Genta mengakui bahwa sosok BJ. Habibie tidak bisa lepas sebagai panutan dan contoh yang paling baik buat dirinya.

"Almarhum BJ. Habibie merupakan salah satu contoh baik yang ingin sukses. Bukan hanya beliau orang yang pinternya minta ampun, tapi beliau mempraktikkannya. Dan itu menurut aku spirit yang sangat penting. Apalagi kita harus menunjukkan bahwa semua ciptaan kita, yang walaupun secara teori benar, tetap harus dibuktikan dan harus bisa di-experience oleh semua orang,’’ papar Genta.

Kalau kata Ilham, "Kita punya banyak anak pintar tapi tidak ada peluang untuk mereka berkembang karena kita tidak punya produk."

Dan saya yakin bahwa anak seperti Genta masih banyak di luar sana. Mereka sedang berjuang dalam diam. Mereka sedang belajar mencoba mendobrak batasan diri mereka. Mereka anak-anak Indonesia yang ingin memperlihatkan kemampuan negerinya.

Diam-diam, Indonesia punya para penerus BJ Habibie di masa depan.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Dini Nurhadi Yasyi lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Dini Nurhadi Yasyi.

Terima kasih telah membaca sampai di sini